Thursday 11 June 2015

Incredible Jouney (3) : Makkah, The City That Trully Never Sleep

belum baca cerita kami sebelumnya di Madinah? klik disini : Incredible Journey (2)


Jarak

Meninggalkan Madinah, menuju Makkah, hmm so sad.

Madinah Al Munawwarah berjarak sejauh 430 km dari utara Kota Mekkah Al Mukarrohmah. Perjalanan kami dimulai dari depan Hotel Madinah Al Mubaraq, setelah kami semua naik dan duduk, ustad kecil memimpin doa memulai perjalanan. Semakin lama, Masjid Nabawi semakin tak terlihat, perlahan-lahan bus meluncur menuju Masjid Dzulhulaifah. Ustad banyak memberikan tausiyah disepanjang perjalanan. Ia banyak bertanya pada kami, bagaimana perasaan kami selama berada di Madinah, apa saja yang sudah kami peroleh dari perjalanan ini, ia juga banyak menasihati kami tentang perkara-perkara mulai dari yang kami anggap sepele seperti adab makan, sampai kepada perkara kematian, ia senang menyinggung kematian. 

Kami tiba di Masjid Dzulhulaifah, tiba saatnya untuk mengambil miqat dan memasang niat. Terlebih dahulu kami melaksanakan dua rakaat solat sunah ihram kemudian banyak berdoa. Setelah selesai solat dan kembali ke bus, ustad kecil kemudian memimpin kami memasang niat umroh. Selanjutnya, ustad juga menjelaskan segala pantang larang yang harus kami jaga selama berihram, sekarang kami disebut muhrim, yaitu orang yang sedang berihram. Diantara pantang larang yang harus kami jaga adalah, khusus untuk laki-laki tidak boleh mengenakan pakaian berjahit termasuk pakaian dalam, kaos kaki dan lobe,  juga tidak boleh memakai sepatu yang tertutup seluruhnya, kemudian secara umum kami tidak boleh menampakkan aurat, dilarang memotong kuku, menggugurkan rambut, memakai wewangian, berburu dan membunuh hewan buruan, merusak tumbuhan, berdebat, bertengkar dan berkelahi, meminang, menikah dan menikahkan, juga bercampur antara suami dan istri. Ustad juga berpesan agar kami berniat jika ada hal yang sekiranya terjadi selama kami berihram yang akan membatalkan, semisal bagi perempuan tiba-tiba mendapat halangan, maka kami akan langsung membatalkan ihram.
Setelah dua kali mengulang pantang larang yang harus kami jaga, selanjutnya ustad memimpin kami bertalbiyah. Bus meluncur melewati padang pasir, sambil ikut bertalbiyah didalam hati, aku melempar pandangan melewati kaca jendela, sesekali aku melihat unta dan seringkali aku melihat perbukitan. setelah bertalbiyah, ustad kemudian membagikan air minum dan roti kepada kami, semua dilakukannya sendiri, tidak mau dan tidak boleh dibantu. Setelah semua selesai, saat itu kira-kira pukul empat sore, ustad menyarankan agar kami semua istirahat, tidur atau banyak berdzikir, karena nanti malam kami akan langsung melaksanakan ibadah umroh begitu sampai ke Mekkah, begitu selesai memberi saran, ustad sendiri langsung mengambil tempat, duduk dibarisan tengah, tepat diseberang bangkuku, hebat sekali dia bisa langsung tidur. Aku sendiri jarang  bisa tidur dalam perjalanan (sekalipun perjalanan dengan menggunakan bus malam selama 12 jam) memilih untuk menoleh kekanan dan kekiri merekam setiap jalan yang kami lewati didalam kepalaku. Tidak ada yang ingin aku lewatkan, jalanan inilah yang dahulu dilewati Rasulullah SAW ketika berhijrah, mashaaAllah.
Roti favoritnya ustad, tiap kemana-mana pasti dibagiin beginian, padahal sebenarnya aku lebih suka roti apel :D

Pukul setengah tujuh kurang sedikit, kami berhenti disebuat rest area, sekaligus tempat pengisian bahan bakar. Banyak bus lain yang juga berhenti, dan ratusan jamaah dari berbagai negara tumpah ruah memenuhi tempat ini. Ada banyak penjual makanan, ada swalayan juga toko oleh-oleh. Kami berhenti untuk melaksanakan solat fardhu magrib dan isya. Saat aku mengambil wudu, air nya terasa asin. Kami masuk ke sebuah mushola, aih padatnya. Agar tidak susah ketika keluar, kami memilih solat di teras mushola saja, itupun harus berdesakan dengan ratusan jamaah lain. tidak terdengar suara adzan atau tanda-tanda akan adanya solat berjamaah. Banyak jamaah lain yang sudah solat sendiri, kami menimbang, ustad berpesan ketika masih didalam bus, bahwa magrib kira-kira tujuh menit lagi, dan dari proses keluar bus sampai selesai mengambil wudu, tentunya sudah lewat tujuh menit. Maka kami berijtihad, bahwa sudah masuk waktu magrib dan tidak ada solat berjamaah. Kami solat bersama, magrib tiga rakaat kemudian isya dua rakaat, tepat dirakaat terakhir solat isya, terdengar suara iqamah, ahahaha, buyarlah konsentrasi, sudah tanggung, yasudahlah, saat kami selesai terdengar suara takbir berjamaah. 

Selesai solat, kami segera kembali ke bus, seperti biasa selalu ada jamaah yang harus dicari sampai senewen baru kembali ke bus. Setelah kami semua duduk manis, ustad selesai menghitung jumlah kami, bus kembali meluncur melewati jalanan padang pasir yang mulai gelap. Malam telah turun, tak nampak lagi pemandangan dari balik jendela, kami akan tiba di Mekkah tak kurang dari satu jam. Sepanjang jalan kami kembali mendengar tausiyah ustad, tentang kota Mekkah yang sebentar lagi akan kami masuki, setelah melewati batas tanah haram, ia pun kembali memimpin doa memasuki kota Mekkah, lampu-lampu mulai terang, tampak bangunan-bangunan rapat menjulang. Tak seperti Madinah yang tenang, Mekkah tak ubahnya kota metropolitan, padat, ramai dan macet. Disepanjang jalan orang berlalu-lalang. Di kejauhan tampak Grand Zam-Zam yang sangat terkenal itu, menara dengan jam dipuncaknya yang membelah jalanan Mekkah, masih jauh, jauh sekali dan jam itu sudah terlihat.

Grand Zam Zam, poto diambil dari Masjid Haram

ini dia hotel kami, nomor dua dari kanan, Nawar Syams 1, Misfalah

Setelah merayap perlahan selama hampir duapuluh menit, kami tiba di Misfalah, Ibrahim Al Khalid st, itulah jalan tempat hotel kami berada. Aku tak melihat Masjidil Haram, mungkin dibalik gedung-gedung. Hotel kami, Nawar Syam 1, dibelakang area komplek Hotel Hilton, dari depan hotel tampak berdiri tegak menjulang, tower zam-zam, aih pasti orang kaya yang menginap disana, hotel kami terletak sejauh hampir satu kilometer dari Masjidil Haram. Pukul setengah sembilan malam, kami segera turun dan masuk ke hotel, seperti biasa, kami tak direpotkan dengan urusan koper, karena ustad sudah mengaturnya dengan sangat baik, kami diminta segera naik ke restoran untuk makan, kemudian mengambil koper langsung di lantai 8 (lagi) selanjutnya istirahat sebentar dan mengambil wudu, karena pukul setengah sepuluh malam, kami akan melaksanakan umroh.
Makan malam pertamaku di Mekkah mengingatkan aku pada masakanku sendiri. Indonesia sekali menunya, rasanya, porsinya :D kalau di Madinah ada berupa-rupa makanan, maka di Mekkah, hanya ada satu atau dua jenis lauk, dengan sayur seadanya dan timun. Tapi tak mengapa, tidak ada yang tidak enak, semuanya mantap, iya tinggal makan saja kok repot, aku juga malas ber protes ria soal remeh temeh seperti kenapa tidak ada bawang goreng disayur bayam, atau tidak ada sambel, atau makanan yang rasanya tidak seperti di Indonesia. Aku tidak pernah suka orang yang menghina dan membuang-buang makanan. Masak tuh capek tahu, lagipula banyak orang yang tidak bisa makan, kita malah mengeluh sudah disiapkan makanan, hah tidak tahu diri.

Setelah selesai makan, kami menuju lantai 8, kamar kami terletak di ujung, setelah meluruskan kaki sejenak, kami mengambil wudu, kemudian bersiap berkumpul di lobi. Para jamaah yang didorong akan berangkat lebih dulu. Seorang lelaki paruh baya berwajah ramah dan sopan sekali yang mendorong ibu, ustad membekalinya dengan kartu nama yang bertuliskan nomor teleponnya, dan nomor kamar kami. Setelah selesai tawaf dan sai maka ibu akan langsung diantar kembali ke hotel. Aku memandang ibu, inilah kali pertama, di tanah haram, aku tak menggenggam tangannya.
Kami berkumpul di lobi, seperti biasa, ada saja yang ditunggu. Kira-kira pukul sepuluh malam, kami berkerumun mengelilingi ustad, yang berpesan,dengan sangat tegas, agar kami mengingat nama hotel dan bangunan di sekitar hotel, agar kami menyimpan kartu nama hotel yang sudah dibubuhi nomor telepon ustad agar jika kami kesasar kami bisa menghubunginya (aduh jangan sampai kesasar, pulsaku waktu itu sudah habis), juga agar kami selalu mengikutinya dan bila terjadi sesuatu, misalnya kami terpisah, kami tak perlu menunggu atau mencari-cari satu sama lain, dan dia pun tak akan mencari kami sampai seluruh rangkaian umrah selesai, karena kemungkinan besar tidak akan ketemu, jadi lanjut tawaf saja sendiri, dan jika nanti tak mendengar suaranya memimpin doa, maka berdoa saja sendiri, sesuai buku tuntunan yang ada pada kami. Dengan mengucapkan Bismillah, kami melangkah menuju Masjidil Haram, sudah larut namun masih ramai orang berlalu lalang, baik yang baru pulang maupun yang baru mau melangkah ke Masjid, benarlah bahwa Mekkah adalah kota yang tidak pernah tidur. Walaupun jarak hotel ke Masjid sekitar satu kilometer, tak terasa jauhnya, karena ratusan ribu orang berduyun-duyun memadati jalanan, pedagang yang masih membuka tokonya menawarkan rupa-rupa oleh-oleh, belum lagi kawasan penjaja makanan, semerbak wangi nasi ayam langsung menggelitik hidung. Kami sampai di pintu 79, pintu King Fahd, sekali lagi ustad mengingatkan agar kami kalau perlu mencatat nomor pintu itu (dijidat) agar tidak lupa. 

Pintu King Fahd, nomor 79


Inilah Masjidil Haram, Masjid yang jika solat disini maka pahalanya seratus ribu kali lebih banyak dari solat di Mesjid manapun dibumi ini. Penuh sekali, pintu masuknya bercampur antara perempuan dan laki-laki, aku sering memasukkan tanganku kebalik jilbab agar tak bersentuhan dengan orang lain karena padatnya. Kami menyimpan sandal dalam plastik kresek yang disediakan Masjid, kemudian membawanya kemana-mana. Agar tak hilang, lumayan jauh kalau harus jalan kaki tanpa sandal kembali ke hotel. Kami berjalan membentuk barisan selebar mungkin mengikuti ustad. Saat tiba dibarisan dispenser air zam-zam, kami berhenti sejenak untuk minum dan mengisi botol minum. Kemudian, kami melanjutkan langkah menuju Ka’bah. Dari pintu masuk, ternyata bagian dalam Masjid adalah lantai dua, sementara Ka’bah terletak di lantai satu, berarti kontur lahan area Masjid Haram berupa lembah. Masjid Haram sedang direnovasi, ada pembangunan besar-besaran perluasan area Masjid, jadi banyak pekerja, banyak alat berat, banyak ruangan yang ditutup dan disekat, kalau dahulu kita bisa melihat Ka’bah dari lantai dua ini, sekarang tidak lagi, agar memudahkan jamaah, dibangunlah temporary ring, berupa tiga tingkat cincin yang melingkari Ka’bah sebagai tempat tawaf. Mereka yang didorong dengan kursi roda tawaf di lantai dua dan tiga temporary ring tersebut, sementara kami tawaf di lantai satu. Kami menuruni anak tangga menuju lantai dasar.
Saat menyentuh anak tangga terakhir, terhalang temporary ring, Ka’bah, menjulang, kokoh, besar, cantik sekali, semakin dekat aku melangkah semakin terlihat. Kini aku berdiri menatapnya, benar-benar ada didepannya, rasanya dekat sekali. Aku tidak bisa merasakan apapun. Aku hanya menatapnya kosong. Beginikah rasanya? Kenapa aku tidak merasakan apa-apa. Tidak haru, tidak sedih, hanya takjub saja. Kudengar ustad memberi arahan, bahwa tawaf akan dimulai ketika kami melewati Hajar Aswad, kami diwajibkan beristilam atau memberi salam sebanyak tiga kali, dengan melambaikan tangan sambil berucap ‘Bissmillahi AllahuAkbar’ kemudian mengecup tangan tanpa bersuara, dan bila melewati rukun Yamani, yaitu sudut sebelum sudut Hajar Aswad kami kembali beristilam namun tanpa dikecup. Agar tak salah, rukun Hajar Aswad tempat dimulainya tawaf ditandai dengan lampu hijau, daerah tersebut selalu padat karena rata-rata jamaah berhenti sejenak untuk beristilam, kami juga harus berniat tawaf, tujuh putaran mengelilingi Ka’bah. Maka aku yang masih terhenyak saja bersama rombongan yang lain mulai mengikuti ustad yang memimpin didepan, aku masih bisa mendengar suaranya memimpin doa, namun lama-lama suaranya samar saja bercampur dengan dengungan doa dari seluruh jamaah yang ada disini. Maka biarlah, biarlah dia berdoa didepan, sementara aku berdoa sendiri, bacaan tawaf sebenarnya hanya Subhanallah, Walhamdulillah, wala Ilaha illallah, Wallahu Akbar, wala Haula, wala Kuwata Illah Billah, namun bila ingin ditambah dengan doa sesuai yang tercantum di buku-buku panduan umrah dan haji pun lebih baik, berdoa dengan bahasa Indonesia pun diperbolehkan, minta apa saja kepada Allah, memohon ampun, meminta hajat, mumpung lagi ada ditempat terbaik, ditempat yang mustajab, banyaklah berdoa.

Satu tempat di bumi ini yang hanya berdiri menatapnya saja, hati kan damai

Aku merenung, kenapa perasaanku seperti ini. Kenapa tidak bahagia, tidak haru pun tidak sedih, kenapa justru aku tidak merasakan apapun. Apakah karena dosaku yang terlalu banyak, sehingga Allah menghijabku dengan Ka’bah, betapa menyedihkan. Ketika tawaf, setiap kaki kanan melangkah, maka gugurlah satu dosa, dan setiap kaki kiri dilangkahkan kemudian, dinaikkanlah derajat kita. Disetiap langkahku, aku tak henti memohon ampun, aku bayangkan dosa-dosa yang begitu banyak, yang aku bawa sampai ke hadapanNya, aku akui semua kesalahan-kesalahanku, meski banyak yang sudah aku lupakan, padahal Allah tidak lupa. Aku tidak ingin jadi tamu yang merugi, aku tidak ingin terus-terusan merasa kosong. Setiap selesai satu putaran, aku kembali berdoa memohon ampun, begitu terus sampai tak terasa ustad melambaikan tangannya, mengarahkan kami menjauhi Ka’bah karena ternyata sudah tujuh putaran, kami kemudian solat sunah tawaf ditempat yang sudah disediakan.
Selesai pertama kali kepalaku menyentuh lantai untuk bersujud, tepat didepan Ka’bah, baru airmata ku mengalir, perlahan-lahan baru kurasakan semua perasaan meledak-ledak dalam hatiku, mengharu biru memenuhi relung hatiku, aih banyaknya dosaku sampai harus merasakan perasaan seperti ini, saat selesai solat, aku berdiri menengadahkan tangan dan berdoa, airmataku tak berhenti menetes, aku tak lagi sesenggukan, tapi benar-benar menangis. Baru bisa kurasakan, ketika melihatnya, aku bahagia, aku merasa damai, aku merasa terharu dan beragam perasaan lain yang campur aduk jadi satu. Alhamdulillah, betapa Allah Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Penyayang, maka nikmatNya yang mana lagi yang bisa aku dustakan?

Setelah selesai solat, kami beranjak menuju tempat Sa’i. Aku menghapus airmataku dengan jilbab, seadanya saja. Mengikuti ustad ketempat Sa’i yang padat sekali oleh jamaah, padahal waktu itu sudah hampir pukul duabelas malam. Suara lantunan doa, tasbih dan tahmid berdengung diseluruh penjuru ruangan. Kami memulai dari bukit Safa. Kami berkerumun mengelilingi ustad, ia akan memimpin doa, kemudian berniat untuk Sa’i.


Sa’i, Lautan Cinta Ibu Tak Terperi


Jika sekarang anda berangkat umrah atau haji, maka tempat sa’i yang akan anda lewati sudah sangat cantik. Lantainya marmer, dingin sekali, dengan atap yang melindungi dari hujan dan panas, bertingkat tiga, ada pendingin ruangan dan tempat minum. Walaupun jauh, kita bisa beristirahat sejenak bila lelah, minum sebentar dengan air zam-zam. Dahulu, orang pertama yang melaksanakan Sa’i, dialah Siti Hajar, Ibunda Nabi Ismail as, saat itu dia sedang berusaha mencari air untuk Nabi Ismail as yang masih bayi, Ibunda Siti Hajar berlari dari bukit Safa karena melihat air, namun ternyata tak ada, kemudian berlari ke bukit Marwah karena merasa melihat air, namun juga tak ada, begitu sampai tujuh kali. Bayangkan! Bayangkan itu, sekarang kita melaksanakan Sa’i dengan fasilitas yang sangat memadai, ramai-ramai, bisa istirahat dan tetap merasa capek, bahkan ada yang tetap mengeluh. Luar biasa.
Bayangkan bagaimana Ibunda Siti Hajar, perempuan yang baru melahirkan seorang bayi, sendirian di tanah tandus yang tidak ada apa-apanya, berlari bolak-balik menuruni bukit demi mencari air, panas terik pastinya, tidak ada lantai marmer, tidak ada pendingin ruangan, tidak ada yang menemani. Betapa tangguhnya seorang ibu itu. Ibu bisa melakukan apa saja untuk buah hatinya. Maka, dari Sa’i aku belajar, tak perlu menunggu sampai melahirkan, (untuk lelaki, tak perlu menunggu sampai melihat istrimu melahirkan) untuk tahu bahwa Ibu adalah lautan cinta tak terperi di dunia ini. Banyak yang baru menyadari besarnya pengorbanan ibu setelah punya anak. Aih, betapa ruginya, jika ibunya dahulu disia-siakan, dan setelah melahirkan, baru heboh unjuk pengorbanannya sebagai ibu, tapi tetap tak bisa merawat ibu yang sudah melahirkannya karena sudah sibuk mengurus anak, aih jangan sampai begitu, jangan sampai kita merugi, surga ada dibawah kakinya. Tidak perlu menunggu sampai melahirkan, tidak perlu menunggu sampai merasakan lelahnya Sa’i, pergilah pada Ibumu, minta ampunlah.


Makkah, The Trully City That Never Sleep


Selesai sudah tawaf dan sa’i, saatnya tahalul. Tampak raut-raut bahagia menghiasi wajah kami. Ustad yang pertama menggunting rambut, kemudian satu persatu jamaah laki-laki ditahalul, aku sendiri, yang menggunting rambutku adalah bapak. Selesai sudah umrah kami, kami tersenyum satu sama lain, saling berpeluk erat dan kemudian mengeluraka handphone untuk berpoto, aih dasar narsis. Walaupun lelah, tapi tetap bahagia. Setelah melalui perjalanan seharian dari Madinah, melaksanakan tawaf, sa’i dan akhirnya tahalul, maka lepaslah sudah segala pantang larang yang harus kami jaga selama berihram. Baiklah, rambutku boleh rontok lagi :D 

aaah cutest one ^^

Kami berpoto-poto sejenak, sambil meluruskan kaki, minum dan beristirahat sejenak. Sudah hampir pukul dua pagi, saat kami berjalan kembali pulang ke hotel. Ada beberapa jamaah yang hilang, maka Ustad baik hati dan pasangannya duetnya, si ustad ganteng itu yang kemudian bekerja sama mencari jamaah-jamaah yang hilang. Sementara ustad kecil memandu kami kembali ke hotel. Jalanan masih ramai, banyak penjual makanan yang masih buka, aih laparnya. Kami beberapa kali melewati rombongan jamaah yang sepertinya baru sampai dan bersiap melaksanakan umrah. Benar-benar kota yang tidak pernah tidur. Kalau boleh ditambahkan, Makkah adalah kota yang selalu hidup dengan untaian doa yang tak pernah putus. Dimana lagi kita bisa melihat pemandangan seperti ini, selain di Mekkah. MashaaAllah, Allahu Akbar.

Rombongan kami, jamaah Grand Shafa Nauli, selesai umrah, Alhamdulillah \(^^)/

Saat sampai di hotel, ibu sudah lebih dulu tiba, karena umrahnya dengan mutawwif pribadi :D pasti cepat selesai. Aku menyesal, membiarkan ibu didorong orang lain. Memang agak berat, jika ibu harus berjalan kaki sejauh itu, namun setidaknya, seharusnya waktu itu, aku tak membiarkannya didorong orang lain, semestinya waktu itu aku saja yang mendorongnya, biarlah, biarlah orang yang sudah dibayar untuk mendorong ibu menjadi pemandu kami saja. Untuk satu kejadian itu, aku menyesalinya sampai saat ini.

Besoknya kita tawaf lagi, ibu gag usah didorong lagi


Baca cerita kami selanjutnya :City Tour! di Incredible Journey (4), jangan bosan yaa .. :D ceeeeyuuuuuuuuuuuu

No comments:

Post a Comment