belum baca cerita kami sebelumnya di Madinah? klik disini : Incredible Journey (2)
Jarak
Meninggalkan Madinah, menuju Makkah, hmm so sad. |
Madinah Al
Munawwarah berjarak sejauh 430 km dari utara Kota Mekkah Al Mukarrohmah.
Perjalanan kami dimulai dari depan Hotel Madinah Al Mubaraq, setelah kami semua
naik dan duduk, ustad kecil memimpin doa memulai perjalanan. Semakin lama, Masjid
Nabawi semakin tak terlihat, perlahan-lahan bus meluncur menuju Masjid
Dzulhulaifah. Ustad banyak memberikan tausiyah disepanjang perjalanan. Ia
banyak bertanya pada kami, bagaimana perasaan kami selama berada di Madinah,
apa saja yang sudah kami peroleh dari perjalanan ini, ia juga banyak menasihati
kami tentang perkara-perkara mulai dari yang kami anggap sepele seperti adab
makan, sampai kepada perkara kematian, ia senang menyinggung kematian.
Kami tiba di
Masjid Dzulhulaifah, tiba saatnya untuk mengambil miqat dan memasang niat.
Terlebih dahulu kami melaksanakan dua rakaat solat sunah ihram kemudian banyak
berdoa. Setelah selesai solat dan kembali ke bus, ustad kecil kemudian memimpin
kami memasang niat umroh. Selanjutnya, ustad juga menjelaskan segala pantang
larang yang harus kami jaga selama berihram, sekarang kami disebut muhrim,
yaitu orang yang sedang berihram. Diantara pantang larang yang harus kami jaga
adalah, khusus untuk laki-laki tidak boleh mengenakan pakaian berjahit termasuk
pakaian dalam, kaos kaki dan lobe, juga
tidak boleh memakai sepatu yang tertutup seluruhnya, kemudian secara umum kami
tidak boleh menampakkan aurat, dilarang memotong kuku, menggugurkan rambut,
memakai wewangian, berburu dan membunuh hewan buruan, merusak tumbuhan,
berdebat, bertengkar dan berkelahi, meminang, menikah dan menikahkan, juga
bercampur antara suami dan istri. Ustad juga berpesan agar kami berniat jika
ada hal yang sekiranya terjadi selama kami berihram yang akan membatalkan,
semisal bagi perempuan tiba-tiba mendapat halangan, maka kami akan langsung
membatalkan ihram.
Setelah dua
kali mengulang pantang larang yang harus kami jaga, selanjutnya ustad memimpin
kami bertalbiyah. Bus meluncur melewati padang pasir, sambil ikut bertalbiyah
didalam hati, aku melempar pandangan melewati kaca jendela, sesekali aku
melihat unta dan seringkali aku melihat perbukitan. setelah bertalbiyah, ustad
kemudian membagikan air minum dan roti kepada kami, semua dilakukannya sendiri,
tidak mau dan tidak boleh dibantu. Setelah semua selesai, saat itu kira-kira
pukul empat sore, ustad menyarankan agar kami semua istirahat, tidur atau
banyak berdzikir, karena nanti malam kami akan langsung melaksanakan ibadah
umroh begitu sampai ke Mekkah, begitu selesai memberi saran, ustad sendiri
langsung mengambil tempat, duduk dibarisan tengah, tepat diseberang bangkuku, hebat
sekali dia bisa langsung tidur. Aku sendiri jarang bisa tidur dalam perjalanan (sekalipun
perjalanan dengan menggunakan bus malam selama 12 jam) memilih untuk menoleh
kekanan dan kekiri merekam setiap jalan yang kami lewati didalam kepalaku.
Tidak ada yang ingin aku lewatkan, jalanan inilah yang dahulu dilewati
Rasulullah SAW ketika berhijrah, mashaaAllah.
Roti favoritnya ustad, tiap kemana-mana pasti dibagiin beginian, padahal sebenarnya aku lebih suka roti apel :D |
Pukul
setengah tujuh kurang sedikit, kami berhenti disebuat rest area, sekaligus
tempat pengisian bahan bakar. Banyak bus lain yang juga berhenti, dan ratusan
jamaah dari berbagai negara tumpah ruah memenuhi tempat ini. Ada banyak penjual
makanan, ada swalayan juga toko oleh-oleh. Kami berhenti untuk melaksanakan
solat fardhu magrib dan isya. Saat aku mengambil wudu, air nya terasa asin.
Kami masuk ke sebuah mushola, aih padatnya. Agar tidak susah ketika keluar,
kami memilih solat di teras mushola saja, itupun harus berdesakan dengan
ratusan jamaah lain. tidak terdengar suara adzan atau tanda-tanda akan adanya
solat berjamaah. Banyak jamaah lain yang sudah solat sendiri, kami menimbang,
ustad berpesan ketika masih didalam bus, bahwa magrib kira-kira tujuh menit
lagi, dan dari proses keluar bus sampai selesai mengambil wudu, tentunya sudah
lewat tujuh menit. Maka kami berijtihad, bahwa sudah masuk waktu magrib dan
tidak ada solat berjamaah. Kami solat bersama, magrib tiga rakaat kemudian isya
dua rakaat, tepat dirakaat terakhir solat isya, terdengar suara iqamah,
ahahaha, buyarlah konsentrasi, sudah tanggung, yasudahlah, saat kami selesai
terdengar suara takbir berjamaah.
Selesai
solat, kami segera kembali ke bus, seperti biasa selalu ada jamaah yang harus
dicari sampai senewen baru kembali ke bus. Setelah kami semua duduk manis,
ustad selesai menghitung jumlah kami, bus kembali meluncur melewati jalanan
padang pasir yang mulai gelap. Malam telah turun, tak nampak lagi pemandangan
dari balik jendela, kami akan tiba di Mekkah tak kurang dari satu jam.
Sepanjang jalan kami kembali mendengar tausiyah ustad, tentang kota Mekkah yang
sebentar lagi akan kami masuki, setelah melewati batas tanah haram, ia pun
kembali memimpin doa memasuki kota Mekkah, lampu-lampu mulai terang, tampak
bangunan-bangunan rapat menjulang. Tak seperti Madinah yang tenang, Mekkah tak
ubahnya kota metropolitan, padat, ramai dan macet. Disepanjang jalan orang
berlalu-lalang. Di kejauhan tampak Grand Zam-Zam yang sangat terkenal itu,
menara dengan jam dipuncaknya yang membelah jalanan Mekkah, masih jauh, jauh
sekali dan jam itu sudah terlihat.
Grand Zam Zam, poto diambil dari Masjid Haram |
ini dia hotel kami, nomor dua dari kanan, Nawar Syams 1, Misfalah |
Setelah
merayap perlahan selama hampir duapuluh menit, kami tiba di Misfalah, Ibrahim
Al Khalid st, itulah jalan tempat hotel kami berada. Aku tak melihat Masjidil
Haram, mungkin dibalik gedung-gedung. Hotel kami, Nawar Syam 1, dibelakang area
komplek Hotel Hilton, dari depan hotel tampak berdiri tegak menjulang, tower
zam-zam, aih pasti orang kaya yang menginap disana, hotel kami terletak sejauh
hampir satu kilometer dari Masjidil Haram. Pukul setengah sembilan malam, kami
segera turun dan masuk ke hotel, seperti biasa, kami tak direpotkan dengan
urusan koper, karena ustad sudah mengaturnya dengan sangat baik, kami diminta
segera naik ke restoran untuk makan, kemudian mengambil koper langsung di
lantai 8 (lagi) selanjutnya istirahat sebentar dan mengambil wudu, karena pukul
setengah sepuluh malam, kami akan melaksanakan umroh.
Makan malam
pertamaku di Mekkah mengingatkan aku pada masakanku sendiri. Indonesia sekali
menunya, rasanya, porsinya :D kalau di Madinah ada berupa-rupa makanan, maka di
Mekkah, hanya ada satu atau dua jenis lauk, dengan sayur seadanya dan timun.
Tapi tak mengapa, tidak ada yang tidak enak, semuanya mantap, iya tinggal makan
saja kok repot, aku juga malas ber protes ria soal remeh temeh seperti kenapa
tidak ada bawang goreng disayur bayam, atau tidak ada sambel, atau makanan yang
rasanya tidak seperti di Indonesia. Aku tidak pernah suka orang yang menghina
dan membuang-buang makanan. Masak tuh capek tahu, lagipula banyak orang yang
tidak bisa makan, kita malah mengeluh sudah disiapkan makanan, hah tidak tahu
diri.
Setelah
selesai makan, kami menuju lantai 8, kamar kami terletak di ujung, setelah
meluruskan kaki sejenak, kami mengambil wudu, kemudian bersiap berkumpul di
lobi. Para jamaah yang didorong akan berangkat lebih dulu. Seorang lelaki paruh
baya berwajah ramah dan sopan sekali yang mendorong ibu, ustad membekalinya
dengan kartu nama yang bertuliskan nomor teleponnya, dan nomor kamar kami. Setelah
selesai tawaf dan sai maka ibu akan langsung diantar kembali ke hotel. Aku
memandang ibu, inilah kali pertama, di tanah haram, aku tak menggenggam
tangannya.
Kami
berkumpul di lobi, seperti biasa, ada saja yang ditunggu. Kira-kira pukul
sepuluh malam, kami berkerumun mengelilingi ustad, yang berpesan,dengan sangat
tegas, agar kami mengingat nama hotel dan bangunan di sekitar hotel, agar kami
menyimpan kartu nama hotel yang sudah dibubuhi nomor telepon ustad agar jika
kami kesasar kami bisa menghubunginya (aduh jangan sampai kesasar, pulsaku
waktu itu sudah habis), juga agar kami selalu mengikutinya dan bila terjadi sesuatu,
misalnya kami terpisah, kami tak perlu menunggu atau mencari-cari satu sama
lain, dan dia pun tak akan mencari kami sampai seluruh rangkaian umrah selesai,
karena kemungkinan besar tidak akan ketemu, jadi lanjut tawaf saja sendiri, dan
jika nanti tak mendengar suaranya memimpin doa, maka berdoa saja sendiri,
sesuai buku tuntunan yang ada pada kami. Dengan mengucapkan Bismillah, kami
melangkah menuju Masjidil Haram, sudah larut namun masih ramai orang berlalu
lalang, baik yang baru pulang maupun yang baru mau melangkah ke Masjid,
benarlah bahwa Mekkah adalah kota yang tidak pernah tidur. Walaupun jarak hotel
ke Masjid sekitar satu kilometer, tak terasa jauhnya, karena ratusan ribu orang
berduyun-duyun memadati jalanan, pedagang yang masih membuka tokonya menawarkan
rupa-rupa oleh-oleh, belum lagi kawasan penjaja makanan, semerbak wangi nasi
ayam langsung menggelitik hidung. Kami sampai di pintu 79, pintu King Fahd,
sekali lagi ustad mengingatkan agar kami kalau perlu mencatat nomor pintu itu
(dijidat) agar tidak lupa.
Pintu King Fahd, nomor 79 |
Inilah
Masjidil Haram, Masjid yang jika solat disini maka pahalanya seratus ribu kali
lebih banyak dari solat di Mesjid manapun dibumi ini. Penuh sekali, pintu
masuknya bercampur antara perempuan dan laki-laki, aku sering memasukkan
tanganku kebalik jilbab agar tak bersentuhan dengan orang lain karena padatnya.
Kami menyimpan sandal dalam plastik kresek yang disediakan Masjid, kemudian
membawanya kemana-mana. Agar tak hilang, lumayan jauh kalau harus jalan kaki
tanpa sandal kembali ke hotel. Kami berjalan membentuk barisan selebar mungkin
mengikuti ustad. Saat tiba dibarisan dispenser air zam-zam, kami berhenti
sejenak untuk minum dan mengisi botol minum. Kemudian, kami melanjutkan langkah
menuju Ka’bah. Dari pintu masuk, ternyata bagian dalam Masjid adalah lantai
dua, sementara Ka’bah terletak di lantai satu, berarti kontur lahan area Masjid
Haram berupa lembah. Masjid Haram sedang direnovasi, ada pembangunan
besar-besaran perluasan area Masjid, jadi banyak pekerja, banyak alat berat,
banyak ruangan yang ditutup dan disekat, kalau dahulu kita bisa melihat Ka’bah
dari lantai dua ini, sekarang tidak lagi, agar memudahkan jamaah, dibangunlah temporary
ring, berupa tiga tingkat cincin yang melingkari Ka’bah sebagai tempat tawaf. Mereka
yang didorong dengan kursi roda tawaf di lantai dua dan tiga temporary ring
tersebut, sementara kami tawaf di lantai satu. Kami menuruni anak tangga menuju
lantai dasar.
Saat menyentuh
anak tangga terakhir, terhalang temporary ring, Ka’bah, menjulang, kokoh,
besar, cantik sekali, semakin dekat aku melangkah semakin terlihat. Kini aku
berdiri menatapnya, benar-benar ada didepannya, rasanya dekat sekali. Aku tidak
bisa merasakan apapun. Aku hanya menatapnya kosong. Beginikah rasanya? Kenapa
aku tidak merasakan apa-apa. Tidak haru, tidak sedih, hanya takjub saja. Kudengar
ustad memberi arahan, bahwa tawaf akan dimulai ketika kami melewati Hajar
Aswad, kami diwajibkan beristilam atau memberi salam sebanyak tiga kali, dengan
melambaikan tangan sambil berucap ‘Bissmillahi AllahuAkbar’ kemudian mengecup
tangan tanpa bersuara, dan bila melewati rukun Yamani, yaitu sudut sebelum
sudut Hajar Aswad kami kembali beristilam namun tanpa dikecup. Agar tak salah,
rukun Hajar Aswad tempat dimulainya tawaf ditandai dengan lampu hijau, daerah
tersebut selalu padat karena rata-rata jamaah berhenti sejenak untuk
beristilam, kami juga harus berniat tawaf, tujuh putaran mengelilingi Ka’bah. Maka
aku yang masih terhenyak saja bersama rombongan yang lain mulai mengikuti ustad
yang memimpin didepan, aku masih bisa mendengar suaranya memimpin doa, namun
lama-lama suaranya samar saja bercampur dengan dengungan doa dari seluruh
jamaah yang ada disini. Maka biarlah, biarlah dia berdoa didepan, sementara aku
berdoa sendiri, bacaan tawaf sebenarnya hanya Subhanallah, Walhamdulillah, wala Ilaha illallah, Wallahu Akbar, wala
Haula, wala Kuwata Illah Billah, namun bila ingin ditambah dengan doa
sesuai yang tercantum di buku-buku panduan umrah dan haji pun lebih baik,
berdoa dengan bahasa Indonesia pun diperbolehkan, minta apa saja kepada Allah,
memohon ampun, meminta hajat, mumpung lagi ada ditempat terbaik, ditempat yang
mustajab, banyaklah berdoa.
Satu tempat di bumi ini yang hanya berdiri menatapnya saja, hati kan damai |
Aku merenung,
kenapa perasaanku seperti ini. Kenapa tidak bahagia, tidak haru pun tidak
sedih, kenapa justru aku tidak merasakan apapun. Apakah karena dosaku yang
terlalu banyak, sehingga Allah menghijabku dengan Ka’bah, betapa menyedihkan. Ketika
tawaf, setiap kaki kanan melangkah, maka gugurlah satu dosa, dan setiap kaki
kiri dilangkahkan kemudian, dinaikkanlah derajat kita. Disetiap langkahku, aku
tak henti memohon ampun, aku bayangkan dosa-dosa yang begitu banyak, yang aku
bawa sampai ke hadapanNya, aku akui semua kesalahan-kesalahanku, meski banyak
yang sudah aku lupakan, padahal Allah tidak lupa. Aku tidak ingin jadi tamu
yang merugi, aku tidak ingin terus-terusan merasa kosong. Setiap selesai satu
putaran, aku kembali berdoa memohon ampun, begitu terus sampai tak terasa ustad
melambaikan tangannya, mengarahkan kami menjauhi Ka’bah karena ternyata sudah
tujuh putaran, kami kemudian solat sunah tawaf ditempat yang sudah disediakan.
Selesai
pertama kali kepalaku menyentuh lantai untuk bersujud, tepat didepan Ka’bah,
baru airmata ku mengalir, perlahan-lahan baru kurasakan semua perasaan
meledak-ledak dalam hatiku, mengharu biru memenuhi relung hatiku, aih banyaknya
dosaku sampai harus merasakan perasaan seperti ini, saat selesai solat, aku
berdiri menengadahkan tangan dan berdoa, airmataku tak berhenti menetes, aku
tak lagi sesenggukan, tapi benar-benar menangis. Baru bisa kurasakan, ketika
melihatnya, aku bahagia, aku merasa damai, aku merasa terharu dan beragam
perasaan lain yang campur aduk jadi satu. Alhamdulillah, betapa Allah Maha
Baik, Maha Pemurah, Maha Penyayang, maka nikmatNya yang mana lagi yang bisa aku
dustakan?
Setelah selesai
solat, kami beranjak menuju tempat Sa’i. Aku menghapus airmataku dengan jilbab,
seadanya saja. Mengikuti ustad ketempat Sa’i yang padat sekali oleh jamaah,
padahal waktu itu sudah hampir pukul duabelas malam. Suara lantunan doa, tasbih
dan tahmid berdengung diseluruh penjuru ruangan. Kami memulai dari bukit Safa. Kami
berkerumun mengelilingi ustad, ia akan memimpin doa, kemudian berniat untuk Sa’i.
Sa’i, Lautan
Cinta Ibu Tak Terperi
Jika sekarang
anda berangkat umrah atau haji, maka tempat sa’i yang akan anda lewati sudah
sangat cantik. Lantainya marmer, dingin sekali, dengan atap yang melindungi
dari hujan dan panas, bertingkat tiga, ada pendingin ruangan dan tempat minum. Walaupun
jauh, kita bisa beristirahat sejenak bila lelah, minum sebentar dengan air
zam-zam. Dahulu, orang pertama yang melaksanakan Sa’i, dialah Siti Hajar,
Ibunda Nabi Ismail as, saat itu dia sedang berusaha mencari air untuk Nabi
Ismail as yang masih bayi, Ibunda Siti Hajar berlari dari bukit Safa karena
melihat air, namun ternyata tak ada, kemudian berlari ke bukit Marwah karena
merasa melihat air, namun juga tak ada, begitu sampai tujuh kali. Bayangkan!
Bayangkan itu, sekarang kita melaksanakan Sa’i dengan fasilitas yang sangat
memadai, ramai-ramai, bisa istirahat dan tetap merasa capek, bahkan ada yang
tetap mengeluh. Luar biasa.
Bayangkan bagaimana
Ibunda Siti Hajar, perempuan yang baru melahirkan seorang bayi, sendirian di
tanah tandus yang tidak ada apa-apanya, berlari bolak-balik menuruni bukit demi
mencari air, panas terik pastinya, tidak ada lantai marmer, tidak ada pendingin
ruangan, tidak ada yang menemani. Betapa tangguhnya seorang ibu itu. Ibu bisa
melakukan apa saja untuk buah hatinya. Maka, dari Sa’i aku belajar, tak perlu
menunggu sampai melahirkan, (untuk lelaki, tak perlu menunggu sampai melihat
istrimu melahirkan) untuk tahu bahwa Ibu adalah lautan cinta tak terperi di
dunia ini. Banyak yang baru menyadari besarnya pengorbanan ibu setelah punya
anak. Aih, betapa ruginya, jika ibunya
dahulu disia-siakan, dan setelah melahirkan, baru heboh unjuk pengorbanannya
sebagai ibu, tapi tetap tak bisa merawat ibu yang sudah melahirkannya karena
sudah sibuk mengurus anak, aih jangan sampai begitu, jangan sampai kita merugi,
surga ada dibawah kakinya. Tidak perlu menunggu sampai melahirkan, tidak
perlu menunggu sampai merasakan lelahnya Sa’i, pergilah pada Ibumu, minta
ampunlah.
Makkah, The
Trully City That Never Sleep
Selesai sudah
tawaf dan sa’i, saatnya tahalul. Tampak raut-raut bahagia menghiasi wajah kami.
Ustad yang pertama menggunting rambut, kemudian satu persatu jamaah laki-laki
ditahalul, aku sendiri, yang menggunting rambutku adalah bapak. Selesai sudah
umrah kami, kami tersenyum satu sama lain, saling berpeluk erat dan kemudian
mengeluraka handphone untuk berpoto, aih dasar narsis. Walaupun lelah, tapi
tetap bahagia. Setelah melalui perjalanan seharian dari Madinah, melaksanakan
tawaf, sa’i dan akhirnya tahalul, maka lepaslah sudah segala pantang larang
yang harus kami jaga selama berihram. Baiklah, rambutku boleh rontok lagi :D
aaah cutest one ^^ |
Kami berpoto-poto
sejenak, sambil meluruskan kaki, minum dan beristirahat sejenak. Sudah hampir
pukul dua pagi, saat kami berjalan kembali pulang ke hotel. Ada beberapa jamaah
yang hilang, maka Ustad baik hati dan pasangannya duetnya, si ustad ganteng itu
yang kemudian bekerja sama mencari jamaah-jamaah yang hilang. Sementara ustad
kecil memandu kami kembali ke hotel. Jalanan masih ramai, banyak penjual
makanan yang masih buka, aih laparnya. Kami beberapa kali melewati rombongan
jamaah yang sepertinya baru sampai dan bersiap melaksanakan umrah. Benar-benar
kota yang tidak pernah tidur. Kalau boleh ditambahkan, Makkah adalah kota yang
selalu hidup dengan untaian doa yang tak pernah putus. Dimana lagi kita bisa
melihat pemandangan seperti ini, selain di Mekkah. MashaaAllah, Allahu Akbar.
Rombongan kami, jamaah Grand Shafa Nauli, selesai umrah, Alhamdulillah \(^^)/ |
Saat sampai
di hotel, ibu sudah lebih dulu tiba, karena umrahnya dengan mutawwif pribadi :D
pasti cepat selesai. Aku menyesal, membiarkan ibu didorong orang lain. Memang
agak berat, jika ibu harus berjalan kaki sejauh itu, namun setidaknya,
seharusnya waktu itu, aku tak membiarkannya didorong orang lain, semestinya
waktu itu aku saja yang mendorongnya, biarlah, biarlah orang yang sudah dibayar
untuk mendorong ibu menjadi pemandu kami saja. Untuk satu kejadian itu, aku
menyesalinya sampai saat ini.
Besoknya kita tawaf lagi, ibu gag usah didorong lagi |
Baca cerita kami selanjutnya :City Tour! di Incredible Journey (4), jangan bosan yaa .. :D ceeeeyuuuuuuuuuuuu
No comments:
Post a Comment