Madinah, The
Windy City I’m Gonna Love Forever
Sesuai
demografisnya, Arab Saudi adalah daerah padang pasir. Tidak seperti Indonesia
yang menghijau dari barat ke timur, dikelilingi gunung gunung indah dengan
udara sejuk, negara tropis dengan intensitas hujan yang cukup sering, maka Arab
Saudi adalah negara penghasil minyak terbesar yang katanya panas. Dimana-mana
hanya ada padang pasir, bukit berbatu, rumah-rumah dengan warna senada, dan
udara yang menggantung berwarna coklat keemasan. Saat tiba di Madinah, masih
magrib, kami juga masih kerepotan dengan bawaan dan pemeriksaan paspor, kami
dibawa ke bus yang akan membawa kami ke Kota Madinah. Sudah gelap, pemandangan
Madinah tidak terlalu terlihat, lagipula kami sudah cukup lelah karena baru
saja turun dari penerbangan selama delapan jam.
Perjalanan
dari bandara ke hotel memakan waktu sekitar 20 menit. Hotel kami jaraknya cukup
dekat dari Mesjid Nabawi, kami menginap di Hotel Madinah Al Mubaraq, tidak
sampai 200 meter dari depan hotel terbentang, Masjid Nabawi, Masjid Rasulullah
SAW. Mashaa’Allah. Kami segera makan malam. Makan malam disebuah restoran di
lantai R, yang jika dianalogikan seharusnya ada di lantai 2, dan kami akan
menempati kamar-kamar di lantai 4. Setelah dua hari di Madinah aku baru
menyadari, restoran kami terletak di lantai 4, dan kamar kami terletak di
lantai 8, kenapa demikian, karena lantai 2 dan 3 bangunan tersebut ternyata
sebuah mall, itu sebabnya walaupun katanya lantai 4, jika lift penuh dan kami
menggunakan tangga darurat ke kamar rasanya jauh sekali. Ternyata kami terkecoh.
Kami diberi kunci kamar masing-masing, karena
berangkat berempat, maka aku, bapak, ibu dan yudi menempati satu kamar sebagai
satu familia. Baiknya lagi kami tidak perlu repot-repot membawa koper, karena
mulai dari Bandara Kuala Namu sampai di hotel sudah ada petugas yang melakukan
itu semua, nice. Selanjutnya, setelah mendapat kamar, memindahkan koper ke
kamar, cuci muka dan berwudu, kami berangkat ke Masjid Nabawi, karena belum
solat Magrib dan Isya. Wajah kami berseri-seri, hilang sudah segala lelah
perjalanan. Saat kaki keluar dari hotel dan melangkah perlahan, baru aku
menyadari, Madinah, sebuah kota di negara yang diliputi padang pasir, ternyata
udaranya sangat dingin. Angin bertiup kencang, kering dan dingin. Mengecek
aplikasi cuaca di gadget ternyata suhu di Kota Madinah, saat itu hampir pukul 9
malam, 23°C.
What, ini sih sama seperti udara di kampung nenek di Magelang saat subuh,
dingin dan menusuk-nusuk, aku yang berkulit tipis bertulang lemah ini tentu
saja menggigil. Tips untuk para calon jamaah umroh dan haji, sebelum berangkat
selalu cek keadaan cuaca dan musim di dua tanah haram, agar kita tidak keliru
membawa begitu banyak baju hangat saat musim panas atau justru hanya membawa
baju harian saja padahal sedang musim dingin. Tapi tak mengapa, dingin ini tak
terasa saat kaki melangkah di pelataran Masjid Nabawi. Masjid yang sangat
indah, hatiku berdesir, mataku menoleh kekanan dan kekiri, keatas dan
kesekeliling sejauh mata ini bisa memandang. Dimana-mana hanya ada keindahan.
Orang berlalu lalang, dari seluruh penjuru dunia, Masjid yang selama ini hanya
aku lihat dari foto, dari televisi, dari instagram saja, kini aku ada
didalamnya. Mashaa’Allah, Alhamdulillah, AllahuAkbar. Meskipun saat itu
payung-payung yang sangat terkenal itu sudah menutup, tapi tetap tidak
mengurangi keindahan Mesjid Nabawi.
Dalam rombongan kami ada tiga
orang ustad, ustad Junaidi yang berwajah teduh seperti matahari pagi tadi yang
merupakan tetangga kami, seorang perwakilan travel yang selanjutnya juga kami
panggil ustad, aku tidak tahu siapa namanya, tapi wajahnya mirip seperti Vidi
Aldiano, iya yang penyanyi itu, dan mutawwif kami, seorang pemuda berperawakan
kecil yang sedang kuliah di Mekkah, agar lebih mudah selanjutnya kita sebut
saja ustad Junaidi sebagai ustad baik hati, ustad yang mirip Vidi Aldiano
sebagai ustad ganteng :D dan mutawwif kami sebagai ustad kecil.
Ustad baik
hati berpesan, karena tempat solat perempuan dan laki-laki di pisah, karena
diantara jamaah ibu-ibu yang solat bersama itu, akulah yang termuda, maka aku
harus menjaga agar kami tidak terpisah, baiklah, aku catat, aku dan ibuku, dua
orang nenek, kemudian ibu paruh baya dengan ibunya yang kira-kira seusia ibuku,
dua orang ibu muda dan istri teman bapak. Kami berjanji akan berkumpul di depan
toilet nomor 11B.
bagian dalam Masjid Nabawi |
Inilah Masjid Nabawi, saat
kakiku melangkah ke dalam, aku benar-benar bahagia. Ya Allah, aku benar-benar
ada disini, di Masjid Rasulullah SAW, aku benar-benar ada di Masjid yang jika
solat disini pahalanya 1000 kali lipat dari solat di Masjid manapun kecuali
Masjid Al Haram. Interior yang selama ini hanya aku lihat gambarnya, barisan
dispenser berisi air zam-zam, jamaah dari seluruh dunia, wah Mashaa’Allah. Maka
aku menyadari, bersyukur adalah hal pertama yang harus dilakukan setiap jamaah
yang sampai di tempat ini. Aku bersyukur, karena karunia Allah SWT yang begitu
besar, nikmat yang begitu luas, sedang diri ini jauh dari kata baik, diri ini
masih fakir ilmu. Saat Allah SWT memanggilku, aku penuhi panggilanNya dengan
membawa segunung dosa, bertumpuk-tumpuk maksiat, aku datang dalam keadaan yang
begitu hina. Ibadah yang lebih sering turun daripada naik, solat kadang masih
ditunda-tunda, tilawah quran juga malas-malasan, sedekah juga enggan, masih
sering menyakiti dengan lisan dan perbuatan, bahkan aku masih sering bertengkar
dengan ibu, kalau mau di jabarkan, tidak ada habisnya kesalahan-kesalahan diri
ini. Tapi Allah SWT tetap mengizinkan aku menginjak dua tanah haram.
Mengizinkan aku bersujud di Mesjid terindah yang pernah aku lihat, Maka
nikmatNya yang mana lagi yang bisa aku dustakan.
The Beauty
Of Nabawi
Masjid Nabawi adalah Masjid yang
dibangun Rasulullah SAW saat beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. Awalnya
Masjid Nabawi berbentuk bujur sangkar dengan luas 1060 meter persegi. Karena
semakin banyaknya kaum muslimin yang datang, Rasulullah SAW, memerintahkan
untuk memperluas Masjid, pada perluasan kedua, Masjid Nabawi bertambah luas
menjadi 2475 meter persegi. Pada masa khalifah Umar Ibn Khatab ra, terjadi
perluasan ketiga, dimana Masjid juga direnovasi dan diperluas hingga ke bagian
selatan, barat dan utara seluas 1100 meter persegi. Pada masa khalifah Utsman
bin ‘Affan ra, Masjid dibangun kembali dengan batu dan diperluas sebanyak 470
meter persegi.
Masjid Nabawi terus mengalami
perluasan dan perbaikan, sejak masa khalifah dari bani Ummayah Al-Walid bin
AbdilMalik hingga masa dibawah pemerintahan Kerajaan Arab Saudi saat ini,
Masjid Nabawi telah mengalami perluasan areal sampai sepuluh kali. Renovasi
besar-besaran terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Arab Saudi, Raja Fahd bin
Abdil Aziz merenovasi Masjid Nabawi menjadi sebuah Masjid yang sangat megah dan
indah. Proyek pembangunan yang berlangsung selama 10 tahun dimulai dari tahun
1405 H (1984 M), dan ketika selesai, areal Masjid Nabawi berubah luasnya
menjadi 92.327 meter persegi. Ditambah pelataran disekeliling Masjid juga
dibuat sangat indah, maka luas Masjid Nabawi secara keseluruhan pada saat ini
adalah 400.327 meter persegi yang dapat menampung sekitar satu juta jamaah.
pintu-pintu Masjid Nabawi |
Saat ini Masjid Nabawi menjadi
Masjid yang sangat indah dan megah, seluruh lantainya menggunakan marmer putih
agar dapat menyerap panas, dan di pelataran Masjid tersebar payung payung
cantik yang dapat terbuka dan tertutup secara otomatis dengan daya listrik
untuk melindungi jamaah dari terik matahari dan hujan. Pintu-pintu masuk juga
dibuat sangat indah, bewarna coklat dan emas. Selain itu, yang menarik dari
Masjid Nabawi adalah kubah yang dimilikinya. Kubah yang pertama dibangun
terletak diatas hujroh Nabi SAW yang kita kenal sebagai kubah hijau, terletak
di bagian Masjid yang asli pertama kali dibangun Rasulullah SAW, di bawah kubah
hijau tersebut di makamkan Rasulullah SAW dan dua sahabat Abu Bakar as Shidiq
ra, dan Umar Ibn Khattab ra, kemudian ada 170 kubah lain yang dibangun pada
masa pemerintahan Majidi (1265-1277 H), dan yang terakhir dibangun 27 kubah
yang bisa bergerak, kubah yang berukuran sangat besar dan memiliki
hiasan-hiasan yang sangat indah, apabila kubah ini sedang bergerak terbuka,
maka jamaah yang ada di dalam Masjid dapat melihat proses bergeraknya yang
perlahan dan langit cerah Madinah akan terlihat dari dalam Masjid. Luar biasa
indahnya, Mashaa’Allah.
kota disekeliling Masjid Nabawi |
Pusat kota dibangun mengelilingi
Masjid Nabawi. Hotel-hotel dibangun dan ditata dengan baik, kebersihan dan arsitektur
tata ruangnya benar-benar menjadi perhatian Kerajaan Arab Saudi. Kota dibuat
mengelilingi Masjid agar memudahkan jamaah yang datang dari seluruh dunia untuk
beribadah ke Masjid. Saat ini, Madinah termasuk kota termaju di dunia dilihat
dari tata kotanya, pelayanannya dan pemandangannya yang indah.
Bukan
Hilang, Hanya ....
Perkara kehilangan bukan hal
baru di Masjid Nabawi. Apa yang hilang? Barang sederhana saja, sandal. Maklum,
jika jumlah jamaahnya saya ratusan ribu maka jumlah sandalnya pasti duakali
lipat, kanan dan kiri. Memang disediakan lemari untuk menyimpan sandal, namun
manusia, tempatnya khilaf dan lupa. Maka, yang menyebabkan banyak jamaah
kehilangan sandal adalah karena lupa dimana meletakkan sandalnya atau juga lupa
tadi ke Masjid pakai sandal apa sehingga akhirnya khilaf salah mengambil sandal
orang. Tidak, tidak ada yang hilang, lagipula siapa yang mau maling sandal di
tanah suci. Jangan samakan dengan di Indonesia, yang memang terkadang ada yang
datang ke Masjid dengan niat mengambil sandal.
Adikku salah satunya, hari
pertama kami sampai di Madinah, salat pertamanya di Masjid Nabawi, sandalnya
yang jelas-jelas diletakkan bersebelahan dengan sepatu bapak, hilang tak
berbekas. Ya, hanya sandal nya saja sementara sepatu bapak masih tergeletak
manis di lemari penyimpanan. Ambil hikmahnya, dia langsung punya sandal arab
begitu sampai Arab Saudi, hehehhe, sayang sekali sandal arabnya made in China. Itu
baru kasus pertama, kejadian kehilangan sandal menimpa yudi sampai empat kali,
tiga kali di Madinah dan satu kali di Mekkah, bener-bener deh. Terakhir kali
dia beli sandal, karena tidak mau ‘hilang’ lagi, dia menulis namanya
besar-besar di sandal jepit hijau barunya, plus tanda tangan. Dengan begitu,
orang lain tidak mungkin salah ambil sandalnya, siapa juga yang mau sandal
dengan tanda tangan awut-awutan deperti itu.
Tapi bukan cuma sandal yang bisa
hilang. Tersebutlah, kami yang tadi berangkat salat bersama dengan ustad baik
hati, dan ustad sudah berpesan agar aku memperhatikan jamaah ibu-ibu paruh baya
ini serta membawa mereka kembali ke toilet nomor 11B setelah selesai salat,
merasa sudah melaksanakan tugas dengan baik. Sembilan orang jamaah perempuan,
termasuk aku, menunggu rombongan bapak-bapak yang solat bersama ustad. Setelah
semua berkumpul –dan sandal yudi sudah hilang, kami akan beranjak pulang,
tiba-tiba seorang kakek berkata lirih, istrinya belum kelihatan. Maka, kagetlah
kami. Apalagi aku. Oh tidak, masa ada yang ketinggalan. Tampak kakek tadi
berdialog dengan ustad yang juga terlihat khawatir, kami mafhum, tidak mungkin
ustad mencari istri sang kakek ke dalam Masjid karena saf perempuan dan
laki-laki jelas terpisah. Jamaah ibu-ibu yang lain sudah duduk di pelataran
Masjid dan memijit-mijit kakinya, memberi isyarat sudah lelah, bahkan ada yang terang-terangan
berkata sudah tidak sanggup kalau harus berjalan-jalan lagi.
Maka, ustad dengan suaranya yang
lembut, berkata padaku, ‘kamu mau tidak masuk dan mencari istri bapak itu di dalam
Masjid’, aku tersenyum manis, mau ustad, mauuuuu, masalahnya, aku tidak tahu
bagaimana wujud si nenek yang hilang ini, aku bahkan belum berkenalan dengan
jamaah yang lain, si kakek malah tidak ingat baju yang dikenakan istrinya. Lah,
piye to, bagaimana coba cara mencarinya. Stuck for a moment, akhirnya kami
mengambil kesimpulan, tentunya nenek itu memakai mukena dan tas yang sama
dengan kami, syukur-syukur masih pakai batik yang tadi dikenakan saat
berangkat. Maka dengan langkah beriring, aku, ustad baik hati dan ustad ganteng
menuju ke bagian perempuan, mereka mengantar sampai ke batas ikhwan
diperbolehkan lewat, kemudian aku mulai mencari nenek yang hilang.
Khawatir memang, masa baru
sampai sudah hilang, bukan hilang sih, mungkin tersesat atau lupa tadi masuknya
dari pintu berapa, dia bisa berada dimana saja di Masjid yang luasnya 400.000
meter persegi ini. Maka, pandanganku menyapu ke segela penjuru. Sambil
bertasbih agar Allah memberi kemudahan, aku menyusuri ruangan salat yang luas,
ditempat kami tadi salat, di bagian depan, bahkan tak terasa kaki ini melangkah
menyusuri lorong-lorong, mengikuti rombongan jamaah yang berduyun-duyun menuju
suatu tempat, yang kemudian esoknya aku tahu, tempat itu adalah pintu masuk ke
Raudhah. Tidak ada tanda-tanda mukena atau tas yang sama, maka aku kembali ke luar,
ketempat duo ustad kompak itu menungguku.
Seingatku, tidak ada jamaah
perempuan lain yang ikut bersama kami, saat berangkat solat bersama, jamaah
perempuan yang ikut hanya sembilan orang, dan kesembilannya, termasuk aku tidak
ada yang hilang, maka, siapakah nenek yang hilang ini? Kenapa aku sama sekali
tidak ingat tadi ia ikut bersama dengan kami. Sementara ustad berkeras, memang
tadi si nenek ikut. Maka kami hanya bisa pasrah sambil berjalan ke rombongan
yang sedang menunggu. Aku tidak ingat pastinya, tapi saat itu sudah cukup
larut, tampak gurat kelelahan di wajah tiap jamaah, kami menjalani waktu empat
jam lebih lama dari biasanya, maka demi melihat kedatangan kami tanpa si nenek,
wajah-wajah itu berubah jadi jauh lebih lelah. Sebenarnya aku sih bersedia,
seandainya harus mencari lagi keliling Masjid, tapi berputar-putar tanpa tahu
siapa yang dicari juga rasanya bukan ide yang terlalu baik, maka atas inisiatif
duo ustad itu, kami disuruh kembali ke hotel, biarlah mereka yang menunggu,
siapa tahu nenek itu lewat atau kembali ke tempat perjanjian semula, atau
mungkin saat kami kembali ia sudah duduk manis di hotel.
Maka kami kembali, tak lupa
membeli sandal baru untuk yudi. Disepanjang jalan dari pintu gerbang Masjid
sampai ke pintu hotel yang hanya berupa garis lurus itu, banyak sekali orang
menggelar dagangan, belum dikanan kiri jalan banyak toko-toko yang menjual
aneka rupa barang. Seandainya mata dan kaki ini tak lelah, aku pasti sudah
kalap belanja. Seluruh jamaah saat tiba di hotel langsung beranjak ke kamar
masing-masing, ya sudah saatnya istirahat. Aku sendiri baru bisa tidur setelah
mandi. Dan kamar hotel, bahkan ketika AC sudah dimatikan udaranya tetap saja
dingin. Jika sudah jam 12 malam keatas, maka suhu akan turun drastis ke 15°C. Aaah dingiiiiiiin
....
Lalu,
bagaimana nasib si nenek? Benar kan, tidak ada yang hilang, hanya khilaf dan
lupa. Keesokan harinya baru aku tahu, bahwa si nenek ternyata memang tidak ke
Masjid, saat kami kembali ia sudah ada di hotel dan memang sejak awal ada di
hotel. Tuh kan ...
Hanya
Berdiri Menatapnya Saja, Aku Menangis.
Agenda pertama kami di tanah
haram, di Madinah Al Munawwarah, adalah mengunjungi Raudhah Syarifah. Raudhah
adalah sebuah tempat yang terletak antara rumah Nabi SAW dengan mimbar syarif.
Raudhah berarti taman, sesuai dengan hadist Nabi SAW, yang menyebutkan “Apa yang ada diantara rumahku dan mimbarku
adalah Raudhah (sebuah taman) dari taman-taman surga”
Untuk ke
Raudhah, ustad kecil membagi kami menjadi dua grup, grup laki-laki yang akan
dipimpin olehnya, dan grup perempuan yang nantinya akan dibimbing oleh seorang
ustadzah. Kami bersiap pukul sembilan pagi. Raudhah tidak dibuka setiap waktu
untuk jamaah perempuan, dalam satu hari ada tiga kesempatan mengunjungi
Raudhah, yaitu saat dhuha, saat ba’da zuhur dan saat ba’da isya. Ustadzah sudah
tiba, perempuan muda (mungkin dia sebaya denganku juga) yang bersuara sangat
lirih. Ia memimpin rombongan kami menuju Masjid Nabawi. Kami berjalan beriring
dalam hening mengikutinya. Ah, aku ingat jalan ini, semalam aku sudah
melewatinya ketika mencari nenek yang hilang.
Untuk masuk ke Raudhah, kami
harus mengantri cukup lama. Selagi menunggu, kami dianjurkan untuk solat sunah
dan berdoa, setelah kami semua duduk manis, ustadzah lembut itu memimpin doa,
menyampaikan salam pada Rasulullah SAW, Abu Bakar ash Shiddiq ra, dan Umar Ibn
Khattab ra, yang dimakamkan di Masjid Nabawi.
Dahulu, bersamaan dengan
pembangunan Masjid Nabawi, dibangun pula hujroh syarifah, yaitu rumah yang
ditempati oleh Nabi SAW bersama Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar ash
Shiddiq ra, rumah Nabi SAW terletak di bagian timur Masjid. Saat Rasulullah SAW
wafat di hujroh tersebut, beliau dikubur didalamnya disisi bagian arah kiblat.
Kemudian ketika Abu Bakar ash Shiddiq ra, meninggal maka beliau dikuburkan
dibelakang Nabi SAW sejarak satu hasta dan kepala beliau sejajar dengan bahu
Nabi SAW. Ketika Umar Ibn Khattab ra meninggal, beliau juga dikuburkan didalam
hujroh sejauh satu hasta dibelakang Abu Bakar ash Shiddiq ra, dan kepala beliau
sejajar dengan bahu Abu Bakar ash Shiddiq ra. Sisi utara hujroh tetap menjadi
tempat tinggal Aisyah semasa hidupnya, antara beliau dan kuburan terdapat tirai
yang menutupi beliau, ketika beliau wafat, Ummul Mukminin Siti Aisyah
dikuburkan di pemakaman Baqi, dan sejak saat itu tidak ada yang menempati
Hujroh Syarifah.
Pada perkembangannya, setelah
melalui tahap renovasi, hujroh syarifah kemudian menjadi bagian dari Masjid
Nabawi, dibangunlah dinding yang mengelilingi hujroh yang menyambung sampai ke
langit-langit. Tapi itu semua tidak bisa kami lihat. Karena dari saf perempuan,
Raudhah syarifah terhijab kain putih setinggi hampir dua meter. Maka, panduan
kami hanyalah mutawwif yang membimbing kami.
Setelah hampir 30 menit
menunggu, akhirnya tibalah giliran rombongan kami berkesempatan masuk ke dalam
Masjid asli yang dahulu dibangun oleh Rasulullah SAW dan sahabat. Begitu kaki
melangkah, maka kacau balau lah rombongan kami, karena begitu padatnya jamaah
dari berbagai penjuru dunia, maka kami terpisah tak tentu arah. Aku terus
bergandengan dengan ibu. Entah sudah dimana ustadzah lembut dan rombongan
jamaah yang lain, ya sudahlah. Maka kami mengikuti jamaah lain yang
berdesak-desakan berusaha sampai ke bagian depan. Sayup-sayup kudengar suara wanita
muda, yang aku pikir pastilah mutawwif juga, menjelaskan, disebelah mana makam
Rasulullah SAW, kemudian dia memimpin jamaah mengucapkan salam dan doa kepada
Rasulullah SAW, selanjutnya satu persatu ia menjelaskan dimana letak makan Abu
Bakar ash Shiddiq ra, dan Umar Ibn Khattab ra, dan kembali memimpin jamaah
menyampaikan salam dan doa. Kemudian, ia membuat jalan agar jamaah yang
dibawanya dapat melaksanakan salat sunat. Maka kami, yang notabene bukan
jamaahnya, demi melihat ibuku yang kondisi fisiknya tidak terlalu kuat,
mengizinkan ibu untuk solat bergantian dengan jamaahnya. Mashaa’Allah, semoga
Allah SWT membalas kebaikan ustadzah yang bahkan aku tidak ingat wajahnya
tersebut dengan kebaikan yang banyak.
Aku sendiri, cukuplah, ketika
sampai kedalam dan berdiri diantara ratusan orang yang berdesak-desakan, begitu
mendengar bahwa kami ada dihadapan Baginda Rasulullah SAW, walaupun terhalang
hijab, seakan-akan Beliau sedang menyambut kami, tamunya yang datang dari jauh,
airmataku menetes satu-satu. Tak pernah kurasa keharuan melebihi saat itu.
Walau hanya berdiri di depan makam nya saja, yang bahkan tak terlihat dari
tempatku berdiri, entah bagaimana hati ini dipenuhi keharuan, dipenuhi perasaan
yang tidak akan bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat itu terbayang, betapa
aku yang hina dina ini sampai, berdiri, menjadi tamu Rasulullah SAW, menjadi
tamunya, manusia paling mulia yang pernah hidup di dunia ini, ditempat yang
jika kita menyampaikan salam dan shalawat pada Rasulullah SAW, maka beliau akan
menjawabnya langsung. Di depan raudhah syarifah, tempat yang kelak akan
diangkat ke surga dan menjadi saksi bagi siap-siapa saja yang berdoa dan salat
disana. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa aku dustakan. Sebelumnya, aku
belum pernah ada ditempat yang hanya dengan berdiri saja memandangnya, hati
akan bergetar, airmata akan jatuh bercucuran.
Ustad berpesan, jika belum ada
kesempatan salat, maka perbanyaklah doa, jangan putuskan lisan ini dari berdoa
dan bershalawat. Maka selagi menunggu ibu selesai salat, aku menengadahkan
tangan dan berdoa. Tahukah kalian, aku merancang untaian doa dalam kata-kata
yang begitu banyak saat masih di Indonesia, tapi saat disini, didepan
Rasulullah SAW, seluruh untaian kata-kata itu hilang, saat itu aku tidak
mengucapkan kata-kata lain, selain ‘Ya Allah, ampunilah aku ..’ berulang-ulang,
dengan deraian airmata. Saat itu aku
merasa Tuhan begitu dekat, saat ada ditempat suci ini, aku malu. Malu akan
dosa-dosaku, terbayang semua seperti sebuah rangkain film bisu, betapa banyak
maksiat yang aku lakukan, betapa jauh selama ini aku dari Tuhan, betapa jika
bukan karena kemurahanNya, aku pasti masih tersesat jauh entah dimana.
Setelah ibu selesai salat, aku
dan ibu berpindah ke sisi kiri ruangan, aku tidak bisa memastikan atau
menggambarkan ruangan yang kami masuki, karena yang terlihat hanya lautan
manusia, ada banyak tiang yang oleh sebagian jamaah sampai dicium dan diusap
usap ke tangan dan muka, begitu terlihat oleh ustadzah pembimbingnya, mereka
langsung kena hardik, ‘syirik, syirik’ begitu ucap mereka tegas. Sulitnya
berdesakan dengan jamaah dari negara lain, secara fisik, kita orang Indonesia,
90% bertubuh mungil, lemah dan suka linglung, sementara jamaah dari Timur
Tengah, juga negara-negara barat, mereka tinggi besar dengan gizi seimbang dan
keteguhan mental, menerabas apa saja yang menghalangi jalan mereka. Jika kita
banyak mengalah, maka mereka kalau bisa mengalahkan. Aku berdesakan dengan
jamaah dari Pakistan atau India, dan mereka, Subhanallah ... sanggup mendorong
siapa saja yang menghalangi jalan mereka.
Aku juga tidak mengerti, kenapa
kita yang datang untuk beribadah, untuk ‘bertamu’ ke rumah Rasulullah justru
bersikap sekasar itu. Kita rela mendorong orang lain agar sampai di saf
terdepan, mungkin semua karena cinta, namun, tidakkah kita kelewatan jika sampai
menyakiti orang lain demi bisa solat di tempat terbaik, tidak bisakah kita
sabar mengantri, tidak bisakah kita tidak memonopoli saf yang kita capai agar
orang lain juga bisa beribadah? Dan yang aku lebih tidak mengerti lagi,
ditempat se-crowded itu, dimana aku fikir semua orang pastilah sibuk kusyuk
berdoa dan bermunajat, atau paling tidak sibuk berdesakan, justru masih ada
yang sibuk dengan gadget nya. Kalau sekedar foto, aku mafhum, siapa yang tidak
ingin mengabadikan Raudhah sebagai kenang-kenangan pelepas rindu jika sudah
kembali ke tanah air, tapi ini, update status!! Karena aku cukup tinggi, aku
bisa melihat dengan jelas orang disebelah kiriku, jamaah Indonesia, setelah
selesai memfoto bagian atas dinding hujroh syarifah yang tidak tertutup hijab,
kemudian ia menjadikan foto tersebut sebagai dp bbm nya untuk selanjutnya
mengupdate status “sedang di makan Nabi, itu fotonya, bla bla bla” ,
Subhanallah ya .. sungguh tak ada maksud mengintip, ia tepat berada didepanku,
dan layar handphone nya segaris dengan mataku, padahal saat itu kami sedang
berhimpitan menunggu orang-orang selesai salat. Aku tidak sempat memikirkan
handphone, karena tanganku terus memegang ibu, kalau sampai pegangan kami lepas,
maka aku pasti semaput, bagaimana caraku mencari ibu ditengah kerumunan orang
seperti ini. Allah Maha Baik, saat kami sampai didepan, askar yang biasanya
perempuan berkebangsaan Arab, berkata dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih
“Ya Hajj, Raudhah, Raudhah ...” katanya sambil menunjuk barisan saf didepannya,
ia mengatur orang-orang yang solat, menegur jamaah yang terlalu lama salat dan
berdoa, kemudia ia mempersilahkan ibu untuk solat sementara aku menunggu
dibelakangnya. Setelah ibu selesai, ia menunjuk kearahku dan mempersilahkan aku
salat. Maka salatlah aku di raudhah, ustad berpesan, salatlah jika bisa salat,
salat dhuha, salat hajat, salat taubat, salat sunat mutlak, apa saja asal
jangan salat tasbih karena pasti nanti ditegur askar karena terlalu lama, aku
salat dua rakaat, berdoa sebentar kemudian mundur ke belakang, kesempatan ini sudah
sangat luar biasa buatku, mengingat
dibelakangku ratusan orang ingin ada ditempatku. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan sang askar dengan kebaikan yang banyak.
Untuk semua nikmat yang aku
peroleh ini, untuk semua hal yang sudah Allah SWT berikan padaku, aku
benar-benar bersyukur. Begitu banyak tempat yang sudah aku kunjungi sebelum
ini, tiada yang seindah ini. Banyak kejadian yang menguras airmataku, tapi tak
ada haru, seharu ini. Biarlah, biar kami terpisah dari ustadzah bersuara lembut
itu, aku bahkan tak melihat jamaah travel kami bahkan sampai keluar Masjid,
yang penting kami sudah sampai ke rumah Nabi SAW, kami sudah menyampaikan salam
kami ke hadapan Nabi Muhammad SAW, untuk itu, apalagi yang masih aku inginkan,
tidak ada. Tidak ada, selain keinginan untuk selalu kembali kemari.
City Tour
Masjid Quba,
Masjid Pertama Dalam Sejarah Islam.
Masjid yang pertama kali
dibangun dalam sejarah Islam adalah Masjid Quba, Rasulullah SAW langsung
menentukan lokasinya dengan tangan beliau ketika beliau sampai di daerah Quba
dalam perjalanan hijrahnya dari Mekkah ke Madinah. Rasulullah SAW sering menziarahi
Masjid Quba untuk salat disitu dan biasanya beliau memilih hari sabtu. Ada satu
hadis yang menyebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bersuci di rumahnya kemudian mendatangi Masjid Quba,
lalu salat dua rakaat disana maka baginya pahala umrah”
Kami memulai city tour kami pada
hari Jumat, pukul delapan pagi waktu Arab Saudi kami sudah berkumpul di loby
dan bersiap berangkat ke Masjid Quba, ustad kecil berpesan agar kami terlebih
dulu mengambil wudu karena begitu sampai, kami akan salat dua rakaat disana.
Transportasi yang disediakan travel benar-benar bagus, kami selalu menggunakan
bus ber AC yang nyaman. Aku memilih bangku ditengah, kami menunggu cukup lama,
karena ternyata ada beberapa jamaah yang terlambat. Sambil menunggu aku duduk bertopang
dagu pada lengan kursi sambil memejamkan mata, ketika tiba-tiba aku mendengar
suara membentak, “Jangan tidur! Nanti
wudunya batal, kita akan salat di Masjid Quba”, aku tersentak dan membuka
mata. Duh, ternyata itu si ustad, luar biasa galaknya, padahal aku tidak tidur,
dasar sok tahu. Selanjutnya aku menunggu sambil misuh-misuh, aku tidak biasa
dimarahi didepan umum, karena biasanya akulah yang memarahi orang, hahha,
sekarang dibalas Allah.
poto dulu nunggu jamaahnya komplit |
Setelah bolak-balik harus dicek
ke kamar, akhirnya jamaah kami lengkap, bus meluncur perlahan meninggalkan
hotel. Dalam perjalanan ustad menjelaskan rute city tour kami hari ini.
Rencananya kami akan ke Masjid Quba, kemudian ke ladang kurma dan terakhir kami
akan pergi ke Jabal Uhud. Ustad juga menjelaskan sejarah Masjid Quba pada kami,
dan aku yang sudah terlanjur kesal karena dibentaknya memilih untuk tidak memperhatikan,
dasar kekanak-kanakan. Seingatku ustad bercerita tentang peristiwa hijrah
Rasulullah SAW, keadaan kota Madinah pada waktu itu, juga tentang Abdullah bin
Zubair, siapa itu? Nanti kita jabarkan setelah sampai Mekkah. Selama perjalanan
kepalaku tak berhenti menoleh kekanan dan kekiri memperhatikan setiap sudut
kota Madinah dan arsitektur bangunannya. Walaupun termasuk daerah gersang,
Madinah termasuk kota yang sangat cantik, memang tidak seperti perjalanan dari
Solo menuju Jogjakarta yang menembus gunung dengan pepohonan rimbun dikanan kirinya,
namun Madinah, tata letak jalan, bentuk dan warna bangunannya yang keabuan
sangat klasik dan indah dipandang mata.
bagian dalam Masjid Quba |
Masjid Quba ternyata tidak
terlalu jauh, sebentar saja kami sudah sampai ke sebuah Masjid yang sangat
indah. Masjid Quba memiliki empat menara yang tersebar di empat sudutnya.
Disekeliling Masjid ada pelataran dan halaman yang ditanami pohon-pohon
rindang, yang aku terka itu pastilah pohon kurma. Kami masuk dari bagian
belakang Masjid, melalui tempat parkir bus. Pertama, ustad memandu kami, para
jamaah perempuan ke bagian saf perempuan. Dia menjelaskan, kami harus menunggu
di depan sebuah pintu di dekat tempat air minum. Kemudian kami berpisah. Kami,
para jamaah perempuan melaksanakan salat di bagian khusus perempuan. Bagian
dalam masjidnya indah sekali. Aku memang tidak sampai kedalam, karena kami
salat di bagian terluar saf. Masjid Quba sangat padat, banyak jamaah dari
seluruh dunia yang datang melihat dan salat disini. Tidak banyak yang bisa aku
ceritakan dari Masjid Quba, karena kami hanya singgah sebentar disini. Aku bahkan
tidak sempat berfoto-foto, ah sayang sekali.
Ladang Kurma
Fahd
Rute city tour kami selanjutnya
adalah Ladang Kurma Fahd. Dari Masjid Quba, kami menyusuri jalanan Madinah yang
relatif sepi menuju ladang kurma. Jalanan kota Madinah berkelok, banyak
persimpangan dan sepi. Rasanya seperti berputar-putar didalam komplek perumahan
yang tidak ada rumahnya. Kingdom of Saudi Arabia sepertinya sedang gencar
melakukan pembangunan. Banyak terlihat eskavator dan beragam alat berat.
Benar-benar negeri yang kaya raya. Ke ladang kurma tidak membutuhkan perjalanan
yang lama, sekitar 15-20 menit, kami tiba di sebuah tempat dengan tembok yang
memagari kanan kirinya, tampak bagian atas ratusan pohon kurma melambai-lambai
tertiup angin. Pohon kurma seperti pohon sawit, persis. Pohonnya bersisik dan
daunnya berupa pelepah pelepah yang menjuntai. Bentuk buahnya juga mirip dengan
sawit, pokoknya jika disandingkan bersama, pohon kurma dan pohon sawit seperti
saudara kembar, hanya beda ras saja.
Kami turun dari bus, jalanan
sekitar ladang ini sepi, tandus dan gersang. Tapi sekali lagi, walaupun
daerahnya gurun dan matahari bersinar terang benderang, udaranya sama sekali tidak
gerah, aku bahkan tidak pernah berkeringat selama di Madinah dan Makkah, hebat
kan, MashaaAllah. Aku membaca plang nama di depan gerbang, ‘Ladang Kurma Fahd’,
kemudian berfoto-foto ria dengan adikku. Butuh waktu hampir satu bulan untukku
menyadari, bahwa mereka menuliskan kata ‘Ladang Kurma’, dan bukannya ‘Dates
Factory’ atau ‘Dates Garden’ atau sesuatu dalam bahasa Arab yang kira-kira
berarti sama, yang menunjukkan bahwa, ladang kurma ini berarti bisa saja
afiliasi pengusaha Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi. Hebat sekali, ada
orang Indonesia yang punya ladang di Arab Saudi. Tapi ternyata tidak, ladang
ini punya pengusaha Arab Saudi.
Awalnya aku berpikir, kami akan
berjalan-jalan diladang kurma dan melihat proses pengambilan buah kurma dari
pohonnya, tapi sekali lagi ternyata tidak. Ternyata kami datang untuk
berbelanja. Sebuah ruangan semacam pasar oleh-oleh yang dipenuhi aneka jenis
kurma dan olahannya, serta panganan lain seperti kismis, minyak zaitun, kacang-kacangan,
buah tin, madu, coklat kesukaanku, dan masih banyak lagi, dijual disini. Harganya
jauh lebih mahal daripada yang dijual di pasar kurma apalagi di pasar kaget
didepan Masjid Nabawi, mungkin karena langsung dari ladangnya, jadi lebih fresh
dan pasti lebih mahal. Daripada kurma, aku lebih tertarik melihat deretan jus
buah-buahan yang terlihat begitu menyegarkan. Aku haus sekali.
Kurma A’jwa adalah primadonanya
oleh-oleh. Harganya mahal sekali, satu kilo kurma harganya bisa mencapai SR100
atau sekitar Rp.350.000. Kurma A’jwa adalah kurma Nabi. Dahulu Nabi SAW,
menanam kurma dengan tangan beliau, dan dari pohon tersebut kemudian
dikembangkanlah pertanian kurma A’jwa. Ada hadis yang menyebutkan bahwa, ‘Barangsiapa yang setiap pagi makan 7 butir
kurma A’jwa, maka dia tidak akan terkena sihir atau racun pada hari itu’
Itu sebabnya
harga kurma A’jwa mahal. Di Makkah bahkan ada kurma A’jwa yang dibandrol dengan
harga SR150 atau sekitar Rp. 475.000 perkilonya.
Selain kurma, kami membeli
kacang mede, minyak zaitun, buah tin kering, juga madu hitam. Coklat dibandrol
SR50, harganya dua setengah kali lipat lebih mahal daripada yang dijual di
pasar kaget di depan Masjid Nabawi. Maka, kami memutuskan tidak membeli coklat.
Puas berbelanja, kami berkesempatan melihat-lihat perkebunan kurma dibelakang
swalayan. Sejauh mata memandang terbentang deretan pohon-pohon kurma yang
menghijau, rasanya seperti di Indonesia saja. Setelah cukup beristirahat dan
poto-poto, kami kembali ke bus.
Jabal Uhud
disamping perkuburan syuhada Uhud |
Tujuan terakhir
kami adalah Jabal Uhud. Jabal Uhud terletak di sebelah utara Masjid Nabawi
sejauh kira-kira 4 kilometer. Ketika aku masih SD dulu, sering kubaca mengenai
perang-perang di zaman Rasulullah, salah satunya Perang Uhud. Tak perlulah
nilai pelajaran agama yang tinggi, karena pasti rata-rata umat Islam tahu,
hanya sekedar tahu, nama-nama perang di zaman Rasul. Namun untuk sejarahnya,
sepertinya ingatan ini memang tertutup debu debu kemalasan. Perang Uhud terjadi
pada bulan Syawal ditahun ketiga setelah hijrah, setahun setelah Perang Badar.
Perang ini adalah perang antara kaum muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah SAW
dengan kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan, perang terjadi di Bukit
Uhud dengan kekuatan pasukan yang tidak seimbang, dimana tentara muslimin hanya
berjumlah 700 orang sementara kafir quraisy berjumlah 3000 orang.
Rasulullah
SAW sebenarnya telah membuat strategi perang yang hebat, dengan mengantisipasi
kemungkinan datangnya serangan tentara kafir dengan menempatkan 50 orang
pemanah di bawah pimpinan Abdullah bin Jubair, dengan pesan tegas dari
Rasulullah, agar mereka tetap berada di pos penjagaan, tidak meninggalkan
posisi apapun yang terjadi, sekalipun menang jangan datang bergabung dan jika
kalah jangan datang menolong.
Pertempuran Uhud
awalnya dimenangkan oleh kaum Muslimin, namun demi melihat kemenangan tersebut,
pasukan penjaga di garis belakang lupa akan pesan Rasulullah SAW dan
meninggalkan posisi mereka untuk mengambil hak pemenang perang, melihat formasi
kaum Muslimin yang berantakan, tentara kafir Quraisy kemudian memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyerang balik, sehingga banyaklah kaum Muslimin yang
terbunuh, termasuk paman Rasulullah SAW, Hamzah. Merasa menang, Abu Sufyan
mengumumkan kepada tentaranya bahwa kaum Muslimin telah kalah dan Rasulullah
SAW telah terbunuh. Rasulullah tidak terbunuh, beliau terluka terkena baju
perang, setelah pengumuman Abu Sufyan tersebut, Rasul keluar dari tempat
persembunyiannya, dan memberitahukan wahyu yang ia terima, QS Ali Imran
139-140, untuk menenangkan hati pasukan Islam. Karena takut kaum Muslimin
kembali bersemangat dan menyerang lagi, Abu Sufyan memerintahkan pasukannya
mundur dan kembali ke Mekkah.
dimana-mana bukit |
Di Jabal
Uhud ini dimakamkan 70 orang syuhada Uhud, termasuk paman Nabi, Hamzah.
Rasulullah selalu menziarahi tempat ini, dan tempat inipun kelak akan diangkat
ke surga. Jabal Uhud berupa barisan perbukitan yang memanjang sejauh 5 mil. Perkuburan
syuhada Uhud tertutup tembok dan pagar sehingga tidak dapat dilihat dari dekat.
Kami berziarah dan berdoa. Penting sekali untuk mengambil pelajaran dari setiap
perjalanan.
Saat kami
tiba di Jabal Uhud, hampir tengah hari. Matahari bersinar dengan sangat terik,
aih panasnya. Kira-kira duapuluh menit disana, kami kembali ke bus, untuk
selanjutnya pulang ke hotel.
balik ke bus |
Solat Jumat
: Lautan Manusia Tumpah Ruah.
Ada masanya
aku melihat ribuan orang berjubel memenuhi suatu tempat, misalnya ketika mudik,
H-1, di terminal bus, atau bahkan di bandara. Orang lalu lalang berseliweran
memenuhi jalan-jalan. Namun baru sekali itu aku melihat satu juta orang
berbondong-bondong, menyemut memenuhi Masjid Nabawi yang luasnya 400.000 meter
persegi itu, penuh sesak, disemua tempat. Jangan harap dapat tempat didalam Masjid
jika datang terlambat, pelataran Masjid saja penuh. Tidak seperti di Indonesia,
disini jamaah perempuan pun ikut melaksanakan salat Jumat. Hehehe solat jumat
dengan khutbah bahasa Arab, tidak ada teksnya, tidak bilingual :D Namun jika
kita membawa headset kita bisa menyetel siaran khutbah jumat dari radio
setempat dan memilih frekuensi sesuai dengan bahasa kita.
Tapi sayang
sekali saudara-saudara, ibu sudah terlalu lelah sepulang city tour, sehingga
kami akhirnya salat zuhur di hotel. Dari siaran televisi di kamar hotel, aku
menyaksikan siaran langsung salat jumat di mesjid Nabawi. Yah lumayan juga,
yang mereka siarkan adalah imam yang sedang memberi khutbah. Imam memimpin
salat dari Raudhah. Tampak ia memberi khutbah, dan aku, tak sepatahpun aku
mengerti apa yang diucapkannya. Biarlah, tidak mengapa. Gambar kemudian
menampilkan suasana pelataran masjid yang penuh jamaah. Biasanya jika salat
fardu, jika terlambat pun masih ada tempat di pelataran masjid. Namun saat
salat jumat, setiap sudut Nabawi diisi oleh jamaah. Karena dekatnya, bahkan
dari hotel pun sebenarnya terdengar suara takbir saat salat.
Persiapan
Ke Mekkah
Tidak ada
agenda khusus pada hari sabtu, karena kami harus istirahat dan menyiapkan diri
untuk melakukan perjalanan ke Mekkah besoknya. Karena agendanya bebas maka kami
melakukan aktifitas masing-masing. Sebagian jamaah ada yang berbelanja, ada
yang kembali mengunjungi Masjid Quba, dan aku sendiri memilih kembali ke
Raudhah. Dengan nyempil diantara jamaah travel lain, aku kembali mengunjungi
Raudhah. Kali ini tidak terlalu ramai, karena sudah hampir tengah hari, aku
ikut ke dalam rombongan terakhir yang diperbolehkan ziarah.
Setelah kembali
ke hotel, kami mulai berkemas, menyusun koper, mengambil baju yang dilaundri,
melengkapi oleh-oleh dan keliling di sekitaran pusat Kota Madinah untuk
berfoto-foto ria. Masih di Madinah saja, koper sudah tidak muat :D banyak
diantara jamaah yang membeli tas atau koper baru, karena kalapnya berbelanja
oleh-oleh, iya termasuk kami juga.
Ba’da Isya,
ustad kecil mengumpulkan kami semua di lorong lantai 4, memberi pengarahan apa
yang harus disiapkan sebelum berangkat. Rencananya, kami akan berangkat ba’da
zuhur dan langsung mengambil miqat di Masjid Dzulhulaifah atau yang lebih kita
kenal dengan nama Masjid Bir Ali (Abyar 'Ali) (ﺫﻭﺍﻟﺣﻠﻴﻔﻪ
ﺍﺑﻳﺎﺭ ﻋﻠﻲ). Miqat adalah batas bagi
dimulainya ibadah haji atau umrah (batas-batas yang telah ditetapkan). Apabila
melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji atau umrah perlu
mengenakan kain ihram dan memasang niat.
Kami diminta
untuk mandi sunah ihram sebelum berangkat dan sudah berihram dari hotel. Ihram
bagi laki-laki adalah dua lembar kain tidak berjahit dan di pakai di badan,
sementara perempuan adalah pakaian yang menutup aurat. Selama ber-ihram ada
pantang larang yang harus dijaga agar tidak membatalkan ihram. Kami juga
diminta untuk menjamak salat Zuhur dan Ashar ketika Zuhur dengan tanpa
mengqada, kata ustad jangan males, cuma empat rakaat saja di qada. Selain itu
ustad juga menjelaskan rangkaian kegiatan yang akan kami laksanakan besok. Setelah berihram, memasang niat dan sampai ke Mekkah, rencananya kami akan
langsung melaksanakan umrah, yaitu tawaf dan sai. Estimasi waktunya, kira-kira
malam hari kami baru akan sampai Mekkah, sehingga kemungkinan bisa saja umrah
baru dilaksanakan pada tengah malam.
Demi melihat
jamaah travel yang kebanyakan sudah berumur, ustad juga menawarkan kepada siapa
yang kira-kira tidak sanggup melaksanakan tawaf dan sa’i dapat memilih untuk
membayar sesorang untuk mendorongnya dengan menggunakan kursi roda. Biayanya SR300
atau sekitar satu juta rupiah. Satu-satunya hal yang kemudian aku sesali
setelah itu adalah, aku membiarkan ibu didorong oleh orang lain ketika umrah. Waktu
itu aku hanya menimbang dengan unsur-unsur manusiawi, bahwa perjalanan yang jauh
dan pasti melelahkan, kondisi ibu yang tidak stabil, ditambah tawaf dan sa’i
pasti akan sangat melelahkan karena langsung dikerjakan segera setelah sampai,
dengan mengkhawatirkan kalau-kalau ibu tidak kuat mengerjakan seluruh rangkaian
umrah sampai selesai, maka waktu itu kami bersepakat agar ibu didorong saja
dengan kursi roda.
siap ihram ^^ |
Keesokan harinya, minggu cerah,
setelah semua koper selesai dipak ulang, kami semua sudah berdandan
putih-putih, cerah sekali, ba’da zuhur setelah makan siang, kami berangkat
meninggalkan Madinah Al Munawwarah. Bus meluncur perlahan melintasi Masjid
Nabawi, melewati Pemakaman Baqi, semakin menjauh hingga tinggal menara-menara
Masjid Nabawi yang terlihat, ustad kecil memimpin doa, kemudian memberi
tausiyah, memberi kami bermacam wejangan dan kisah-kisah dari sirah Nabawiyah, aku
sedih sekali, aku jatuh cinta berkali-kali pada kota indah ini, suasananya,
cuacanya, arsitekturnya, semua damai yang ada di kota ini benar-benar membuatku
jatuh hati, sekarang kota Rasul ini akan kami tinggalkan, semoga Allah berkenan
memanggilku kembali menjadi tamuNya dan tamu Rasulullah SAW didua tanah haram.
aamiin.
Baca cerita kami di Mekkah di Incredible Journey (3), hope you enjoy this ^^ ceeyuuuu
No comments:
Post a Comment