Inggris,
Bukan Bahasa Internasional.
Aku pernah bertemu beberapa
jenis orang yang sombongnya setengah mati hanya karena mahir berbahasa Inggris.
Orang itu pasti belum sampai Mekkah atau Madinah. Bahasa inggrisku tidak buruk,
pun tidak bagus-bagus amat. Kalau sekedar paham apa yang diucapkan native dari
Inggris raya sana, aku paham, untuk berbicara kalimat-kalimat dasar atau
percakapan sehari-hari, aku juga In shaa’Allah bisa. Not bad lah untuk
jalan-jalan keluar negeri. Jadi, begitulah, aku pikir modal bisa berbahasa
Inggris akan cukup berguna di Arab Saudi, misalnya ketika akan belanja atau
menanyakan arah. Ternyata salah saudara-sudara.
Aku dan ibu melihat-lihat baju
di toko yang cukup besar didepan hotel. Sebuah toko yang menjual baju, sajadah
dan jubah-jubah arab. Aku bertanya harga sebuah baju yang dipajang di toko,
“how much is it?” dan siempunya toko, laki-laki paruh baya berwajah manis,
tersenyum manis sambil berkata “seratus lima puluh riyal” dengan bahasa
indonesia yang fasih, jelas, tanpa kesalahan artikulasi. Dan aku terbelalak
“how expensive!!!” dan ia kembali menjawab dengan bahasa Indonesia, seakan-akan
kami sedang di Pasar Beringharjo saja, “boleh kurang ..”
Dan aku
tertawa, yah, tidak perlu mahir bahasa inggris, mereka para pendagang Madinah
sangat fasih berbahasa Indonesia, memang tidak semua, namun kebanyakan bisa
berbahasa Indonesia. Bukankah ini menjelaskan satu hal, bahwa orang Indonesia
tidak peduli dimanapun mereka berada akan selalu belanja disetiap ada kesempatan.
Jamaah Indonesia adalah jamaah dengan tingkat belanja tertinggi dibanding
jamaah lain, jelas, jumlah kita sangat banyak, dan kita senang sekali berburu
oleh-oleh. Maka uang saku yang disiapkan dari Indonesia 90% habis untuk membeli
barang-barang yang tidak terlalu penting demi oleh-oleh.
Maka terjadilah perang tawar
menawar dengan si empunya toko, kalau dihitung-hitung sebuah gamis hitam dengan
pasangan selendangnya, harganya SR 150 jika dikonversi ke rupiah harganya
sekitar Rp. 525.000 , wah mahal. Banyak sekali model gamis yang dijual dan
semuanya bewarna hitam, one of my favourite color. Pilih-pilih model, si
empunya toko menawarkan gamis yang aduhai sekali, potongannya melebar kebawah,
yang kira-kira jika dipakai akan berkibar-kibar seperti bendera, belum
manik-manik yang menghiasi dibagian dada, menurut si mas empunya toko, gamis
ini adalah gamis model Syahrini. Aduh, mbak Syahrini terkenal sekali, bahkan
namanya dicatut oleh para pedagang disana, si mas empunya toko bahkan bisa
dengan sangat lihai meniru aksi maju mundur cantiknya Syahrini, aku speechless,
tidak tahu harus terharu atau bangga.
Selain gamis, toko ini menjual
banyak sekali sajadah, sorban, juga gamis untuk laki-laki. Aku dan ibu
memilih-milih sajadah, memang wajar ia mematok harga yang lumayan, kualitas
barang-barangnya memang bagus, modelnya beragam, apalagi sajadahnya,
ciamik-ciamik sekali. Aku iseng bertanya pada si mas penjual, “Ini sajadah,
made in Majalengka ya? Saya beli jauh-jauh di Arab, nanti rupanya made in
Indonesia”
Dia tertawa,
“No .... ini semua made in Turkiiii, semua yang dijual disini made in Turki”
Si mas
empunya toko yang pada dasarnya ramah, sembari menunggu kami memilah dan
memilih bertanya, “your mother?” katanya menunjuk ibu
“Yes” ujarku
tersenyum
“Berapa
umurnya, 50 ada?” katanya dengan Bahasa Indonesia tanpa SPOK
Aku
mengangguk lagi
“Kamu,
berapa umurnya?” tanyanya lagi
“27” aku
menjawab singkat
“Sudah
menikah?”
Aku tertawa,
“Not yet, saya belum menikah”
“Kamu mau
nikah sama orang Madinah?” tanyanya santai
Aku kembali
tertawa, ini orang nawarin suami kok kayak nawarin dendeng balado, renyah saja.
“Orang
Madinah baik-baik, ganteng-ganteng” si mas empunya kembali promosi “Mau ya, nikah
sama orang Madinah”
Aku hanya
tertawa, mau bilang emoh, kok rasanya sombong, nanti ketulah, benar-benar dapat
jodoh orang Madinah, tapi mau bilang iya, takutnya aku nanti dijadikan istri
kedua.
Jadi aku
memutuskan untuk kembali memilah-milah sajadah, dan menawar mati-matian sebuah
gamis agar diberi harga murah. Yah ramah sih ramah, tapi tetap saja harganya
tidak turun. Tapi, itulah jeleknya aku, kalau sudah masuk satu toko, maka tidak
akan pindah ke toko lain, intinya kaki ini malas kalau harus muter-muter untuk
belanja, ada didepan mata kenapa harus mencari ketempat lain? Kami memilah-milah sajadah, untuk tetangga
yang sudah berbaik hati menjaga rumah kami, untuk pak dosen pembimbing Yudi,
kemudian untuk seorang temanku. Cukuplah dulu membeli oleh-olehnya, karena
tidak membawa uang terlalu banyak, kami hanya membeli sebuah gamis yang
akhirnya harganya turun menjadi SR120, sebuah sajadah yang baguuuus sekali
harganya SR50 dan dua buah sajadah yang dengan motif yang indah seharga
masing-masing SR30.
Diakhir cerita si mas empunya
toko akhirnya memberi diskon lagi SR10
kepadaku, sembari mendoakanku agar aku mendapat jodoh. Jodohnya tetap, orang
Madinah.
Madinah memang surga belanja.
Barang-barangnya bagus-bagus, penjualnya ramah-ramah, dan ganteng-ganteng.
Semua bisa ditawar, berupa-rupa dagangan digelar disepanjang jalan mulai dari
pintu gerbang Masjid Nabawi sampai ke hotel. Setiap selesai salat, maka
ramailah jalanan dipenuhi pedagang dan pembeli. Ada jilbab, lobe, aksesoris,
sandal, mainan, aneka gamis bahkan daster, kurma, coklat, buku, dan Al-Quran.
Mereka akan berteriak-teriak dengan lantang menawarkan dagangannya, kebanyakan
dengan bahasa Indonesia, “Murah, murah, harga mati, lima reyal” kata-kata itu
sering wara-wiri ditelingaku setiap pulang dari salat fardhu di Masjid Nabawi.
Tapi untuk
pedagang kaki lima, ternyata tidak semua bisa berbahasa Indonesia, mereka hanya
tahu menyebutkan harga dan murah saja, pernah suatu ketika aku membeli jilbab,
sang penjual yang kelihatannya berasal dari India, awalnya menawarkan dengan
bahasa Indonesia, tapi ketika aku meminta jilbab dengan warna berbeda ia
bingung, aku mengulanginya dengan bahasa inggris pun ia tetap bingung, akhirnya
aku harus memilah-milah sendiri jilbab yang aku inginkan karena mereka ternyata
hanya bisa berbahasa ibu dan bahasa Arab.
![]() |
see, ada kopi dimana-mana :D |
Selain barang-barang, yang tidak
kalah menarik adalah pedagang makanan. Rupa-rupa makanan yang tidak ada di
Indonesia dijual disini. Aku dan Yudi suka membeli kebab dan nasi briyani.
Selain itu ada penjual coklat. Coklat dengan bungkus warna-warni yang harganya
di bandrol SR20 perkilo nya. Aku menyesal setengah mati tidak membeli coklat
yang banyak selama di Madinah, karena harga coklat di ladang kurma maupun di
Mekkah ternyata jauh lebih mahal.
Belanja
Dulu, Belanja Lagi, Belanja Terus ..
Memang sudah tabiat orang
Indonesia, tidak bisa tahan selera. Padahal ustad kecil sering menasihati kami
agar tidak berbelanja seusai salat fardu, selain tidak ada faedahnya, kurang
pula keberkahannya. Ia ingin agar kami, ketika selesai salat langsung saja
pulang ke hotel, jika sudah jam makan, kami seharusnya makan dulu, baru setelah
selesai, kami bisa berbelanja bersama dengan teman-teman jamaah yang lain. Tapi
apa mau dikata, begitu kaki melangkah keluar gerbang Masjid, godaan rupa-rupa
barang langsung menyerang mata, apalagi ditawarkan dengan embel-embel “murah,
murah, murah”, apa salahnya beli sebentar, daripada harus bolak-balik ke hotel
kemudian kembali.
![]() |
belanja ala bapak-bapak |
Aku sendiri taat pada
mutawwifku, apapun yang dianjurkannya maka aku ikuti. Aku jamaah penurut kan?
Padahal sebenarnya, aku tidak berbelanja selesai salat karena, aku memang tidak
pernah membawa uang yang banyak ke Masjid, paling-paling hanya sepuluh atau
duapuluh riyal, malah sering tidak bawa uang sama sekali. Lagipula memang lebih
baik jika pulang dulu ke hotel, makan yang kenyang, mengosongkan tas, menukar
mukena dengan jilbab, menyiapkan kamera, kemudian jalan-jalan sampai puas.
Aku dan Yudi senang
berjalan-jalan di sekitaran Masjid Nabawi. Kami mengeksplore blok demi blok di
pusat kota Madinah yang mengelilingi Masjid Nabawi. Mengambil banyak poto,
melihat-lihat aneka dagangan, bermacam-macam orang juga bermain-main dengan
burung merpati. Padahal kami baru sekali datang ke Kota Madinah, namun tidak
ada rasa takut atau canggung berjalan-jalan sendiri di kota. Padahal
orang-orang berbicara dengan bahasa berbeda, berpakaian dengan model yang
berbeda, memiliki kebudayaan yang juga jauh berbeda dengan Indonesia. Tapi
Madinah, rasanya seperti kampung halaman sendiri. Aku tidak takut dicopet, aku
juga tidak takut ada begal atau orang yang berniat mesum atau jahat, seperti
halnya yang aku rasakan saat aku jalan-jalan ke kota-kota di Indonesia. Kota
Madinah memiliki aura seperti ibu, melindungi, tenang, dan menyenangkan.
Kami berjalan-jalan memutari
hotel, mencari-cari tempat yang menyediakan wi-fi gratis :D, kami juga melihat-lihat
toko makanan, kira-kira makanan apa yang khas Arab. Disepanjang jalan banyak
sekali toko yang menjual pakaian, mainan, juga oleh-oleh khas yang sering
dibawa orang saat pulang haji atau umroh, seperti gelas yang ada gambar
Ka’bahnya, ceret, baki, termos yang kesemuanya bewarna emas. Selain itu banyak
sekali mainan lucu, seperti boneka unta yang bisa bernyanyi, boneka barbie yang
sebenarnya menurutku terlihat seram, dan yang lebih menakjubkan boneka barbie
itu bisa bertalbiyah, ya ampun. Ada juga mainan ikan yang bisa bergerak
menggelepar-gelepar seperti kekurangan air, dan masih banyak lagi. Namun
sayangnya, semua benda-benda tersebut buatan China. Ya, tidak ada orang China
sejauh mata ini mencari, yang berdagang di Madinah atau Mekkah, namun
barang-barang negara mereka memonopoli hampir seluruh sektor oleh-oleh di tanah
suci.
Kami masuk ke sebuah mal, yang
ternyata termasuk ke dalam bangunan hotel tempat kami menginap. Kalau diMedan,
tempat ini mirip seperti pusat pasar Sentral, rata-rata barang yang dijual
sama. Tapi jangan ditanya penjualnya. 1000% ramah ramah. Semua penjualnya
laki-laki, kebanyakan masih muda, mungkin pegawainya. Mereka sangat gigih dalam
berdagang. Aku sering sekali, sudah berjalan jauh ternyata adikku, si Yudi yang
polos itu tertahan disatu toko karena si empunya toko tidak mau melepaskannya.
Bahkan ada satu toko, dimana si penjaga toko, seorang pemuda tampan yang kalau
di Indonesia pasti sangat mudah menjadi bintang film,tidak mau melepaskan Yudi.
Ia memeluk erat Yudi, bahkan mencium pundak Yudi yang pasti geli dan tidak
biasa diperlakukan seperti itu. ia bersikeras kami harus berbelanja di tokonya.
Akhirnya, demi melepaskan Yudi dari jerat pemuda tampan ini, aku membeli tiga
botol minyak wangi seharga SR10. Demi melihat gelagat para penjual yang
rata-rata seperti itu, kami memutuskan untuk keluar dari mal dan melihat-lihat
tempat lain.
Dua blok dari hotel kami
menginap, ada sebuah jalan besar yang juga diisi bermacam-macam pedagang. Blok
ini jauh lebih ramai daripada blok tempat kami menginap. Dekat dengan pasar
kurma dan pancuran burung merpati yang ciamik itu. kami menyusuri pertokoan
yang menjual makanan. Satu persatu toko kami lewati, setiap toko memajang menu
makanan yang mereka jual. Roti maryam, Kebab, Nasi Briyani adalah menu khas
Arab, ada juga makanan khas Pakistan dan India. Kemudian makanan cepat saji
semacam fried chicken, dan di toko terakhir kami melihat menu yang sudah
wara-wiri dalam hidup kami, rawon, soto, nasi goreng adalah beberapa menu yang
ditawarkan. Kami tertawa, sudah jauh-jauh sampai Arab Saudi masa jajannya
rawon. Akhirnya kami memutuskan membeli kebab, harganya SR13 perporsi, cukup
mahal memang, tapi porsinya memang besar sekali. Kebab adalah roti yang diisi
daging, kentang goreng dan kadang ada sayur, potongan dagingnya besar dan
sayurnya banyak. Kami juga membeli milktea. Menyingkir dari keramaian, kami
memilih untuk duduk di dekat pancuran burung merpati.
Kenapa pancuran burung merpati?
Karena bangunan berpagar keliling yang bentuknya seperti kolam pancuran itu
dihinggapi ratusan burung merpati. Pancuran yang terletak di depan Masjid
Nabawi itu jadi terlihat indah dan menakjubkan. Burung-burung merpati terbang
dan hinggap bergantian, terkadang ada jamaah yang melemparkan makanan beruba
biji-bijian ke jalan atau ke pancuran agar bisa melihat lebih jelas dan berpoto
dengan burung-burung cantik ini.
Ngomong-ngomong soal belanja,
salah seorang temanku, Mbak Ayu, mantan admin Grup One Day One Juz ku, memesan
beberapa potong jilbab dengan manik warna warni yang memang kelihatannya sedang
‘in sebagai oleh-oleh, serta dua buah Al-Qur’an apabila aku mampir ke tempat
percetakan Al Qur’an. Begitulah, pada dasarnya aku tidak berbakat belanja, maka
hari kedua sampai di Madinah, lepas salat Subuh, aku membeli enam buah jilbab
pesanannya. Mbak Ayu sudah mengirim contoh gambarnya, beserta deskripsi bentuk,
rupa dan dimana aku bisa membelinya. Memang banyak yang menjual jilbab seperti
pesanannya, warnanya hitam dan putih, dengan manik-manik warna-warni yang
membuatnya jadi makin ciamik. Sampai di hotel, aku ingin melihat seperti apa
sih jilbab nya, sampai harus dipesan jauh-jauh ke Madinah, dan ternyata,
tadaaaaa, aku salah membeli pesanan. Mbak Ayu memesan jilbab segiempat, dan
yang aku beli adalah selendang. Aaaaarghh kenapa penjualnya tidak menjelaskan
kalau ini selendang. Salahku, memang salahku. Kenapa aku tidak bertanya,
padahal Mbak Ayu sudah mengingatkan agar aku jangan sampai salah membeli,
beginilah kalau tidak benar-benar mendengar nasihat orang lain. Akhirnya, enam
buah selendang itu aku jadikan oleh-oleh pribadiku, dan keesokan harinya aku
membeli lagi pesanan Mbak Ayu, kali ini sebelumnya aku bertanya pada
penjualnya, yang lagi-lagi tidak bisa berbahasa Indonesia atau Ingris, apakah
yang dijualnya jilbab segiempat sambil membentuk sebuah persegi dengan isyarat
tangan atau selendang sambil menunjuk yang sedang aku pakai dikepala. Ah,
belanja.
Jarak
Meluruskan Rasa
Saat di Madinah aku sempat berdoa pada Allah,
agar kelak aku diizinkan untuk melihat tempat-tempat indah di dunia ini bersama
dengan suamiku kelak, aku meminta agar aku dapat pergi ke negara-negara indah
di seluruh bumi ini. Sebagai pecinta jalan-jalan, tentu saja aku berharap dapat
mengunjungi banyak tempat indah yang telah di ciptakan Allah. Namun saat di Mekkah, saat hanya berdiri
menatap Ka’bah saja, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan di dunia ini,
saat itu aku tidak memikirkan apapun, yang ada di kepalaku hanya, Allah aku
ingin tetap disini saja, aku tidak mau kembali, aku tidak mau kemana-mana lagi,
bahkan jika saatnya mati, aku ingin mati disini saja.
Disana, saat
aku memandang Ka’bah, tidak ada lagi gundah, tidak ada lagi galau. Aku kehilangan
perasaanku pada semua cinta semu yang aku tinggalkan di Indonesia. Pada orang
yang aku pikir, aku menyukainya, namun jarak meluruskan rasa, menyeleksi rindu,
meninggalkan satu hal saja, semua yang dahulu aku anggap cinta, ternyata hanya
sebuah kekaguman semu karena tatapan mata yang fana, semua perasaan yang di
Indonesia suka bikin galau, menghilang disana. Ada damai yang tidak bisa
dijelaskan. Waktu itu aku, tidak merindukan Indonesia, tidak rindu rumahku yang
besar, kamarku yang nyaman, teman-teman yang baik, orang yang menungguku
kembali, bahkan pada mbakku sendiri, aku tidak merindukan mereka semua. Waktu
itu, aku hanya terpesona. Aku kehilangan minat pada semua tempat indah di bumi
ini, karena sudah jatuh cinta berkali-kali pada tanah haram, bagaimana tidak
rindu, kalau hatiku bahkan sudah kutinggal disana. Bahkan jika harus memilih,
keliling dunia atau kembali ke tanah haram, aku pasti akan memilih kembali ke
tanah haram.
Pertemuan
Pertama
Januari
silam, Allah memperkenalkan aku dengan mbak Yeni. Saat itu beliau adalah
anggota baru di Grup One Day One Juz yang aku ikuti, kebetulan juga saat itu
aku yang bertugas mentabayyun calon
anggota baru karena adminku (mbak Ayu, yang dicerita atas menitip oleh-oleh
jilbab, -red) sedang umroh. Maka aku berkenalan dengannya, bertukar nomor
telepon, bertukar kisah, saling mengingatkan untuk tilawah, singkat cerita,
setelah bergabung di grup, kami cukup dekat karena sering ngobrol secara
pribadi. Saat aku memberitahunya aku akan berangkat umroh, ia girang, karena
seminggu setelahnya ia juga akan berangkat umroh. Wah Mashaa Allah.
Maka kami
berjanji, jika Allah mengizinkan, jika ada waktu yang pas, kami akan bertemu
entah itu di Mekkah atau Madinah, tergantung situasi. Tapi ternyata jadwal
travelku dan travelnya saling bertolak, saat aku sudah beberapa hari di Mekkah,
ia baru berangkat dari Indonesia, dan ia akan pergi ke Madinah terlebih dahulu,
ia baru berangkat ke Mekkah saat aku akan kembali ke Indonesia. Ada sedih,
bingung, sedikit kecewa karena ada harapan tidak bisa bertemu, padahal kami
sedang sama-sama ada di tanah haram. Sabtu pagi, Mbak Yeni mengabariku, bahwa
ia akan berangkat ke Mekkah, melaksanakan umroh wajib, sementara aku sudah
dalam persiapan pulang ke Indonesia. Jika tak ada halangan, maka sabtu malam,
mbak Yeni akan tiba di Mekkah dan langsung melaksanakan umroh wajib. Maka tidak
mungkin untuk membuat janji bertemu dengannya pada saat itu. Aku sedih sekali,
minggu pagi kami sudah diharuskan melaksanakan tawaf wada, sementara Mbak Yeni
pun minggu pagi akan melaksanakan city tour. Kapan lagi kami bisa bertemu.
Panjang lebar
berdiskusi lewat sms, akhirnya kami sepakat untuk bertemu saat Subuh. Karena kebetulan
hotel Mbak Yeni terletak di pelataran Masjid (aiiih hotel mahaaaaaal) maka aku
yang akan pergi menemuinya. Adzan pertama untuk tahajud, kami saling berkabar
ada di pintu berapa di Masjid Haram, ternyata cukup jauh, aku seperti biasa,
masuk lewat pintu no 79, sementara Mbak Yeni masuk dari pintu no.91, sehabis
subuh, aku melaksanakan tawaf wada di lantai satu dan Mbak Yeni melaksanakan
tawaf sunah di lantai tiga, lagi-lagi kami tidak bertemu. Selesai tawaf,
akhirnya aku bersepakat untuk menunggu di depan Grand Zam-Zam, aku menunggu,
berdiri, mondar-mandir melihat semua wajah-wajah Indonesia yang melintas
dihadapanku. Karena walaupun dekat, kami belum pernah sekalipun bertemu di
Indonesia. Aku tinggal di Medan, some place in the corner of Sumatera Island,
sementara Mbak Yeni tinggal di Bangkalan, some place i don’t know where is it
:D aku hanya tahu Bangkalan ada di Jawa Timur, maka seperti apakah Mbak Yeni
itu, akupun tak tahu.
Menunggu sepuluh
menit, aku melihatnya dari jauh, dari ciri-ciri yang diberikannya, dari
tukar-tukaran poto waktu di grup, Mbak Yeni melangkah perlahan kearahku. Kami tersenyum,
kemudian saling menunjuk, dan menyapa untuk meyakinkan, “Mbak Yeni yaa” ujarku tersenyum,
dan ia tak kalah lebar senyumnya membalas, “Mbak Reni yaa”, maka kami berdua
pun berpeluk erat.
Betapa bahagianya
diri ini, teman yang dipertemukan dalam wadah pengajian, yang belum pernah
sekalipun bertemu di Indonesia, justru Allah izinkan bertatap, berpeluk erat di
Tanah Haram, airmataku menetes satu-satu (aiiih aku cengeng sekali), dan kami
tak berbicara untuk waktu yang lama, hanya tersenyum sambil sesekali tertawa
haru. Banyak sekali yang ingin aku katakan sebenarnya, tapi waktu tidak
mengizinkan. Kami hanya bertukar kisah perjalanan, saling tak percaya dan
kemudian berpoto bersama.
![]() |
bersama Mbak Yeni :) |
Semoga Allah
menjadikan persahabatan ini terus terjalin, persahabatan dalam kebaikan, yang
saling mengingatkan dan akan berlanjut sampai ke surga, aamiin.
Mudah-mudahan
juga Allah mempertemukan kami kembali di tempat-tempat indah lain di bumi ini,
aamiin.
Gagal
(Read this
before :Ibu)
Tahun 2011
silam, Ibu dan Bapak berangkat haji. Sepulang dari tanah suci, ibu lebih sehat
dan lebih gembira. Saat itu Ibu, begitu bahagianya, ia sering berkata, ia
melihatku dimana-mana, di semua tempat di tanah suci yang dikunjunginya,
seakan-akan ia berangkat haji bersamaku. Itu sebabnya ia, sering berkata, jika
ke tanah suci lagi, aku harus ikut. Empat tahun kemudian, aku benar-benar
dibawa ke tanah suci. Aku ingin menjaganya, ingin selalu bersamanya. Karena Ibu
masih sakit.
Aku pernah
berjanji, akan selalu menjaganya, aku akan terus menggenggam tangannya, aku
akan selalu ada untuknya. Aku akan makan ice cream bersama, akan naik onta
bersama, akan melihat Ka’bah bersama.
Tapi, ada
saat-saat aku tidak menggenggam tangannya, karena egoisnya aku. Karena aku
tidak mengerti rasanya, bagaimana rasanya, menjadi sepertinya. Aku lupa, ia tak
sekuat aku. Aku lupa, ia tak selincah aku. Aku lupa, aku harus menjaganya. Ibu
begitu ingin membawaku ke tanah suci, tapi aku justru tak bersamanya ketika
umroh wajib, aku biarkan ia didorong orang lain, aku biarkan kewajibanku
menjaganya diambil orang lain. Anak macam apa aku ini. Aku terkadang lelah,
namun tak seharusnya aku tak menjaganya.
Aku tidak
pernah bisa membalasnya, aku belum juga bisa jadi anak yang baik. Aku belum bisa
sepenuhnya sabar. Aku mengecewakannya bahkan ketika kami di tanah suci. Rasanya
benar-benar gagal.
Aku bahkan
lupa pernah menulisnya dulu, kami akan bersama-sama makan ice cream, kami akan
naik onta, kami akan melihat Ka’bah.
Allah, Allah
Yang Maha Baik, aku lupa, tapi Allah tidak.
Kemarin, aku
benar-benar makan ice cream bersama ibu, kami melihat Ka’bah bersama, aku
membawanya sedekat yang aku bisa, walaupun sulit sekali, karena
berdesak-desakan dengan begitu banyak jamaah, ketika sampai didepan Ka’bah,
dekat sekali, walau tak menyentuhnya, Ibu tersenyum. Tapi kami tidak naik onta,
karena tidak bisa :)
Aku tidak
sepenuhnya jadi anak baik. Maafkan aku, Ibu. Ampuni aku, Ya Allah ..
Lain kali,
aku yang akan membawanya, ke Tanah Suci, In shaa Allah,
Aku akan
terus menggenggam tanganmu, Ibu.
Beautiful Things Don't Ask For Attention
Pernah nonton film The Secret Life of Walter Mitty? Yes, That's beautiful movie. Buat para penggemar poto, tukang poto, objek poto, korban poto candid, pasti pernah nonton film ciamik itu. And so am I. Waktu nonton film itu dulu,aku hanya terpukau sebagai penonton. Tapi aku baru benar-benar mengerti apa yang dikatakan Sean O'Connell, fotografer eksentrik di film tersebut (yang bisa ngambil foto erupsi gunung merapi dari atas sayap pesawat :D damn crazzy), waktu doi lagi memandangi macan tutul di pegunungan bersalju, doi kasih quotes yang bagus sekali dan aku baru merasakan maknanya waktu aku sampai di Mekkah.
Jadi ceritanya, didepan hotel, Ibrahim Al Khaleed st, ada jalanan yang dipenuhi oleh burung merpati, ribuan burung-burung cakep ini wara-wiri memenuhi jalanan. Kadang mereka terbang rendah, terbang tinggi, terbang berputar-putar, terbang tak tentu arah, terbang menggoda, terbang malu-malu, terbang melintasi para jamaah yang pergi dan pulang ke Masjid Haram. So Awesome.
Lepas subuh, muter-muter Masjid Haram, beli jajan buat sarapan, poto-poto kemaruk dimana-mana, aku dan Yudi pulang ke hotel, melintasi jalanan padat dan sampailah kami di jalanan yang dipenuhi ribuan burung merpati ini. What a moment, saat itu ribuan burung-burung itu terbang rendah serentak dari arah jembatan ke arah Masjid, kemudian mendarat mulus di jalanan, berulang-ulang. Mashaa Allah, indah sekali. Belum pernah aku melihatnya, ribuan burung-burung terbang rendah diatas kepalaku membentuk formasi yang begitu menakjubkan, benar-benar menghipnotis. Ingat sebuah ayat di Surah Al Mulk,
"Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya diatas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu" (QS Al Mulk : 19)
Maha Besar Allah yang menciptakan semua ini, mengizinkan kami melihat semua keindahan ini, aku dan Yudi terpana, berhenti melangkah dan mendongak keatas. Captivated. Kami terdiam memperhatikan, sama sekali tidak bergerak, saat burung-burung indah itu melintas diatas kepala, kami terpukau. Saat ribuan burung itu mendarat dengan ciamik, aku baru menyenggol Yudi, aih kenapa tidak direkam? Burung-burung itu terbang rendah bolak-balik sampai beberapa kali. Dan setiap mereka bermanuver kami tetap tidak mengeluarkan handphone untuk memotret atau merekam, kami hanya menikmati pemandangan indah ini sambil memuji-muji Kebesaran Allah. Ah Mashaa Allah, luar biasa. Setelah pertunjukan burung-burung indah tadi selesai, kami baru tertawa, ah iya, kenapa tidak direkam. Tapi disitulah momentnya. Ada hal-hal yang indah yang sayang sekali jika dilewatkan hanya demi mengabadikannya dalam selembar poto. Jika kami memilih sibuk memotret, maka benar, kami akan kehilangan momen, yang jauh lebih indah. Momen dimana kami bisa benar-benar merasakan kebesaran Allah.
Ada banyak sekali hal-hal yang lebih indah dilihat langsung dan direkam dalam ingatan saja.
Aku dan Yudi meneruskan langkah kembali ke hotel, kami sepakat dan sudah mengalami sendiri apa yang dikatakan abang O'Connell,
"If I like a moment,
I mean, me ... personality.
I don't like to have a distraction of a camera.
I just want to stay in it.
Right there ....
Right here ...."
Karena memang benar, beautiful things don't ask for attention. :)
Demikianlah perjalanan menakjubkan ini, ada hal-hal yang aku sesali, banyak yang aku syukuri. Perjalanan ini memutar semua kenangan dalam hidupku, sekaligus memahat pengalaman baru dalam hidupku. Aku tersadarkan, tercerahkan, diingatkan, ditegur dan dicintai dengan begitu besarnya oleh Allah Azza wa Jalla, karena kebaikan Allah, aku sampai di tanah haram, mudah-mudahan ini bukan perjalanan terakhirku. Mudah-mudahan Allah berkenan memanggilku kembali sebagai tamu Allah SWT dan Rasulullah SAW, aamiin, in shaa Allah.
special Thanks To :
Allah Azza wa Jalla, syukur yang tiada putusnya, atas nikmat dan karunia yang begitu berlimpah, karena KebaikanMu, Allah, yang menutup aib-aib diri yang fakir ini, menyampaikan langkah diri yang hina ini ke Tanah Suci,
Maka Nikmat Mu yang manakah yang akan aku dustakan ...
Shalawat dan Salam tercurah kepada junjungan Baginda Rasulullah SAW, semulia-mulia manusia yang pernah ada di bumi ini, penghulu para Nabi, penutup Nabi-Nabi ...
Madinah kota sucimu ya Rasul, begitu indahnya, karena engkau begitu dekat ...
Ibu dan Bapak
Terima kasih karena membawaku ke Tanah Suci, hadiah terindah yang pernah aku dapatkan, kalian lautan cinta tak bertepi di duniaku
Yudi,
adik bandel yang menjadi fotografer pribadi, pengarah gaya, partner in madness and also lovely legal guardian.
PT. Grand Shafa Nauli
Ustad Junaidi
yang baik hati dan lemah lembut
dan temannya Ustad yang wajahnya mirip Vidi Aldiano yang juga baik hati
Mutawwif kami : Ustad Jufri Lubis
atas bimbingan dan ilmu yang begitu banyak, waktu dan hal-hal baik yang disebarkan, hampir seluruh pengetahuan sejarah dalam postingan Incredible Journey berasal dari ceramahnya.
Teman-teman yang mendoakan
semoga kita semua, disampaikan Allah Ta'ala ke Tanah Haram, menjadi tamu Allah dan Rasulullah, aamiin.
In shaa Allah.