Sunday 7 June 2015

Incredible Journey (2) : Madinah, The Windy City I'm Gonna Love Forever

baca kisah sebelumnya di : Incredible Journey (1)


Madinah, The Windy City I’m Gonna Love Forever



Sesuai demografisnya, Arab Saudi adalah daerah padang pasir. Tidak seperti Indonesia yang menghijau dari barat ke timur, dikelilingi gunung gunung indah dengan udara sejuk, negara tropis dengan intensitas hujan yang cukup sering, maka Arab Saudi adalah negara penghasil minyak terbesar yang katanya panas. Dimana-mana hanya ada padang pasir, bukit berbatu, rumah-rumah dengan warna senada, dan udara yang menggantung berwarna coklat keemasan. Saat tiba di Madinah, masih magrib, kami juga masih kerepotan dengan bawaan dan pemeriksaan paspor, kami dibawa ke bus yang akan membawa kami ke Kota Madinah. Sudah gelap, pemandangan Madinah tidak terlalu terlihat, lagipula kami sudah cukup lelah karena baru saja turun dari penerbangan selama delapan jam.
Perjalanan dari bandara ke hotel memakan waktu sekitar 20 menit. Hotel kami jaraknya cukup dekat dari Mesjid Nabawi, kami menginap di Hotel Madinah Al Mubaraq, tidak sampai 200 meter dari depan hotel terbentang, Masjid Nabawi, Masjid Rasulullah SAW. Mashaa’Allah. Kami segera makan malam. Makan malam disebuah restoran di lantai R, yang jika dianalogikan seharusnya ada di lantai 2, dan kami akan menempati kamar-kamar di lantai 4. Setelah dua hari di Madinah aku baru menyadari, restoran kami terletak di lantai 4, dan kamar kami terletak di lantai 8, kenapa demikian, karena lantai 2 dan 3 bangunan tersebut ternyata sebuah mall, itu sebabnya walaupun katanya lantai 4, jika lift penuh dan kami menggunakan tangga darurat ke kamar rasanya jauh sekali. Ternyata kami terkecoh.
       Kami diberi kunci kamar masing-masing, karena berangkat berempat, maka aku, bapak, ibu dan yudi menempati satu kamar sebagai satu familia. Baiknya lagi kami tidak perlu repot-repot membawa koper, karena mulai dari Bandara Kuala Namu sampai di hotel sudah ada petugas yang melakukan itu semua, nice. Selanjutnya, setelah mendapat kamar, memindahkan koper ke kamar, cuci muka dan berwudu, kami berangkat ke Masjid Nabawi, karena belum solat Magrib dan Isya. Wajah kami berseri-seri, hilang sudah segala lelah perjalanan. Saat kaki keluar dari hotel dan melangkah perlahan, baru aku menyadari, Madinah, sebuah kota di negara yang diliputi padang pasir, ternyata udaranya sangat dingin. Angin bertiup kencang, kering dan dingin. Mengecek aplikasi cuaca di gadget ternyata suhu di Kota Madinah, saat itu hampir pukul 9 malam, 23°C. What, ini sih sama seperti udara di kampung nenek di Magelang saat subuh, dingin dan menusuk-nusuk, aku yang berkulit tipis bertulang lemah ini tentu saja menggigil. Tips untuk para calon jamaah umroh dan haji, sebelum berangkat selalu cek keadaan cuaca dan musim di dua tanah haram, agar kita tidak keliru membawa begitu banyak baju hangat saat musim panas atau justru hanya membawa baju harian saja padahal sedang musim dingin. Tapi tak mengapa, dingin ini tak terasa saat kaki melangkah di pelataran Masjid Nabawi. Masjid yang sangat indah, hatiku berdesir, mataku menoleh kekanan dan kekiri, keatas dan kesekeliling sejauh mata ini bisa memandang. Dimana-mana hanya ada keindahan. Orang berlalu lalang, dari seluruh penjuru dunia, Masjid yang selama ini hanya aku lihat dari foto, dari televisi, dari instagram saja, kini aku ada didalamnya. Mashaa’Allah, Alhamdulillah, AllahuAkbar. Meskipun saat itu payung-payung yang sangat terkenal itu sudah menutup, tapi tetap tidak mengurangi keindahan Mesjid Nabawi.
    Dalam rombongan kami ada tiga orang ustad, ustad Junaidi yang berwajah teduh seperti matahari pagi tadi yang merupakan tetangga kami, seorang perwakilan travel yang selanjutnya juga kami panggil ustad, aku tidak tahu siapa namanya, tapi wajahnya mirip seperti Vidi Aldiano, iya yang penyanyi itu, dan mutawwif kami, seorang pemuda berperawakan kecil yang sedang kuliah di Mekkah, agar lebih mudah selanjutnya kita sebut saja ustad Junaidi sebagai ustad baik hati, ustad yang mirip Vidi Aldiano sebagai ustad ganteng :D dan mutawwif kami sebagai ustad kecil.
Ustad baik hati berpesan, karena tempat solat perempuan dan laki-laki di pisah, karena diantara jamaah ibu-ibu yang solat bersama itu, akulah yang termuda, maka aku harus menjaga agar kami tidak terpisah, baiklah, aku catat, aku dan ibuku, dua orang nenek, kemudian ibu paruh baya dengan ibunya yang kira-kira seusia ibuku, dua orang ibu muda dan istri teman bapak. Kami berjanji akan berkumpul di depan toilet nomor 11B. 

bagian dalam Masjid Nabawi

      Inilah Masjid Nabawi, saat kakiku melangkah ke dalam, aku benar-benar bahagia. Ya Allah, aku benar-benar ada disini, di Masjid Rasulullah SAW, aku benar-benar ada di Masjid yang jika solat disini pahalanya 1000 kali lipat dari solat di Masjid manapun kecuali Masjid Al Haram. Interior yang selama ini hanya aku lihat gambarnya, barisan dispenser berisi air zam-zam, jamaah dari seluruh dunia, wah Mashaa’Allah. Maka aku menyadari, bersyukur adalah hal pertama yang harus dilakukan setiap jamaah yang sampai di tempat ini. Aku bersyukur, karena karunia Allah SWT yang begitu besar, nikmat yang begitu luas, sedang diri ini jauh dari kata baik, diri ini masih fakir ilmu. Saat Allah SWT memanggilku, aku penuhi panggilanNya dengan membawa segunung dosa, bertumpuk-tumpuk maksiat, aku datang dalam keadaan yang begitu hina. Ibadah yang lebih sering turun daripada naik, solat kadang masih ditunda-tunda, tilawah quran juga malas-malasan, sedekah juga enggan, masih sering menyakiti dengan lisan dan perbuatan, bahkan aku masih sering bertengkar dengan ibu, kalau mau di jabarkan, tidak ada habisnya kesalahan-kesalahan diri ini. Tapi Allah SWT tetap mengizinkan aku menginjak dua tanah haram. Mengizinkan aku bersujud di Mesjid terindah yang pernah aku lihat, Maka nikmatNya yang mana lagi yang bisa aku dustakan.


The Beauty Of Nabawi



      Masjid Nabawi adalah Masjid yang dibangun Rasulullah SAW saat beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. Awalnya Masjid Nabawi berbentuk bujur sangkar dengan luas 1060 meter persegi. Karena semakin banyaknya kaum muslimin yang datang, Rasulullah SAW, memerintahkan untuk memperluas Masjid, pada perluasan kedua, Masjid Nabawi bertambah luas menjadi 2475 meter persegi. Pada masa khalifah Umar Ibn Khatab ra, terjadi perluasan ketiga, dimana Masjid juga direnovasi dan diperluas hingga ke bagian selatan, barat dan utara seluas 1100 meter persegi. Pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan ra, Masjid dibangun kembali dengan batu dan diperluas sebanyak 470 meter persegi.


      Masjid Nabawi terus mengalami perluasan dan perbaikan, sejak masa khalifah dari bani Ummayah Al-Walid bin AbdilMalik hingga masa dibawah pemerintahan Kerajaan Arab Saudi saat ini, Masjid Nabawi telah mengalami perluasan areal sampai sepuluh kali. Renovasi besar-besaran terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Arab Saudi, Raja Fahd bin Abdil Aziz merenovasi Masjid Nabawi menjadi sebuah Masjid yang sangat megah dan indah. Proyek pembangunan yang berlangsung selama 10 tahun dimulai dari tahun 1405 H (1984 M), dan ketika selesai, areal Masjid Nabawi berubah luasnya menjadi 92.327 meter persegi. Ditambah pelataran disekeliling Masjid juga dibuat sangat indah, maka luas Masjid Nabawi secara keseluruhan pada saat ini adalah 400.327 meter persegi yang dapat menampung sekitar satu juta jamaah.

pintu-pintu Masjid Nabawi

       Saat ini Masjid Nabawi menjadi Masjid yang sangat indah dan megah, seluruh lantainya menggunakan marmer putih agar dapat menyerap panas, dan di pelataran Masjid tersebar payung payung cantik yang dapat terbuka dan tertutup secara otomatis dengan daya listrik untuk melindungi jamaah dari terik matahari dan hujan. Pintu-pintu masuk juga dibuat sangat indah, bewarna coklat dan emas. Selain itu, yang menarik dari Masjid Nabawi adalah kubah yang dimilikinya. Kubah yang pertama dibangun terletak diatas hujroh Nabi SAW yang kita kenal sebagai kubah hijau, terletak di bagian Masjid yang asli pertama kali dibangun Rasulullah SAW, di bawah kubah hijau tersebut di makamkan Rasulullah SAW dan dua sahabat Abu Bakar as Shidiq ra, dan Umar Ibn Khattab ra, kemudian ada 170 kubah lain yang dibangun pada masa pemerintahan Majidi (1265-1277 H), dan yang terakhir dibangun 27 kubah yang bisa bergerak, kubah yang berukuran sangat besar dan memiliki hiasan-hiasan yang sangat indah, apabila kubah ini sedang bergerak terbuka, maka jamaah yang ada di dalam Masjid dapat melihat proses bergeraknya yang perlahan dan langit cerah Madinah akan terlihat dari dalam Masjid. Luar biasa indahnya, Mashaa’Allah.

kota disekeliling Masjid Nabawi

     Pusat kota dibangun mengelilingi Masjid Nabawi. Hotel-hotel dibangun dan ditata dengan baik, kebersihan dan arsitektur tata ruangnya benar-benar menjadi perhatian Kerajaan Arab Saudi. Kota dibuat mengelilingi Masjid agar memudahkan jamaah yang datang dari seluruh dunia untuk beribadah ke Masjid. Saat ini, Madinah termasuk kota termaju di dunia dilihat dari tata kotanya, pelayanannya dan pemandangannya yang indah. 




Bukan Hilang, Hanya ....


      Perkara kehilangan bukan hal baru di Masjid Nabawi. Apa yang hilang? Barang sederhana saja, sandal. Maklum, jika jumlah jamaahnya saya ratusan ribu maka jumlah sandalnya pasti duakali lipat, kanan dan kiri. Memang disediakan lemari untuk menyimpan sandal, namun manusia, tempatnya khilaf dan lupa. Maka, yang menyebabkan banyak jamaah kehilangan sandal adalah karena lupa dimana meletakkan sandalnya atau juga lupa tadi ke Masjid pakai sandal apa sehingga akhirnya khilaf salah mengambil sandal orang. Tidak, tidak ada yang hilang, lagipula siapa yang mau maling sandal di tanah suci. Jangan samakan dengan di Indonesia, yang memang terkadang ada yang datang ke Masjid dengan niat mengambil sandal.
       Adikku salah satunya, hari pertama kami sampai di Madinah, salat pertamanya di Masjid Nabawi, sandalnya yang jelas-jelas diletakkan bersebelahan dengan sepatu bapak, hilang tak berbekas. Ya, hanya sandal nya saja sementara sepatu bapak masih tergeletak manis di lemari penyimpanan. Ambil hikmahnya, dia langsung punya sandal arab begitu sampai Arab Saudi, hehehhe, sayang sekali sandal arabnya made in China. Itu baru kasus pertama, kejadian kehilangan sandal menimpa yudi sampai empat kali, tiga kali di Madinah dan satu kali di Mekkah, bener-bener deh. Terakhir kali dia beli sandal, karena tidak mau ‘hilang’ lagi, dia menulis namanya besar-besar di sandal jepit hijau barunya, plus tanda tangan. Dengan begitu, orang lain tidak mungkin salah ambil sandalnya, siapa juga yang mau sandal dengan tanda tangan awut-awutan deperti itu. 


      Tapi bukan cuma sandal yang bisa hilang. Tersebutlah, kami yang tadi berangkat salat bersama dengan ustad baik hati, dan ustad sudah berpesan agar aku memperhatikan jamaah ibu-ibu paruh baya ini serta membawa mereka kembali ke toilet nomor 11B setelah selesai salat, merasa sudah melaksanakan tugas dengan baik. Sembilan orang jamaah perempuan, termasuk aku, menunggu rombongan bapak-bapak yang solat bersama ustad. Setelah semua berkumpul –dan sandal yudi sudah hilang, kami akan beranjak pulang, tiba-tiba seorang kakek berkata lirih, istrinya belum kelihatan. Maka, kagetlah kami. Apalagi aku. Oh tidak, masa ada yang ketinggalan. Tampak kakek tadi berdialog dengan ustad yang juga terlihat khawatir, kami mafhum, tidak mungkin ustad mencari istri sang kakek ke dalam Masjid karena saf perempuan dan laki-laki jelas terpisah. Jamaah ibu-ibu yang lain sudah duduk di pelataran Masjid dan memijit-mijit kakinya, memberi isyarat  sudah lelah, bahkan ada yang terang-terangan berkata sudah tidak sanggup kalau harus berjalan-jalan lagi.
       Maka, ustad dengan suaranya yang lembut, berkata padaku, ‘kamu mau tidak masuk dan mencari istri bapak itu di dalam Masjid’, aku tersenyum manis, mau ustad, mauuuuu, masalahnya, aku tidak tahu bagaimana wujud si nenek yang hilang ini, aku bahkan belum berkenalan dengan jamaah yang lain, si kakek malah tidak ingat baju yang dikenakan istrinya. Lah, piye to, bagaimana coba cara mencarinya. Stuck for a moment, akhirnya kami mengambil kesimpulan, tentunya nenek itu memakai mukena dan tas yang sama dengan kami, syukur-syukur masih pakai batik yang tadi dikenakan saat berangkat. Maka dengan langkah beriring, aku, ustad baik hati dan ustad ganteng menuju ke bagian perempuan, mereka mengantar sampai ke batas ikhwan diperbolehkan lewat, kemudian aku mulai mencari nenek yang hilang.
     Khawatir memang, masa baru sampai sudah hilang, bukan hilang sih, mungkin tersesat atau lupa tadi masuknya dari pintu berapa, dia bisa berada dimana saja di Masjid yang luasnya 400.000 meter persegi ini. Maka, pandanganku menyapu ke segela penjuru. Sambil bertasbih agar Allah memberi kemudahan, aku menyusuri ruangan salat yang luas, ditempat kami tadi salat, di bagian depan, bahkan tak terasa kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong, mengikuti rombongan jamaah yang berduyun-duyun menuju suatu tempat, yang kemudian esoknya aku tahu, tempat itu adalah pintu masuk ke Raudhah. Tidak ada tanda-tanda mukena atau tas yang sama, maka aku kembali ke luar, ketempat duo ustad kompak itu menungguku.
      Seingatku, tidak ada jamaah perempuan lain yang ikut bersama kami, saat berangkat solat bersama, jamaah perempuan yang ikut hanya sembilan orang, dan kesembilannya, termasuk aku tidak ada yang hilang, maka, siapakah nenek yang hilang ini? Kenapa aku sama sekali tidak ingat tadi ia ikut bersama dengan kami. Sementara ustad berkeras, memang tadi si nenek ikut. Maka kami hanya bisa pasrah sambil berjalan ke rombongan yang sedang menunggu. Aku tidak ingat pastinya, tapi saat itu sudah cukup larut, tampak gurat kelelahan di wajah tiap jamaah, kami menjalani waktu empat jam lebih lama dari biasanya, maka demi melihat kedatangan kami tanpa si nenek, wajah-wajah itu berubah jadi jauh lebih lelah. Sebenarnya aku sih bersedia, seandainya harus mencari lagi keliling Masjid, tapi berputar-putar tanpa tahu siapa yang dicari juga rasanya bukan ide yang terlalu baik, maka atas inisiatif duo ustad itu, kami disuruh kembali ke hotel, biarlah mereka yang menunggu, siapa tahu nenek itu lewat atau kembali ke tempat perjanjian semula, atau mungkin saat kami kembali ia sudah duduk manis di hotel.
       Maka kami kembali, tak lupa membeli sandal baru untuk yudi. Disepanjang jalan dari pintu gerbang Masjid sampai ke pintu hotel yang hanya berupa garis lurus itu, banyak sekali orang menggelar dagangan, belum dikanan kiri jalan banyak toko-toko yang menjual aneka rupa barang. Seandainya mata dan kaki ini tak lelah, aku pasti sudah kalap belanja. Seluruh jamaah saat tiba di hotel langsung beranjak ke kamar masing-masing, ya sudah saatnya istirahat. Aku sendiri baru bisa tidur setelah mandi. Dan kamar hotel, bahkan ketika AC sudah dimatikan udaranya tetap saja dingin. Jika sudah jam 12 malam keatas, maka suhu akan turun drastis ke 15°C. Aaah dingiiiiiiin ....


  Lalu, bagaimana nasib si nenek? Benar kan, tidak ada yang hilang, hanya khilaf dan lupa. Keesokan harinya baru aku tahu, bahwa si nenek ternyata memang tidak ke Masjid, saat kami kembali ia sudah ada di hotel dan memang sejak awal ada di hotel. Tuh kan ...


Hanya Berdiri Menatapnya Saja, Aku Menangis.


     Agenda pertama kami di tanah haram, di Madinah Al Munawwarah, adalah mengunjungi Raudhah Syarifah. Raudhah adalah sebuah tempat yang terletak antara rumah Nabi SAW dengan mimbar syarif. Raudhah berarti taman, sesuai dengan hadist Nabi SAW, yang menyebutkan “Apa yang ada diantara rumahku dan mimbarku adalah Raudhah (sebuah taman) dari taman-taman surga”
Untuk ke Raudhah, ustad kecil membagi kami menjadi dua grup, grup laki-laki yang akan dipimpin olehnya, dan grup perempuan yang nantinya akan dibimbing oleh seorang ustadzah. Kami bersiap pukul sembilan pagi. Raudhah tidak dibuka setiap waktu untuk jamaah perempuan, dalam satu hari ada tiga kesempatan mengunjungi Raudhah, yaitu saat dhuha, saat ba’da zuhur dan saat ba’da isya. Ustadzah sudah tiba, perempuan muda (mungkin dia sebaya denganku juga) yang bersuara sangat lirih. Ia memimpin rombongan kami menuju Masjid Nabawi. Kami berjalan beriring dalam hening mengikutinya. Ah, aku ingat jalan ini, semalam aku sudah melewatinya ketika mencari nenek yang hilang.
      Untuk masuk ke Raudhah, kami harus mengantri cukup lama. Selagi menunggu, kami dianjurkan untuk solat sunah dan berdoa, setelah kami semua duduk manis, ustadzah lembut itu memimpin doa, menyampaikan salam pada Rasulullah SAW, Abu Bakar ash Shiddiq ra, dan Umar Ibn Khattab ra, yang dimakamkan di Masjid Nabawi.
      Dahulu, bersamaan dengan pembangunan Masjid Nabawi, dibangun pula hujroh syarifah, yaitu rumah yang ditempati oleh Nabi SAW bersama Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq ra, rumah Nabi SAW terletak di bagian timur Masjid. Saat Rasulullah SAW wafat di hujroh tersebut, beliau dikubur didalamnya disisi bagian arah kiblat. Kemudian ketika Abu Bakar ash Shiddiq ra, meninggal maka beliau dikuburkan dibelakang Nabi SAW sejarak satu hasta dan kepala beliau sejajar dengan bahu Nabi SAW. Ketika Umar Ibn Khattab ra meninggal, beliau juga dikuburkan didalam hujroh sejauh satu hasta dibelakang Abu Bakar ash Shiddiq ra, dan kepala beliau sejajar dengan bahu Abu Bakar ash Shiddiq ra. Sisi utara hujroh tetap menjadi tempat tinggal Aisyah semasa hidupnya, antara beliau dan kuburan terdapat tirai yang menutupi beliau, ketika beliau wafat, Ummul Mukminin Siti Aisyah dikuburkan di pemakaman Baqi, dan sejak saat itu tidak ada yang menempati Hujroh Syarifah.
      Pada perkembangannya, setelah melalui tahap renovasi, hujroh syarifah kemudian menjadi bagian dari Masjid Nabawi, dibangunlah dinding yang mengelilingi hujroh yang menyambung sampai ke langit-langit. Tapi itu semua tidak bisa kami lihat. Karena dari saf perempuan, Raudhah syarifah terhijab kain putih setinggi hampir dua meter. Maka, panduan kami hanyalah mutawwif yang membimbing kami.

 
ini pintu masuk Raudhah, kubah hijau yang terlihat itu adalah letak makam Rasulullah SAW
     
 Setelah hampir 30 menit menunggu, akhirnya tibalah giliran rombongan kami berkesempatan masuk ke dalam Masjid asli yang dahulu dibangun oleh Rasulullah SAW dan sahabat. Begitu kaki melangkah, maka kacau balau lah rombongan kami, karena begitu padatnya jamaah dari berbagai penjuru dunia, maka kami terpisah tak tentu arah. Aku terus bergandengan dengan ibu. Entah sudah dimana ustadzah lembut dan rombongan jamaah yang lain, ya sudahlah. Maka kami mengikuti jamaah lain yang berdesak-desakan berusaha sampai ke bagian depan. Sayup-sayup kudengar suara wanita muda, yang aku pikir pastilah mutawwif juga, menjelaskan, disebelah mana makam Rasulullah SAW, kemudian dia memimpin jamaah mengucapkan salam dan doa kepada Rasulullah SAW, selanjutnya satu persatu ia menjelaskan dimana letak makan Abu Bakar ash Shiddiq ra, dan Umar Ibn Khattab ra, dan kembali memimpin jamaah menyampaikan salam dan doa. Kemudian, ia membuat jalan agar jamaah yang dibawanya dapat melaksanakan salat sunat. Maka kami, yang notabene bukan jamaahnya, demi melihat ibuku yang kondisi fisiknya tidak terlalu kuat, mengizinkan ibu untuk solat bergantian dengan jamaahnya. Mashaa’Allah, semoga Allah SWT membalas kebaikan ustadzah yang bahkan aku tidak ingat wajahnya tersebut dengan kebaikan yang banyak.
      Aku sendiri, cukuplah, ketika sampai kedalam dan berdiri diantara ratusan orang yang berdesak-desakan, begitu mendengar bahwa kami ada dihadapan Baginda Rasulullah SAW, walaupun terhalang hijab, seakan-akan Beliau sedang menyambut kami, tamunya yang datang dari jauh, airmataku menetes satu-satu. Tak pernah kurasa keharuan melebihi saat itu. Walau hanya berdiri di depan makam nya saja, yang bahkan tak terlihat dari tempatku berdiri, entah bagaimana hati ini dipenuhi keharuan, dipenuhi perasaan yang tidak akan bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat itu terbayang, betapa aku yang hina dina ini sampai, berdiri, menjadi tamu Rasulullah SAW, menjadi tamunya, manusia paling mulia yang pernah hidup di dunia ini, ditempat yang jika kita menyampaikan salam dan shalawat pada Rasulullah SAW, maka beliau akan menjawabnya langsung. Di depan raudhah syarifah, tempat yang kelak akan diangkat ke surga dan menjadi saksi bagi siap-siapa saja yang berdoa dan salat disana. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa aku dustakan. Sebelumnya, aku belum pernah ada ditempat yang hanya dengan berdiri saja memandangnya, hati akan bergetar, airmata akan jatuh bercucuran.
      Ustad berpesan, jika belum ada kesempatan salat, maka perbanyaklah doa, jangan putuskan lisan ini dari berdoa dan bershalawat. Maka selagi menunggu ibu selesai salat, aku menengadahkan tangan dan berdoa. Tahukah kalian, aku merancang untaian doa dalam kata-kata yang begitu banyak saat masih di Indonesia, tapi saat disini, didepan Rasulullah SAW, seluruh untaian kata-kata itu hilang, saat itu aku tidak mengucapkan kata-kata lain, selain ‘Ya Allah, ampunilah aku ..’ berulang-ulang, dengan deraian airmata. Saat itu  aku merasa Tuhan begitu dekat, saat ada ditempat suci ini, aku malu. Malu akan dosa-dosaku, terbayang semua seperti sebuah rangkain film bisu, betapa banyak maksiat yang aku lakukan, betapa jauh selama ini aku dari Tuhan, betapa jika bukan karena kemurahanNya, aku pasti masih tersesat jauh entah dimana.
      Setelah ibu selesai salat, aku dan ibu berpindah ke sisi kiri ruangan, aku tidak bisa memastikan atau menggambarkan ruangan yang kami masuki, karena yang terlihat hanya lautan manusia, ada banyak tiang yang oleh sebagian jamaah sampai dicium dan diusap usap ke tangan dan muka, begitu terlihat oleh ustadzah pembimbingnya, mereka langsung kena hardik, ‘syirik, syirik’ begitu ucap mereka tegas. Sulitnya berdesakan dengan jamaah dari negara lain, secara fisik, kita orang Indonesia, 90% bertubuh mungil, lemah dan suka linglung, sementara jamaah dari Timur Tengah, juga negara-negara barat, mereka tinggi besar dengan gizi seimbang dan keteguhan mental, menerabas apa saja yang menghalangi jalan mereka. Jika kita banyak mengalah, maka mereka kalau bisa mengalahkan. Aku berdesakan dengan jamaah dari Pakistan atau India, dan mereka, Subhanallah ... sanggup mendorong siapa saja yang menghalangi jalan mereka.
        Aku juga tidak mengerti, kenapa kita yang datang untuk beribadah, untuk ‘bertamu’ ke rumah Rasulullah justru bersikap sekasar itu. Kita rela mendorong orang lain agar sampai di saf terdepan, mungkin semua karena cinta, namun, tidakkah kita kelewatan jika sampai menyakiti orang lain demi bisa solat di tempat terbaik, tidak bisakah kita sabar mengantri, tidak bisakah kita tidak memonopoli saf yang kita capai agar orang lain juga bisa beribadah? Dan yang aku lebih tidak mengerti lagi, ditempat se-crowded itu, dimana aku fikir semua orang pastilah sibuk kusyuk berdoa dan bermunajat, atau paling tidak sibuk berdesakan, justru masih ada yang sibuk dengan gadget nya. Kalau sekedar foto, aku mafhum, siapa yang tidak ingin mengabadikan Raudhah sebagai kenang-kenangan pelepas rindu jika sudah kembali ke tanah air, tapi ini, update status!! Karena aku cukup tinggi, aku bisa melihat dengan jelas orang disebelah kiriku, jamaah Indonesia, setelah selesai memfoto bagian atas dinding hujroh syarifah yang tidak tertutup hijab, kemudian ia menjadikan foto tersebut sebagai dp bbm nya untuk selanjutnya mengupdate status “sedang di makan Nabi, itu fotonya, bla bla bla” , Subhanallah ya .. sungguh tak ada maksud mengintip, ia tepat berada didepanku, dan layar handphone nya segaris dengan mataku, padahal saat itu kami sedang berhimpitan menunggu orang-orang selesai salat. Aku tidak sempat memikirkan handphone, karena tanganku terus memegang ibu, kalau sampai pegangan kami lepas, maka aku pasti semaput, bagaimana caraku mencari ibu ditengah kerumunan orang seperti ini. Allah Maha Baik, saat kami sampai didepan, askar yang biasanya perempuan berkebangsaan Arab, berkata dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih “Ya Hajj, Raudhah, Raudhah ...” katanya sambil menunjuk barisan saf didepannya, ia mengatur orang-orang yang solat, menegur jamaah yang terlalu lama salat dan berdoa, kemudia ia mempersilahkan ibu untuk solat sementara aku menunggu dibelakangnya. Setelah ibu selesai, ia menunjuk kearahku dan mempersilahkan aku salat. Maka salatlah aku di raudhah, ustad berpesan, salatlah jika bisa salat, salat dhuha, salat hajat, salat taubat, salat sunat mutlak, apa saja asal jangan salat tasbih karena pasti nanti ditegur askar karena terlalu lama, aku salat dua rakaat, berdoa sebentar kemudian mundur ke belakang, kesempatan ini sudah sangat  luar biasa buatku, mengingat dibelakangku ratusan orang ingin ada ditempatku. Semoga Allah SWT membalas kebaikan sang askar dengan kebaikan yang banyak.
        Untuk semua nikmat yang aku peroleh ini, untuk semua hal yang sudah Allah SWT berikan padaku, aku benar-benar bersyukur. Begitu banyak tempat yang sudah aku kunjungi sebelum ini, tiada yang seindah ini. Banyak kejadian yang menguras airmataku, tapi tak ada haru, seharu ini. Biarlah, biar kami terpisah dari ustadzah bersuara lembut itu, aku bahkan tak melihat jamaah travel kami bahkan sampai keluar Masjid, yang penting kami sudah sampai ke rumah Nabi SAW, kami sudah menyampaikan salam kami ke hadapan Nabi Muhammad SAW, untuk itu, apalagi yang masih aku inginkan, tidak ada. Tidak ada, selain keinginan untuk selalu kembali kemari.


City Tour


Masjid Quba, Masjid Pertama Dalam Sejarah Islam.




      Masjid yang pertama kali dibangun dalam sejarah Islam adalah Masjid Quba, Rasulullah SAW langsung menentukan lokasinya dengan tangan beliau ketika beliau sampai di daerah Quba dalam perjalanan hijrahnya dari Mekkah ke Madinah. Rasulullah SAW sering menziarahi Masjid Quba untuk salat disitu dan biasanya beliau memilih hari sabtu. Ada satu hadis yang menyebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bersuci di rumahnya kemudian mendatangi Masjid Quba, lalu salat dua rakaat disana maka baginya pahala umrah”
      Kami memulai city tour kami pada hari Jumat, pukul delapan pagi waktu Arab Saudi kami sudah berkumpul di loby dan bersiap berangkat ke Masjid Quba, ustad kecil berpesan agar kami terlebih dulu mengambil wudu karena begitu sampai, kami akan salat dua rakaat disana. Transportasi yang disediakan travel benar-benar bagus, kami selalu menggunakan bus ber AC yang nyaman. Aku memilih bangku ditengah, kami menunggu cukup lama, karena ternyata ada beberapa jamaah yang terlambat. Sambil menunggu aku duduk bertopang dagu pada lengan kursi sambil memejamkan mata, ketika tiba-tiba aku mendengar suara membentak, “Jangan tidur! Nanti wudunya batal, kita akan salat di Masjid Quba”, aku tersentak dan membuka mata. Duh, ternyata itu si ustad, luar biasa galaknya, padahal aku tidak tidur, dasar sok tahu. Selanjutnya aku menunggu sambil misuh-misuh, aku tidak biasa dimarahi didepan umum, karena biasanya akulah yang memarahi orang, hahha, sekarang dibalas Allah.

poto dulu nunggu jamaahnya komplit

       Setelah bolak-balik harus dicek ke kamar, akhirnya jamaah kami lengkap, bus meluncur perlahan meninggalkan hotel. Dalam perjalanan ustad menjelaskan rute city tour kami hari ini. Rencananya kami akan ke Masjid Quba, kemudian ke ladang kurma dan terakhir kami akan pergi ke Jabal Uhud. Ustad juga menjelaskan sejarah Masjid Quba pada kami, dan aku yang sudah terlanjur kesal karena dibentaknya memilih untuk tidak memperhatikan, dasar kekanak-kanakan. Seingatku ustad bercerita tentang peristiwa hijrah Rasulullah SAW, keadaan kota Madinah pada waktu itu, juga tentang Abdullah bin Zubair, siapa itu? Nanti kita jabarkan setelah sampai Mekkah. Selama perjalanan kepalaku tak berhenti menoleh kekanan dan kekiri memperhatikan setiap sudut kota Madinah dan arsitektur bangunannya. Walaupun termasuk daerah gersang, Madinah termasuk kota yang sangat cantik, memang tidak seperti perjalanan dari Solo menuju Jogjakarta yang menembus gunung dengan pepohonan rimbun dikanan kirinya, namun Madinah, tata letak jalan, bentuk dan warna bangunannya yang keabuan sangat klasik dan indah dipandang mata. 

bagian dalam Masjid Quba

      Masjid Quba ternyata tidak terlalu jauh, sebentar saja kami sudah sampai ke sebuah Masjid yang sangat indah. Masjid Quba memiliki empat menara yang tersebar di empat sudutnya. Disekeliling Masjid ada pelataran dan halaman yang ditanami pohon-pohon rindang, yang aku terka itu pastilah pohon kurma. Kami masuk dari bagian belakang Masjid, melalui tempat parkir bus. Pertama, ustad memandu kami, para jamaah perempuan ke bagian saf perempuan. Dia menjelaskan, kami harus menunggu di depan sebuah pintu di dekat tempat air minum. Kemudian kami berpisah. Kami, para jamaah perempuan melaksanakan salat di bagian khusus perempuan. Bagian dalam masjidnya indah sekali. Aku memang tidak sampai kedalam, karena kami salat di bagian terluar saf. Masjid Quba sangat padat, banyak jamaah dari seluruh dunia yang datang melihat dan salat disini. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan dari Masjid Quba, karena kami hanya singgah sebentar disini. Aku bahkan tidak sempat berfoto-foto, ah sayang sekali.

Ladang Kurma Fahd


       Rute city tour kami selanjutnya adalah Ladang Kurma Fahd. Dari Masjid Quba, kami menyusuri jalanan Madinah yang relatif sepi menuju ladang kurma. Jalanan kota Madinah berkelok, banyak persimpangan dan sepi. Rasanya seperti berputar-putar didalam komplek perumahan yang tidak ada rumahnya. Kingdom of Saudi Arabia sepertinya sedang gencar melakukan pembangunan. Banyak terlihat eskavator dan beragam alat berat. Benar-benar negeri yang kaya raya. Ke ladang kurma tidak membutuhkan perjalanan yang lama, sekitar 15-20 menit, kami tiba di sebuah tempat dengan tembok yang memagari kanan kirinya, tampak bagian atas ratusan pohon kurma melambai-lambai tertiup angin. Pohon kurma seperti pohon sawit, persis. Pohonnya bersisik dan daunnya berupa pelepah pelepah yang menjuntai. Bentuk buahnya juga mirip dengan sawit, pokoknya jika disandingkan bersama, pohon kurma dan pohon sawit seperti saudara kembar, hanya beda ras saja.
       Kami turun dari bus, jalanan sekitar ladang ini sepi, tandus dan gersang. Tapi sekali lagi, walaupun daerahnya gurun dan matahari bersinar terang benderang, udaranya sama sekali tidak gerah, aku bahkan tidak pernah berkeringat selama di Madinah dan Makkah, hebat kan, MashaaAllah. Aku membaca plang nama di depan gerbang, ‘Ladang Kurma Fahd’, kemudian berfoto-foto ria dengan adikku. Butuh waktu hampir satu bulan untukku menyadari, bahwa mereka menuliskan kata ‘Ladang Kurma’, dan bukannya ‘Dates Factory’ atau ‘Dates Garden’ atau sesuatu dalam bahasa Arab yang kira-kira berarti sama, yang menunjukkan bahwa, ladang kurma ini berarti bisa saja afiliasi pengusaha Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi. Hebat sekali, ada orang Indonesia yang punya ladang di Arab Saudi. Tapi ternyata tidak, ladang ini punya pengusaha Arab Saudi.



       Awalnya aku berpikir, kami akan berjalan-jalan diladang kurma dan melihat proses pengambilan buah kurma dari pohonnya, tapi sekali lagi ternyata tidak. Ternyata kami datang untuk berbelanja. Sebuah ruangan semacam pasar oleh-oleh yang dipenuhi aneka jenis kurma dan olahannya, serta panganan lain seperti kismis, minyak zaitun, kacang-kacangan, buah tin, madu, coklat kesukaanku, dan masih banyak lagi, dijual disini. Harganya jauh lebih mahal daripada yang dijual di pasar kurma apalagi di pasar kaget didepan Masjid Nabawi, mungkin karena langsung dari ladangnya, jadi lebih fresh dan pasti lebih mahal. Daripada kurma, aku lebih tertarik melihat deretan jus buah-buahan yang terlihat begitu menyegarkan. Aku haus sekali.
       Kurma A’jwa adalah primadonanya oleh-oleh. Harganya mahal sekali, satu kilo kurma harganya bisa mencapai SR100 atau sekitar Rp.350.000. Kurma A’jwa adalah kurma Nabi. Dahulu Nabi SAW, menanam kurma dengan tangan beliau, dan dari pohon tersebut kemudian dikembangkanlah pertanian kurma A’jwa. Ada hadis yang menyebutkan bahwa, ‘Barangsiapa yang setiap pagi makan 7 butir kurma A’jwa, maka dia tidak akan terkena sihir atau racun pada hari itu’
Itu sebabnya harga kurma A’jwa mahal. Di Makkah bahkan ada kurma A’jwa yang dibandrol dengan harga SR150 atau sekitar Rp. 475.000 perkilonya. 


        Selain kurma, kami membeli kacang mede, minyak zaitun, buah tin kering, juga madu hitam. Coklat dibandrol SR50, harganya dua setengah kali lipat lebih mahal daripada yang dijual di pasar kaget di depan Masjid Nabawi. Maka, kami memutuskan tidak membeli coklat. Puas berbelanja, kami berkesempatan melihat-lihat perkebunan kurma dibelakang swalayan. Sejauh mata memandang terbentang deretan pohon-pohon kurma yang menghijau, rasanya seperti di Indonesia saja. Setelah cukup beristirahat dan poto-poto, kami kembali ke bus.

Jabal Uhud

disamping perkuburan syuhada Uhud


 Tujuan terakhir kami adalah Jabal Uhud. Jabal Uhud terletak di sebelah utara Masjid Nabawi sejauh kira-kira 4 kilometer. Ketika aku masih SD dulu, sering kubaca mengenai perang-perang di zaman Rasulullah, salah satunya Perang Uhud. Tak perlulah nilai pelajaran agama yang tinggi, karena pasti rata-rata umat Islam tahu, hanya sekedar tahu, nama-nama perang di zaman Rasul. Namun untuk sejarahnya, sepertinya ingatan ini memang tertutup debu debu kemalasan. Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal ditahun ketiga setelah hijrah, setahun setelah Perang Badar. Perang ini adalah perang antara kaum muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah SAW dengan kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan, perang terjadi di Bukit Uhud dengan kekuatan pasukan yang tidak seimbang, dimana tentara muslimin hanya berjumlah 700 orang sementara kafir quraisy berjumlah 3000 orang.




Rasulullah SAW sebenarnya telah membuat strategi perang yang hebat, dengan mengantisipasi kemungkinan datangnya serangan tentara kafir dengan menempatkan 50 orang pemanah di bawah pimpinan Abdullah bin Jubair, dengan pesan tegas dari Rasulullah, agar mereka tetap berada di pos penjagaan, tidak meninggalkan posisi apapun yang terjadi, sekalipun menang jangan datang bergabung dan jika kalah jangan datang menolong.
Pertempuran Uhud awalnya dimenangkan oleh kaum Muslimin, namun demi melihat kemenangan tersebut, pasukan penjaga di garis belakang lupa akan pesan Rasulullah SAW dan meninggalkan posisi mereka untuk mengambil hak pemenang perang, melihat formasi kaum Muslimin yang berantakan, tentara kafir Quraisy kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang balik, sehingga banyaklah kaum Muslimin yang terbunuh, termasuk paman Rasulullah SAW, Hamzah. Merasa menang, Abu Sufyan mengumumkan kepada tentaranya bahwa kaum Muslimin telah kalah dan Rasulullah SAW telah terbunuh. Rasulullah tidak terbunuh, beliau terluka terkena baju perang, setelah pengumuman Abu Sufyan tersebut, Rasul keluar dari tempat persembunyiannya, dan memberitahukan wahyu yang ia terima, QS Ali Imran 139-140, untuk menenangkan hati pasukan Islam. Karena takut kaum Muslimin kembali bersemangat dan menyerang lagi, Abu Sufyan memerintahkan pasukannya mundur dan kembali ke Mekkah. 

dimana-mana bukit

Di Jabal Uhud ini dimakamkan 70 orang syuhada Uhud, termasuk paman Nabi, Hamzah. Rasulullah selalu menziarahi tempat ini, dan tempat inipun kelak akan diangkat ke surga. Jabal Uhud berupa barisan perbukitan yang memanjang sejauh 5 mil. Perkuburan syuhada Uhud tertutup tembok dan pagar sehingga tidak dapat dilihat dari dekat. Kami berziarah dan berdoa. Penting sekali untuk mengambil pelajaran dari setiap perjalanan.
Saat kami tiba di Jabal Uhud, hampir tengah hari. Matahari bersinar dengan sangat terik, aih panasnya. Kira-kira duapuluh menit disana, kami kembali ke bus, untuk selanjutnya pulang ke hotel.

balik ke bus



Solat Jumat : Lautan Manusia Tumpah Ruah.


Ada masanya aku melihat ribuan orang berjubel memenuhi suatu tempat, misalnya ketika mudik, H-1, di terminal bus, atau bahkan di bandara. Orang lalu lalang berseliweran memenuhi jalan-jalan. Namun baru sekali itu aku melihat satu juta orang berbondong-bondong, menyemut memenuhi Masjid Nabawi yang luasnya 400.000 meter persegi itu, penuh sesak, disemua tempat. Jangan harap dapat tempat didalam Masjid jika datang terlambat, pelataran Masjid saja penuh. Tidak seperti di Indonesia, disini jamaah perempuan pun ikut melaksanakan salat Jumat. Hehehe solat jumat dengan khutbah bahasa Arab, tidak ada teksnya, tidak bilingual :D Namun jika kita membawa headset kita bisa menyetel siaran khutbah jumat dari radio setempat dan memilih frekuensi sesuai dengan bahasa kita.
Tapi sayang sekali saudara-saudara, ibu sudah terlalu lelah sepulang city tour, sehingga kami akhirnya salat zuhur di hotel. Dari siaran televisi di kamar hotel, aku menyaksikan siaran langsung salat jumat di mesjid Nabawi. Yah lumayan juga, yang mereka siarkan adalah imam yang sedang memberi khutbah. Imam memimpin salat dari Raudhah. Tampak ia memberi khutbah, dan aku, tak sepatahpun aku mengerti apa yang diucapkannya. Biarlah, tidak mengapa. Gambar kemudian menampilkan suasana pelataran masjid yang penuh jamaah. Biasanya jika salat fardu, jika terlambat pun masih ada tempat di pelataran masjid. Namun saat salat jumat, setiap sudut Nabawi diisi oleh jamaah. Karena dekatnya, bahkan dari hotel pun sebenarnya terdengar suara takbir saat salat.

 Persiapan Ke Mekkah


Tidak ada agenda khusus pada hari sabtu, karena kami harus istirahat dan menyiapkan diri untuk melakukan perjalanan ke Mekkah besoknya. Karena agendanya bebas maka kami melakukan aktifitas masing-masing. Sebagian jamaah ada yang berbelanja, ada yang kembali mengunjungi Masjid Quba, dan aku sendiri memilih kembali ke Raudhah. Dengan nyempil diantara jamaah travel lain, aku kembali mengunjungi Raudhah. Kali ini tidak terlalu ramai, karena sudah hampir tengah hari, aku ikut ke dalam rombongan terakhir yang diperbolehkan ziarah.
Setelah kembali ke hotel, kami mulai berkemas, menyusun koper, mengambil baju yang dilaundri, melengkapi oleh-oleh dan keliling di sekitaran pusat Kota Madinah untuk berfoto-foto ria. Masih di Madinah saja, koper sudah tidak muat :D banyak diantara jamaah yang membeli tas atau koper baru, karena kalapnya berbelanja oleh-oleh, iya termasuk kami juga.
Ba’da Isya, ustad kecil mengumpulkan kami semua di lorong lantai 4, memberi pengarahan apa yang harus disiapkan sebelum berangkat. Rencananya, kami akan berangkat ba’da zuhur dan langsung mengambil miqat di Masjid Dzulhulaifah atau yang lebih kita kenal dengan nama Masjid Bir Ali (Abyar 'Ali) (ﺫﻭﺍﻟﺣﻠﻴﻔﻪ ﺍﺑﻳﺎﺭ ﻋﻠﻲ). Miqat adalah batas bagi dimulainya ibadah haji atau umrah (batas-batas yang telah ditetapkan). Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji atau umrah perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat.
Kami diminta untuk mandi sunah ihram sebelum berangkat dan sudah berihram dari hotel. Ihram bagi laki-laki adalah dua lembar kain tidak berjahit dan di pakai di badan, sementara perempuan adalah pakaian yang menutup aurat. Selama ber-ihram ada pantang larang yang harus dijaga agar tidak membatalkan ihram. Kami juga diminta untuk menjamak salat Zuhur dan Ashar ketika Zuhur dengan tanpa mengqada, kata ustad jangan males, cuma empat rakaat saja di qada. Selain itu ustad juga menjelaskan rangkaian kegiatan yang akan kami laksanakan besok. Setelah berihram, memasang niat dan sampai ke Mekkah, rencananya kami akan langsung melaksanakan umrah, yaitu tawaf dan sai. Estimasi waktunya, kira-kira malam hari kami baru akan sampai Mekkah, sehingga kemungkinan bisa saja umrah baru dilaksanakan pada tengah malam.
Demi melihat jamaah travel yang kebanyakan sudah berumur, ustad juga menawarkan kepada siapa yang kira-kira tidak sanggup melaksanakan tawaf dan sa’i dapat memilih untuk membayar sesorang untuk mendorongnya dengan menggunakan kursi roda. Biayanya SR300 atau sekitar satu juta rupiah. Satu-satunya hal yang kemudian aku sesali setelah itu adalah, aku membiarkan ibu didorong oleh orang lain ketika umrah. Waktu itu aku hanya menimbang dengan unsur-unsur manusiawi, bahwa perjalanan yang jauh dan pasti melelahkan, kondisi ibu yang tidak stabil, ditambah tawaf dan sa’i pasti akan sangat melelahkan karena langsung dikerjakan segera setelah sampai, dengan mengkhawatirkan kalau-kalau ibu tidak kuat mengerjakan seluruh rangkaian umrah sampai selesai, maka waktu itu kami bersepakat agar ibu didorong saja dengan kursi roda.

siap ihram ^^

                Keesokan harinya, minggu cerah, setelah semua koper selesai dipak ulang, kami semua sudah berdandan putih-putih, cerah sekali, ba’da zuhur setelah makan siang, kami berangkat meninggalkan Madinah Al Munawwarah. Bus meluncur perlahan melintasi Masjid Nabawi, melewati Pemakaman Baqi, semakin menjauh hingga tinggal menara-menara Masjid Nabawi yang terlihat, ustad kecil memimpin doa, kemudian memberi tausiyah, memberi kami bermacam wejangan dan kisah-kisah dari sirah Nabawiyah, aku sedih sekali, aku jatuh cinta berkali-kali pada kota indah ini, suasananya, cuacanya, arsitekturnya, semua damai yang ada di kota ini benar-benar membuatku jatuh hati, sekarang kota Rasul ini akan kami tinggalkan, semoga Allah berkenan memanggilku kembali menjadi tamuNya dan tamu Rasulullah SAW didua tanah haram. aamiin. 


Baca cerita kami di Mekkah di Incredible Journey (3), hope you enjoy this ^^ ceeyuuuu

No comments:

Post a Comment