Assalamualaykum,
Hi, long
time no see
Hampir setahunan
yah gag ada nulis nulis lagi, padahal banyak tempat yang aku kunjungi, tapi ya
gitu, penyakit males sama tidur kayaknya betah banget nempel-nempel dibadan,
huss huss menjauhlah ...
Alhamdulillah,
awal april silam, anggep aja sebagai hadiah ulang tahun, orangtuaku mengajak
aku dan adikku, Yudi- yang bandel itu, berangkat umroh. What a wonderful
journey.
Nah, banyak
yang tanya, kami berangkat darimana, pake travel apa, berapa biayanya, disana
ngapain aja. Here they are, the story about two holy places and an incredible
journey of mine.
Madinah Al Munawarrah |
Prepare
Prepare Prepare
Januari
silam, saat aku berulang tahun yang ke 27, yeaaayyyy i’m getting older, hiks,
ibu memberi hadiah sebuah gamis putih yang ciamik sekali, ada brokat-brokatnya,
ada hiasan mutiara-mutiaranya, pokoknya cakep deh, katanya buat ihram. Aaaaaah,
buat ihram. Aku mau diajak umroh!!! Tiap hari terusan nyobain baju aja jadinya,
aih norak.
Bapak sudah
rajin bertanya pada seorang ustad kenalan kami, tetangga kami, seorang ahli
penyembuhan, yang baik hati dan bersuara lembut, kapan ada jadwal
pemberangkatan umroh. Ustad Junaidi memberitahu bahwa, travel yang
menjadikannya kontributor untuk wilayah Delitua akan memberangkatkan jamaah
diawal April. Maka Bapak kemudian mendaftar melalui ustad.
Awal Maret,
kami mulai melakukan persiapan yang kira-kira diperlukan. Pertama membeli baju
:D kemudian, membeli baju lagi, lalu beli baju yang kurang, ah tidak, dasar
boros. Karena paspor Bapak dan Ibu masih berlaku, maka aku dan Yudi yang
kemudian harus membuat paspor. Membuat paspor tidak makan waktu lama, kira-kira
hanya seminggu dengan biaya waktu itu sekitar Rp.365.000.
Paspor beres,
sekarang surat mahram. Loh kenapa pakai surat mahram? Kan aku sudah jelas jelas
berangkat dengan mahramku, dua lagi, ada Bapak dan Yudi. Tapi begitulah, rules
are rules. Dimana bumi diinjak disitu
langit dijunjung. Maka, sebagai persyaratan masuk ke Arab Saudi, pihak travel
yang mebuat surat mahram dan visa.
Packing
Packing Packing
Travel kami,
PT. Grand Shafa Nauli, memberikan beberapa fasilitas ketika kami mendaftar. Mereka
memberikan sebuah koper untuk pakaian, sebuah tas sandang kecil yang
selanjutnya menjadi tas wajib kami selama disana, sebuah tas tenteng yang
kemudian berguna sekali untuk meletakkan barang-barang yang sudah tidak muat
lagi di koper ketika pulang, sebuah mukena untuk perempuan, kain ihram untuk
laki-laki, buku panduan dan kain seragam batik.
Wah ada
kopernya. Saat itu masih maret, begitu koper sampai ditanganku, maka yang aku
lakukan adalah bolak-balik packing :D sudah disusun, dibongkar lagi, begitu
terus sampai tujuh kali. Baju mana yang harus dibawa, jilbab, kemudian kaus
kaki, handuk, manset tangan, kemudian dibongkar lagi, dipilih lagi baju mana
yang harus dibawa, yang kemudian ditinggal, Ibu sampai bosan melihatku packing.
Padahal jadwalnya hanya 12 hari, tapi koperku sudah sangat gendut seakan-akan
aku tinggal sebulan di sana.
ini packing tahap 1, waktu berangkat isinya udah berubah :D |
Seminggu
Sebelum Berangkat ..
Ustad
Junaidi, menyelenggarakan manasik di rumahnya. Beliau yang murah hati,
menyediakan tempat, cemilan bahkan makan siang untuk kami para peserta umrah
yang mendaftar melaluinya. Dia juga punya miniatur Ka’bah yang dibuat agar kami
bisa berlatih tawaf. Setelah dua kali manasik, hari Minggu cerah, dia berpesan,
agar kami menjaga kesehatan, banyak berdoa, dan jangan lupa datang ke bandara
pada hari Rabu :D
Persiapan sudah
90%, koper sudah dikemas, seragam sudah dijahit, obat-obatan sudah disiapkan. Tinggal
berangkat saja, dan saat itu aku menyadari, bukan ini yang semestinya
repot-repot kami siapkan, tapi persiapan apa yang kami bawa saat memenuhi
panggilanNya menjadi tamu Allah dan Rasulullah di dua tanah haram. Hatiku pilu.
Ada Empat
Panggilan Ke Tanah Haram
Cerita ini,
tak akan anda temui di buku manapun, di literatur ataupun ceramah ustad
manapun. Cerita ini aku dapat dari sang mutawwif sebagai ijtihad pribadinya,
dalam perjalanan pulang menuju Jeddah dari Mekkah. Sang ustad berkisah, mereka
yang sampai ke tanah haram adalah orang-orang yang dipanggil. Mereka yang baik,
yang taat beribadah, mengingat Allah dalam helaan nafas, dipanggil untuk
berhaji atau umroh di tanah suci dan kembali ke tanah air sebagai pribadi yang
jauh lebih baik lagi, itulah panggilan Allah SWT. Mereka yang sebelumnya lalai, kadang kadar
imannya lebih sering turun daripada naik, yang dahulunya sering melakukan
maksiat dan lupa, dipanggil untuk berhaji atau umroh di tanah suci dan ketika
kembali menjadi pribadi yang lebih baik, yang bertaubat dan bersungguh-sungguh
menjalankan ibadah semata karena Allah SWT, itulah panggilan malaikat.
Mereka yang
berangkat ke tanah suci karena status, karena gengsi seluruh kerabat dan sanak
saudara telah berhaji atau umroh, karena termasuk keluarga terpandang namun
belum berangkat ke tanah suci, karena demi mengejar gelar semata,ketika kembali
amalannya tidak bertambah, itulah panggilan Nabi Ibrahim. Terakhir, mereka yang
sebelumnya lalai, jarang beribadah, gemar bermaksiat dipanggil ke tanah haram
untuk berhaji atau umroh dan ketika kembali malah semakin jahat, semakin
menyakiti tetangga, jiran dan kerabat, semakin pelit dan melalaikan ibadah,
itulah yang termasuk panggilan setan.
Dimanakah
posisi kita? Termasuk panggilan yang manakah kita? Mudah-mudahan panggilan
pertama atau kedua. Jika dipanggilan ketiga, banyaklah bertaubat, namun jika
sudah termasuk panggilan keempat, pergilah mendaftar lagi, umroh lagi, ketemu
saya lagi ... ujar sang ustad sambil tersenyum simpul menutup tausiyahnya.
Ready, Go!
pose sebelum berangkat |
Rabu, 8
April 2015, dengan mengucapkan Bismillah, kaki kanan melangkah keluar dengan
mantap. Inilah hari yang ditunggu, rasanya seperti ada bunga-bunga dalam
hatiku, dengan menggunakan seragam batik biru gelap, kami berangkat ke bandara.
Sebelumnya kami berkumpul bersama di rumah Ustad Junaidi, sebagai pembimbing
kami dari Indonesia. Ustad Junaidi yang teduh wajahnya seperti matahari pagi,
lembut suara dan baik hatinya, bertanya, apakah kami sudah solat duha? Sudah ustad,
jawab kami mantap. Kemudian dia bertanya, sudahkah kami solat sunat safar? Dan kami
kembali menjawab, sudah ustad, alhamdulillah. Maka, dia kemudian memipin doa sebelum
kami memulai perjalanan, Azan dikumandangkan, dengan haru kami kembali ke mobil
masing-masing dan meluncur ke Bandara Kuala Namu.
Pukul 11.00
siang, tiba di bandara, ramai sesak ternyata jamaah umroh. Dari berbagai
travel, berupa-rupa pakaian batik, dan warna-warni koper. Yang seragam hanya
satu, wajah cerah ceria semua calon jamaah. Ada 34 orang jamaah travel kami,
sebagian besar sudah berumur. Ada tiga orang anak laki-laki kecil, seorang
gadis yang sepertinya sebaya denganku dan cowok paling ganteng di rombongan
kami adalah adikku, Yudi, ahahaha. Wajar, yang lain sudah kakek-kakek, minimal
bapak-bapak, sisanya anak kecil, wajar dia jadi paling ganteng. Wajar, tidak
ada saingan.
Setelah selesai
urusan check-in, periksa bagasi, masing-masing dari kami diberi paspor dan
tiket pesawat. Kemudian, kami beranjak ke ruang tunggu. Ruang tunggu
keberangkatan internasional Kuala Namu yang biasanya tenang, kalau diisi
ratusan jamaah umroh, maka tak ada bedanya seperti terminal bus. Riuh, ramai,
tumpah ruah. Banyak diantara jamaah yang sudah berulang kali ketanah suci, atau
keluar negeri, namun lebih banyak lagi jamaah yang jangankan keluar negeri, ke
bandara pun baru pertama kali.
Kami duduk
dimana saja ada bangku kosong, selebihnya duduk dilantai, sebagian dari kami
makan siang dahulu, karena pesawat baru berangkat pukul 14.00 waktu Indonesia. Kami
juga harus menjamak solat Zuhur dan Asar karena perjalanan kali ini akan
memakan waktu delapan jam, dan perbedaan waktu antara Indonesia dengan Arab
Saudi adalah empat jam. Kita duluan.
Mushola penuh
sesak, jamaah dibagi menjadi beberapa shift, ada yang memilih solat di ruang
tunggu, yah dimana saja, sama-sama tanah Allah, asal bersih dan meghadap
kiblat.
Kira-kira
pukul 13.00 kami mulai memasuki pesawat. Pesawat yang akan membawa kami ke
tanah suci adalah Pesawat Saudia, besoaaar sekali, kira-kira kapasitas 450
orang, dua tingkat, jumbo jet. Kami berbaris rapi, aku menggenggam tangan ibu. Inilah
hadiah ulangtahun terindah yang diberikan orangtuaku sepanjang hidupku sampai
saat ini, terima kasih Ibu, Bapak. Terima kasih ya Allah.
Aih,
Noraknya!
Saudia Airlines |
Pukul 14.00
waktu Indonesia, pesawat lepas landas dengan mulus dari Bandara Kuala Namu,
Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Tujuan kami adalah Bandara Prince
Mohammad bin Abdul Aziz, Madinah, Kingdom of Saudi Arabia. Sering kubaca dalam
novel atau bahkan dikoran, penumpang pesawat yang membuat ulah atau bertingkah
sangat kampungan karena baru pertama kali naik pesawat. Aku pribadi,
alhamdulillah sudah sering naik pesawat, rute domestik, paling jauh ke
Jogjakarta, paling lama 2 jam 45 menit waktu tempuh, masih di Waktu Indonesia
bagian Barat. Jadi, beginilah cara Tuhan membalasku, yang sering menertawakan
orang-orang yang aku bilang kampungan. Perjalanan keluar negeri pertamaku, ke
Arab Saudi, dengan pesawat Saudia yang besoar sekali, dua tingkat, kapasitas
lebih dari 400 orang, terbang selama delapan jam nonstop, maka jadilah aku si
orang norak dan kampungan.
Delapan jam
perjalanan, untung pesawatnya Saudia, take off nya mulus sekali. Jadi, apa yang
bisa dilakukan selama delapan jam di angkasa. Mau Instagraman jelas tidak bisa,
mw bbm-an juga tidak mungkin. Jadi kami duduk manis, memandangi pramugari yang
wajahnya mengisyaratkan perjalanan ini sedang menuju jazirah Arab. Setengah jam
perjalanan, kami ditawari minuman dingin, mulailah aku dan adikku yang memang
bandel itu, tertawa-tawa. Ketika pramugari masih berjarak cukup jauh dari kami,
kami berencana meminta bandrek, atau wedang ronde, atau es campur sekalian.
Kemudian kami menerka-nerka, harus menggunakan bahasa apakah ketika berbicara
dengan kakak cantik itu nanti. Kemudian kami mempraktekan dialog, jika
kira-kira kami benar-benar meminta wedang ronde, kadang-kadang kami tertawa
untuk hal-hal konyol seperti itu. Namun, saat sang pramugari benar-benar sampai
ke bangku kami, akhirnya toh kami membisu, dengan lagak yang sok
dianggun-anggunkan, kami meminta jus jeruk, dengan bahasa inggris aksen Medan,
yang entah dimengerti entah tidak, beginilah cara sang pramugari memandang kami
: tatapan acuh dicampur seuntai senyum manis, dasar kampungan. Hahha,
pengalaman naik pesawat berkali-kali ternyata tidak menjamin, aku bisa bersikap
normal dipenerbangan internasional. Lagipula sang pramugari pasti sudah mafhum,
bolak balik Arab-Indonesia, mengangkut ratusan jamaah umroh dan haji, yang
rata-rata baru sekali naik pesawat, yang bahkan tidak tahu bagaimana memasang
safety belt, yang norak sekali bolak balik poto-poto dengan gaya berbeda
didekat jendela yang kelihatan sayap pesawatnya, atau memaksa naik kelantai dua
karena penasaran. Pasti beban mereka berat sekali.
Beberapa jam kemudian, pramugari
kembali datang, kali ini mereka menawarkan makan siang. Aduh makan siang di
pesawat, karena selalu menggunakan penerbangan domestik low cost, aku tak kenal
makan siang dipesawat, karena biasanya pramugari hanya menawarkan mie instan
yang harganya berkali lipat dari harga swalayan. Kali ini sang pramugari dengan
senyum manis khas maskapai, menawarkan dengan suara lembutnya, beef or fish?
Ooh lala, i wanna beef. Waah porsi makan siangnya banyak, lihat, betapa
kampungannya aku. Satu jam kemudian, pramugari kembali muncul menawarkan teh
dan kopi. Kemudian kami, aku dan adikku yang suka sekali mengomentari orang,
bertanya-tanya, apakah mungkin mereka akan menawarkan kue cubit juga, apem,
serabi atau pisang goreng? Beginilah orang Indonesia, setelah kenyang makan dan
minum, satu persatu penumpang tertidur, suasana pesawat mulai sepi, penutup
jendela mulai diturunkan, penerangan juga dipadamkan, agar apa? Tentu saja,
akan lebih baik jika kami tidur saja, daripada grasak-grusuk keliling pesawat
menyusahkan pramugari dan pramugara yang sudah repot itu. Mulailah kami meminta
selimut, mencoba-coba berbagai gaya tidur, bolak-balik kekamar mandi.
Setelah beberapa jam mencoba
tidur dengan berbagai macam gaya, terdengar lagi suara empuk yang menawarkan
teh atau kopi, menjelaskan dalam beberapa jam kita akan mendarat, kemudian
datang lagi sang pramugari menawarkan makan sore atau malam(?) dengan suara
lembutnya bertanya, beef or chicken? Ooh lala, beef again. Aku suka naik
pesawat luar negeri, delapan jam hanya diisi dengan minum, makan, minum, tidur,
minum, makan, minum lagi dan kekamar mandi. Dan inilah Indonesia, porsi makanan
yang banyak, belum tambahan roti, jus, dan buah tentu tidak cocok untuk rakyat
Indonesia yang mungil-mungil, jadi makanan yang tidak termakan, juga garam dan
merica, roti, saus, selai, buah-buahan, jus yang belum diminum, bahkan pisau
dan garpu berpindah dari box makanan ke kantung muntah, dan diselipkan di tas.
Oleh-oleh dari pesawat. Ah, alangkah noraknya.
Pesawat akhirnya mendarat dengan
selamat di Madinah, Alhamdulillah. Inilah perjalanan yang sesungguhnya. Saat
itu sekitar pukul enam sore waktu Madinah, ada perbedaan waktu empat jam dengan
Indonesia, kami berangkat saat zuhur dan tiba di saat magrib, padahal kami
sudah bernorak-norak ria selama delapan jam, yah kadang-kadang aku merasa awet
muda sudah melewati waktu empat jam. Kenorakan kami belum selesai, tentu saja,
saat turun, belum ada pemandangan yang dilihat, kami berselfi-selfi ria dengan
latar belakang pesawat. Yang normal tentu saja menunggu bus yang akan mengantar
kami ke bagian imigrasi, ada yang masih jetlag, ada yang sujud syukur, ada yang
bertasbih, ada yang takjub. Dan aku termasuk yang takjub.
Inilah perjalanan terjauh dalam
hidupku, sejauh ini kakiku melangkah, ke sebuah negeri yang lebih dari empat
belas abad silam, hiduplah manusia paling mulia sepanjang zaman, Rasulullah
SAW, ke tempat suci yang Dajjal tidak akan bisa memasukinya, aku bersedekap,
menoleh kekanan dan kekiri, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Inilah Madinah,
Madinah Al Munawwarah.
Ah, Muda
Sekali ..
Kami diantar
ke bagian imigrasi dengan bus. Berbondong-bondong, dengan wajah lelah, kulit
kering terlalu lama di AC, kaki kram terlalu lama duduk, perut penuh terlalu
banyak makan, badan repot terlalu banyak tentengan, tidak, tidak ada yang
mengalami semua hal tersebut diatas sekaligus. Kami berbaris rapi, sesuai warna
baju travel, aku mengekor dibelakang ibu-ibu berseragam biru gelap. Sambil mengantri,
kami menyiapkan paspor. Pemeriksaan paspor, oh tidak, ini gawat, wajahku
dipaspor terlalu manis, bersih, segar dan berseri-seri, sementara sekarang, aku
sudah berminyak, jerawatku sedang bertaburan, mataku sedikit mengantuk dengan
jilbab yang sedikit (iya sedikit) kusut. Bagaimana kalau aku disangka orang
lain?! –abaikan kalimat tadi.
Saat mengantri,
aku melihat seorang bapak, dari travel yang sama denganku, melakukan
pemeriksaan sidik jari. Oh noooooo, tidak, ini baru gawat, masalah, buatku juga
ibu. Entah kenapa, tiga tahun belakangan, aku kehilangan sidik jari, pertama
saat membuat e-ktp. Orang-orang kelurahan tidak bisa memindai sidik jariku,
walaupun sudah berulang kali cuci tangan, menekan sekuat tenaga ke mesin
pemindai, petugas bahkan sampai memperhatikan jari-jariku karena tidak bisa
menemukan sidik jari, itu tiga tahun yang lalu. Bulan lalu saat membuat paspor
pun terjadi hal yang sama, petugas tidak bisa memindai sidik jariku, walau
akhirnya pasporku selesai juga dengan sidik jari yang tidak lengkap dan tidak
jelas. Sementara ibu, karena sakit, ibu harus rutin mengkonsumsi obat-obatan
setiap hari, aku pernah baca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa efek
obat-obatan kimia yang dikonsumsi terus-menerus salah satunya menghilangkan
sidik jari. Dan itu benar. (Secara kasat mata seperti hilang, namun sebenarnya
masih ada garis garis tipis yang tidak terlihat, jadi jika dilihat dengan mata
telanjang, ujung jariku hanya berupa kulit polos)
Maka aku
mulai, membasahi tanganku dengan ciran pembersih tangan, sebut saja Ant*s :D
karena tanganku begitu kering diterpa udara dingin pesawat. Kemudian agar
lembab, aku memakai tisu basah, tapi tetap saja, sidik jariku tidak tiba-tiba
muncul. Habislah sudah.
Maka,
sisanya aku hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga tidak ada masalah dengan petugas
imigrasi, aku tidak ingin dan tidak suka menyusahkan rombongan. Ketika ibu
diperiksa, ternyata tidak harus memindai sidik jari. Hha, aku yang menyusul
dibelakangnya kemudian menyerahkan paspor, tersenyum manis, kemudian petugas
menghantamkan cap di bagian visa, menutup paspor sambil menyerahkan kembali
padaku, he said thank you! Na, lolos pemeriksaan. Ini pasti karena wajahku
tetap semanis dipaspor, ahahah, plak, dasar norak.
Kami kemudian
berjalan mengikuti Ustad Junaidi, koper kami juga dibawa, kami dibawa ke sebuah
ruang tunggu. 15 menit menunggu, kami berjalan lagi menuju sebuah bus yang
terparkir, bus nya besar, tidak seperti di Indonesia, dengan setir kiri. Setelah
kami semua duduk manis, koper-koper dimasukkan ke bagasi, meloncatlah seorang
pemuda kedalam bus, kecil saja, kurus, kerempeng dan keriting, mengenakan jubah
terusan khas laki-laki di Arab Saudi, dengan sorban melilit lehernya dan sebuah
lobe tinggi menghiasi kepalanya. Aku yang sedang mengamati pemandangan dari
kaca bus yang gelap kaget waktu ia memperkenalkan diri, logat berbicaranya mengingatkan
aku pada perjalanan di taksi dari Medan ke Padang Sidempuan, suaranya datar
saja, tegas, cenderung galak, dialah mutawwif kami, ustad yang akan membimbing
kami selama menjalankan ibadah umroh, dia memperkenalkan diri, menyebutkan nama
dan umurnya. Ah, muda sekali, dia yang masih 26 tahun sudah jadi ustad, sudah
berkali-kali menjadi mutawwif umroh dan mungkin haji. Walaupun seumuran, tentu saja
jauh berbeda sekali denganku, yang ibadahnya lebih sering turun ini. Karena
masih sangat muda, jamaah kami memanggilnya ustad kecil, walaupun sebenarnya
aku ingin memanggilnya masbro saja.
ini dia mutawwif kami, yang mana? yang itu :D |
tsubhanallah
ReplyDeleteUmroh Desember