Saturday 6 June 2015

Incredible Journey : Berangkat Umroh



Assalamualaykum,

Hi, long time no see
Hampir setahunan yah gag ada nulis nulis lagi, padahal banyak tempat yang aku kunjungi, tapi ya gitu, penyakit males sama tidur kayaknya betah banget nempel-nempel dibadan, huss huss menjauhlah ...

Alhamdulillah, awal april silam, anggep aja sebagai hadiah ulang tahun, orangtuaku mengajak aku dan adikku, Yudi- yang bandel itu, berangkat umroh. What a wonderful journey.
Nah, banyak yang tanya, kami berangkat darimana, pake travel apa, berapa biayanya, disana ngapain aja. Here they are, the story about two holy places and an incredible journey of mine.

Madinah Al Munawarrah


Prepare Prepare Prepare

Januari silam, saat aku berulang tahun yang ke 27, yeaaayyyy i’m getting older, hiks, ibu memberi hadiah sebuah gamis putih yang ciamik sekali, ada brokat-brokatnya, ada hiasan mutiara-mutiaranya, pokoknya cakep deh, katanya buat ihram. Aaaaaah, buat ihram. Aku mau diajak umroh!!! Tiap hari terusan nyobain baju aja jadinya, aih norak.
Bapak sudah rajin bertanya pada seorang ustad kenalan kami, tetangga kami, seorang ahli penyembuhan, yang baik hati dan bersuara lembut, kapan ada jadwal pemberangkatan umroh. Ustad Junaidi memberitahu bahwa, travel yang menjadikannya kontributor untuk wilayah Delitua akan memberangkatkan jamaah diawal April. Maka Bapak kemudian mendaftar melalui ustad.
Awal Maret, kami mulai melakukan persiapan yang kira-kira diperlukan. Pertama membeli baju :D kemudian, membeli baju lagi, lalu beli baju yang kurang, ah tidak, dasar boros. Karena paspor Bapak dan Ibu masih berlaku, maka aku dan Yudi yang kemudian harus membuat paspor. Membuat paspor tidak makan waktu lama, kira-kira hanya seminggu dengan biaya waktu itu sekitar Rp.365.000.
Paspor beres, sekarang surat mahram. Loh kenapa pakai surat mahram? Kan aku sudah jelas jelas berangkat dengan mahramku, dua lagi, ada Bapak dan Yudi. Tapi begitulah, rules are rules. Dimana  bumi diinjak disitu langit dijunjung. Maka, sebagai persyaratan masuk ke Arab Saudi, pihak travel yang mebuat surat mahram dan visa.



Packing Packing Packing

Travel kami, PT. Grand Shafa Nauli, memberikan beberapa fasilitas ketika kami mendaftar. Mereka memberikan sebuah koper untuk pakaian, sebuah tas sandang kecil yang selanjutnya menjadi tas wajib kami selama disana, sebuah tas tenteng yang kemudian berguna sekali untuk meletakkan barang-barang yang sudah tidak muat lagi di koper ketika pulang, sebuah mukena untuk perempuan, kain ihram untuk laki-laki, buku panduan dan kain seragam batik.
Wah ada kopernya. Saat itu masih maret, begitu koper sampai ditanganku, maka yang aku lakukan adalah bolak-balik packing :D sudah disusun, dibongkar lagi, begitu terus sampai tujuh kali. Baju mana yang harus dibawa, jilbab, kemudian kaus kaki, handuk, manset tangan, kemudian dibongkar lagi, dipilih lagi baju mana yang harus dibawa, yang kemudian ditinggal, Ibu sampai bosan melihatku packing. Padahal jadwalnya hanya 12 hari, tapi koperku sudah sangat gendut seakan-akan aku tinggal sebulan di sana.

ini packing tahap 1, waktu berangkat isinya udah berubah :D



Seminggu Sebelum Berangkat ..

Ustad Junaidi, menyelenggarakan manasik di rumahnya. Beliau yang murah hati, menyediakan tempat, cemilan bahkan makan siang untuk kami para peserta umrah yang mendaftar melaluinya. Dia juga punya miniatur Ka’bah yang dibuat agar kami bisa berlatih tawaf. Setelah dua kali manasik, hari Minggu cerah, dia berpesan, agar kami menjaga kesehatan, banyak berdoa, dan jangan lupa datang ke bandara pada hari Rabu :D
Persiapan sudah 90%, koper sudah dikemas, seragam sudah dijahit, obat-obatan sudah disiapkan. Tinggal berangkat saja, dan saat itu aku menyadari, bukan ini yang semestinya repot-repot kami siapkan, tapi persiapan apa yang kami bawa saat memenuhi panggilanNya menjadi tamu Allah dan Rasulullah di dua tanah haram. Hatiku pilu.



Ada Empat Panggilan Ke Tanah Haram


Cerita ini, tak akan anda temui di buku manapun, di literatur ataupun ceramah ustad manapun. Cerita ini aku dapat dari sang mutawwif sebagai ijtihad pribadinya, dalam perjalanan pulang menuju Jeddah dari Mekkah. Sang ustad berkisah, mereka yang sampai ke tanah haram adalah orang-orang yang dipanggil. Mereka yang baik, yang taat beribadah, mengingat Allah dalam helaan nafas, dipanggil untuk berhaji atau umroh di tanah suci dan kembali ke tanah air sebagai pribadi yang jauh lebih baik lagi, itulah panggilan Allah SWT.  Mereka yang sebelumnya lalai, kadang kadar imannya lebih sering turun daripada naik, yang dahulunya sering melakukan maksiat dan lupa, dipanggil untuk berhaji atau umroh di tanah suci dan ketika kembali menjadi pribadi yang lebih baik, yang bertaubat dan bersungguh-sungguh menjalankan ibadah semata karena Allah SWT, itulah panggilan malaikat.
Mereka yang berangkat ke tanah suci karena status, karena gengsi seluruh kerabat dan sanak saudara telah berhaji atau umroh, karena termasuk keluarga terpandang namun belum berangkat ke tanah suci, karena demi mengejar gelar semata,ketika kembali amalannya tidak bertambah, itulah panggilan Nabi Ibrahim. Terakhir, mereka yang sebelumnya lalai, jarang beribadah, gemar bermaksiat dipanggil ke tanah haram untuk berhaji atau umroh dan ketika kembali malah semakin jahat, semakin menyakiti tetangga, jiran dan kerabat, semakin pelit dan melalaikan ibadah, itulah yang termasuk panggilan setan.
Dimanakah posisi kita? Termasuk panggilan yang manakah kita? Mudah-mudahan panggilan pertama atau kedua. Jika dipanggilan ketiga, banyaklah bertaubat, namun jika sudah termasuk panggilan keempat, pergilah mendaftar lagi, umroh lagi, ketemu saya lagi ... ujar sang ustad sambil tersenyum simpul menutup tausiyahnya.



Ready, Go!

pose sebelum berangkat


Rabu, 8 April 2015, dengan mengucapkan Bismillah, kaki kanan melangkah keluar dengan mantap. Inilah hari yang ditunggu, rasanya seperti ada bunga-bunga dalam hatiku, dengan menggunakan seragam batik biru gelap, kami berangkat ke bandara. Sebelumnya kami berkumpul bersama di rumah Ustad Junaidi, sebagai pembimbing kami dari Indonesia. Ustad Junaidi yang teduh wajahnya seperti matahari pagi, lembut suara dan baik hatinya, bertanya, apakah kami sudah solat duha? Sudah ustad, jawab kami mantap. Kemudian dia bertanya, sudahkah kami solat sunat safar? Dan kami kembali menjawab, sudah ustad, alhamdulillah. Maka, dia kemudian memipin doa sebelum kami memulai perjalanan, Azan dikumandangkan, dengan haru kami kembali ke mobil masing-masing dan meluncur ke Bandara Kuala Namu.
Pukul 11.00 siang, tiba di bandara, ramai sesak ternyata jamaah umroh. Dari berbagai travel, berupa-rupa pakaian batik, dan warna-warni koper. Yang seragam hanya satu, wajah cerah ceria semua calon jamaah. Ada 34 orang jamaah travel kami, sebagian besar sudah berumur. Ada tiga orang anak laki-laki kecil, seorang gadis yang sepertinya sebaya denganku dan cowok paling ganteng di rombongan kami adalah adikku, Yudi, ahahaha. Wajar, yang lain sudah kakek-kakek, minimal bapak-bapak, sisanya anak kecil, wajar dia jadi paling ganteng. Wajar, tidak ada saingan.
Setelah selesai urusan check-in, periksa bagasi, masing-masing dari kami diberi paspor dan tiket pesawat. Kemudian, kami beranjak ke ruang tunggu. Ruang tunggu keberangkatan internasional Kuala Namu yang biasanya tenang, kalau diisi ratusan jamaah umroh, maka tak ada bedanya seperti terminal bus. Riuh, ramai, tumpah ruah. Banyak diantara jamaah yang sudah berulang kali ketanah suci, atau keluar negeri, namun lebih banyak lagi jamaah yang jangankan keluar negeri, ke bandara pun baru pertama kali.
Kami duduk dimana saja ada bangku kosong, selebihnya duduk dilantai, sebagian dari kami makan siang dahulu, karena pesawat baru berangkat pukul 14.00 waktu Indonesia. Kami juga harus menjamak solat Zuhur dan Asar karena perjalanan kali ini akan memakan waktu delapan jam, dan perbedaan waktu antara Indonesia dengan Arab Saudi adalah empat jam. Kita duluan.
Mushola penuh sesak, jamaah dibagi menjadi beberapa shift, ada yang memilih solat di ruang tunggu, yah dimana saja, sama-sama tanah Allah, asal bersih dan meghadap kiblat.
Kira-kira pukul 13.00 kami mulai memasuki pesawat. Pesawat yang akan membawa kami ke tanah suci adalah Pesawat Saudia, besoaaar sekali, kira-kira kapasitas 450 orang, dua tingkat, jumbo jet. Kami berbaris rapi, aku menggenggam tangan ibu. Inilah hadiah ulangtahun terindah yang diberikan orangtuaku sepanjang hidupku sampai saat ini, terima kasih Ibu, Bapak. Terima kasih ya Allah.

 
ini seragam kita, ciamik kan ^^

Aih, Noraknya!


Saudia Airlines


Pukul 14.00 waktu Indonesia, pesawat lepas landas dengan mulus dari Bandara Kuala Namu, Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Tujuan kami adalah Bandara Prince Mohammad bin Abdul Aziz, Madinah, Kingdom of Saudi Arabia. Sering kubaca dalam novel atau bahkan dikoran, penumpang pesawat yang membuat ulah atau bertingkah sangat kampungan karena baru pertama kali naik pesawat. Aku pribadi, alhamdulillah sudah sering naik pesawat, rute domestik, paling jauh ke Jogjakarta, paling lama 2 jam 45 menit waktu tempuh, masih di Waktu Indonesia bagian Barat. Jadi, beginilah cara Tuhan membalasku, yang sering menertawakan orang-orang yang aku bilang kampungan. Perjalanan keluar negeri pertamaku, ke Arab Saudi, dengan pesawat Saudia yang besoar sekali, dua tingkat, kapasitas lebih dari 400 orang, terbang selama delapan jam nonstop, maka jadilah aku si orang norak dan kampungan.
Delapan jam perjalanan, untung pesawatnya Saudia, take off nya mulus sekali. Jadi, apa yang bisa dilakukan selama delapan jam di angkasa. Mau Instagraman jelas tidak bisa, mw bbm-an juga tidak mungkin. Jadi kami duduk manis, memandangi pramugari yang wajahnya mengisyaratkan perjalanan ini sedang menuju jazirah Arab. Setengah jam perjalanan, kami ditawari minuman dingin, mulailah aku dan adikku yang memang bandel itu, tertawa-tawa. Ketika pramugari masih berjarak cukup jauh dari kami, kami berencana meminta bandrek, atau wedang ronde, atau es campur sekalian. Kemudian kami menerka-nerka, harus menggunakan bahasa apakah ketika berbicara dengan kakak cantik itu nanti. Kemudian kami mempraktekan dialog, jika kira-kira kami benar-benar meminta wedang ronde, kadang-kadang kami tertawa untuk hal-hal konyol seperti itu. Namun, saat sang pramugari benar-benar sampai ke bangku kami, akhirnya toh kami membisu, dengan lagak yang sok dianggun-anggunkan, kami meminta jus jeruk, dengan bahasa inggris aksen Medan, yang entah dimengerti entah tidak, beginilah cara sang pramugari memandang kami : tatapan acuh dicampur seuntai senyum manis, dasar kampungan. Hahha, pengalaman naik pesawat berkali-kali ternyata tidak menjamin, aku bisa bersikap normal dipenerbangan internasional. Lagipula sang pramugari pasti sudah mafhum, bolak balik Arab-Indonesia, mengangkut ratusan jamaah umroh dan haji, yang rata-rata baru sekali naik pesawat, yang bahkan tidak tahu bagaimana memasang safety belt, yang norak sekali bolak balik poto-poto dengan gaya berbeda didekat jendela yang kelihatan sayap pesawatnya, atau memaksa naik kelantai dua karena penasaran. Pasti beban mereka berat sekali.
                Beberapa jam kemudian, pramugari kembali datang, kali ini mereka menawarkan makan siang. Aduh makan siang di pesawat, karena selalu menggunakan penerbangan domestik low cost, aku tak kenal makan siang dipesawat, karena biasanya pramugari hanya menawarkan mie instan yang harganya berkali lipat dari harga swalayan. Kali ini sang pramugari dengan senyum manis khas maskapai, menawarkan dengan suara lembutnya, beef or fish? Ooh lala, i wanna beef. Waah porsi makan siangnya banyak, lihat, betapa kampungannya aku. Satu jam kemudian, pramugari kembali muncul menawarkan teh dan kopi. Kemudian kami, aku dan adikku yang suka sekali mengomentari orang, bertanya-tanya, apakah mungkin mereka akan menawarkan kue cubit juga, apem, serabi atau pisang goreng? Beginilah orang Indonesia, setelah kenyang makan dan minum, satu persatu penumpang tertidur, suasana pesawat mulai sepi, penutup jendela mulai diturunkan, penerangan juga dipadamkan, agar apa? Tentu saja, akan lebih baik jika kami tidur saja, daripada grasak-grusuk keliling pesawat menyusahkan pramugari dan pramugara yang sudah repot itu. Mulailah kami meminta selimut, mencoba-coba berbagai gaya tidur, bolak-balik kekamar mandi.
                Setelah beberapa jam mencoba tidur dengan berbagai macam gaya, terdengar lagi suara empuk yang menawarkan teh atau kopi, menjelaskan dalam beberapa jam kita akan mendarat, kemudian datang lagi sang pramugari menawarkan makan sore atau malam(?) dengan suara lembutnya bertanya, beef or chicken? Ooh lala, beef again. Aku suka naik pesawat luar negeri, delapan jam hanya diisi dengan minum, makan, minum, tidur, minum, makan, minum lagi dan kekamar mandi. Dan inilah Indonesia, porsi makanan yang banyak, belum tambahan roti, jus, dan buah tentu tidak cocok untuk rakyat Indonesia yang mungil-mungil, jadi makanan yang tidak termakan, juga garam dan merica, roti, saus, selai, buah-buahan, jus yang belum diminum, bahkan pisau dan garpu berpindah dari box makanan ke kantung muntah, dan diselipkan di tas. Oleh-oleh dari pesawat. Ah, alangkah noraknya.
                Pesawat akhirnya mendarat dengan selamat di Madinah, Alhamdulillah. Inilah perjalanan yang sesungguhnya. Saat itu sekitar pukul enam sore waktu Madinah, ada perbedaan waktu empat jam dengan Indonesia, kami berangkat saat zuhur dan tiba di saat magrib, padahal kami sudah bernorak-norak ria selama delapan jam, yah kadang-kadang aku merasa awet muda sudah melewati waktu empat jam. Kenorakan kami belum selesai, tentu saja, saat turun, belum ada pemandangan yang dilihat, kami berselfi-selfi ria dengan latar belakang pesawat. Yang normal tentu saja menunggu bus yang akan mengantar kami ke bagian imigrasi, ada yang masih jetlag, ada yang sujud syukur, ada yang bertasbih, ada yang takjub. Dan aku termasuk yang takjub.
                Inilah perjalanan terjauh dalam hidupku, sejauh ini kakiku melangkah, ke sebuah negeri yang lebih dari empat belas abad silam, hiduplah manusia paling mulia sepanjang zaman, Rasulullah SAW, ke tempat suci yang Dajjal tidak akan bisa memasukinya, aku bersedekap, menoleh kekanan dan kekiri, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Inilah Madinah, Madinah Al Munawwarah.



Ah, Muda Sekali ..

Kami diantar ke bagian imigrasi dengan bus. Berbondong-bondong, dengan wajah lelah, kulit kering terlalu lama di AC, kaki kram terlalu lama duduk, perut penuh terlalu banyak makan, badan repot terlalu banyak tentengan, tidak, tidak ada yang mengalami semua hal tersebut diatas sekaligus. Kami berbaris rapi, sesuai warna baju travel, aku mengekor dibelakang ibu-ibu berseragam biru gelap. Sambil mengantri, kami menyiapkan paspor. Pemeriksaan paspor, oh tidak, ini gawat, wajahku dipaspor terlalu manis, bersih, segar dan berseri-seri, sementara sekarang, aku sudah berminyak, jerawatku sedang bertaburan, mataku sedikit mengantuk dengan jilbab yang sedikit (iya sedikit) kusut. Bagaimana kalau aku disangka orang lain?! –abaikan kalimat tadi.
Saat mengantri, aku melihat seorang bapak, dari travel yang sama denganku, melakukan pemeriksaan sidik jari. Oh noooooo, tidak, ini baru gawat, masalah, buatku juga ibu. Entah kenapa, tiga tahun belakangan, aku kehilangan sidik jari, pertama saat membuat e-ktp. Orang-orang kelurahan tidak bisa memindai sidik jariku, walaupun sudah berulang kali cuci tangan, menekan sekuat tenaga ke mesin pemindai, petugas bahkan sampai memperhatikan jari-jariku karena tidak bisa menemukan sidik jari, itu tiga tahun yang lalu. Bulan lalu saat membuat paspor pun terjadi hal yang sama, petugas tidak bisa memindai sidik jariku, walau akhirnya pasporku selesai juga dengan sidik jari yang tidak lengkap dan tidak jelas. Sementara ibu, karena sakit, ibu harus rutin mengkonsumsi obat-obatan setiap hari, aku pernah baca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa efek obat-obatan kimia yang dikonsumsi terus-menerus salah satunya menghilangkan sidik jari. Dan itu benar. (Secara kasat mata seperti hilang, namun sebenarnya masih ada garis garis tipis yang tidak terlihat, jadi jika dilihat dengan mata telanjang, ujung jariku hanya berupa kulit polos)
Maka aku mulai, membasahi tanganku dengan ciran pembersih tangan, sebut saja Ant*s :D karena tanganku begitu kering diterpa udara dingin pesawat. Kemudian agar lembab, aku memakai tisu basah, tapi tetap saja, sidik jariku tidak tiba-tiba muncul. Habislah sudah.
Maka, sisanya aku hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga tidak ada masalah dengan petugas imigrasi, aku tidak ingin dan tidak suka menyusahkan rombongan. Ketika ibu diperiksa, ternyata tidak harus memindai sidik jari. Hha, aku yang menyusul dibelakangnya kemudian menyerahkan paspor, tersenyum manis, kemudian petugas menghantamkan cap di bagian visa, menutup paspor sambil menyerahkan kembali padaku, he said thank you! Na, lolos pemeriksaan. Ini pasti karena wajahku tetap semanis dipaspor, ahahah, plak, dasar norak.
Kami kemudian berjalan mengikuti Ustad Junaidi, koper kami juga dibawa, kami dibawa ke sebuah ruang tunggu. 15 menit menunggu, kami berjalan lagi menuju sebuah bus yang terparkir, bus nya besar, tidak seperti di Indonesia, dengan setir kiri. Setelah kami semua duduk manis, koper-koper dimasukkan ke bagasi, meloncatlah seorang pemuda kedalam bus, kecil saja, kurus, kerempeng dan keriting, mengenakan jubah terusan khas laki-laki di Arab Saudi, dengan sorban melilit lehernya dan sebuah lobe tinggi menghiasi kepalanya. Aku yang sedang mengamati pemandangan dari kaca bus yang gelap kaget waktu ia memperkenalkan diri, logat berbicaranya mengingatkan aku pada perjalanan di taksi dari Medan ke Padang Sidempuan, suaranya datar saja, tegas, cenderung galak, dialah mutawwif kami, ustad yang akan membimbing kami selama menjalankan ibadah umroh, dia memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan umurnya. Ah, muda sekali, dia yang masih 26 tahun sudah jadi ustad, sudah berkali-kali menjadi mutawwif umroh dan mungkin haji. Walaupun seumuran, tentu saja jauh berbeda sekali denganku, yang ibadahnya lebih sering turun ini. Karena masih sangat muda, jamaah kami memanggilnya ustad kecil, walaupun sebenarnya aku ingin memanggilnya masbro saja.

ini dia mutawwif kami, yang mana? yang itu :D


Baca cerita kami di Madinah di Incredible Journey (2)! ceeyuuu

1 comment: