Wednesday 24 June 2015

Incredible Journey (5) : Kisah-kisah di Balik Perjalanan (1)



baca cerita sebelumnya di : Incredible 4

Dalam Perjalanan Pulang


12 hari itu benar-benar singkat untuk sebuah perjalanan yang menakjubkan. Padahal kalau bisa aku ingin 120 hari disini, atau 1200 hari sekalian. Seandainya bisa lebih lama ada disini. Tanah haram terlalu  indah, dan 12 hari terlalu singkat untuk mengeksplorasi semua tempat bersejarah yang ada disana. 12 hari terlalu singkat untuk merasakan cinta Illahi yang bertaburan dimana-mana.

Tawaf Wada


Adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim yang akan meninggalkan kota suci Mekkah, untuk melaksanakan tawaf wada atau tawaf perpisahan. Karena tidak ada yang bisa menjamin seseorang yang sudah meninggalkan Mekkah akan bisa kembali datang lagi, dan merupakan dosa besar jika seseorang meninggalkan tanah suci tanpa melakukan tawaf wada.
Sabtu malam, ustad mengabsen kami satu persatu dan mengingatkan agar kami melaksanakan tawaf wada sebelum berangkat pulang. Karena akan berangkat ke Jeddah ba’da zuhur, maka baiknya tawaf wada dilaksanakan ba’da subuh atau pada saat dhuha. Sholat Zuhur dan Asar di jamak takdim dan dilaksanakan di hotel atau Masjid didekat hotel saja.
Pagi, ba’da Subuh, bersama bapak, ibu, Yudi dan seorang jamaah yang merupakan teman sekantor bapak, kami berlima melaksanakan tawaf wada. Sengaja memilih tawaf di lantai dasar, di pelataran Ka’bah, agar bisa lebih dekat dengan Ka’bah, karena walaupun sangat ingin, belum tentu kami bisa kembali melihat Ka’bah. Sejak malam aku sudah merasa sedih. Tidak terasa sampai lah kami di ujung perjalanan yang menakjubkan ini. Kami memulai tawaf dengan mengucap Bismillah dan  saat melewati rukun Hajar Aswad kami beristilam,  berniat melaksanakan tawaf wada. Perpisahan dengan Ka’bah.
Inilah satu-satunya perjalanan disepanjang hidupku, ketika aku melangkah, airmataku menetes, aku melangkah sambil menunduk, berdoa, dengan satu-satunya doa, Allah, jangan biarkan ini jadi pertemuan terkahir kami dengan Baitullah, jangan jadikan ini yag terkahir kami datang ke Baitullah, Izinkan kami untuk selalu kembali ya Allah ...

selesai tawaf wada, perpisahan dengan Ka'bah, mudah-mudahan dipanggil lagi kemari. aamiin.

Ketika selesai tujuh putaran kemudian kami melaksanakan salat sunah tawaf, aku benar-benar tidak ingin kembali. Aku ingin duduk saja memandang Ka’bah. Ketika pertama kali aku melihatnya, waktu itu hatiku terhijab, hanya sekali itu saja, karena setelahnya, setiap kali aku melihatnya, hanya dengan berdiri menatapnya saja, airmataku menetes, ada damai yang tidak bisa dijelaskan. Sekarang, ketika aku mengingatnya, ada perasaan sedih dihatiku, betapa aku merindukan tempat indah itu, betapa aku merindukan Baitullah. :’(


Balad, Jeddah


Pukul dua siang waktu setempat, setelah makan siang, kami bertolak ke Jeddah. Singkat cerita (karena persiapan berangkat selalu sama seperti yang sudah-sudah, telat dan ribet), kami berangkat pulang ke Tanah Air. Saat bus meluncur meninggalkan misfalah, ustad seperti biasa memimpin doa (aku selalu suka mendengar ustad memimpin doa), ustad meminta maaf pada kami semua kalau-kalau ada perkataan atau perbuatannya yang tidak menyenangkan di hati kami –tentu saja, ia galak sekali (ahahahaha maap ustad). Ustad juga menjelaskan tentang kehidupan di Kota Mekkah yang saat ini menjadi kediamannya, tentang kebiasaan penduduknya, tentang kebiasaan jamaah umrah dan haji dari Indonesia, tentang TKI yang ada banyak di Indonesia, kami juga melewati penjara yang menurut ceritanya, sebagian besar diisi oleh jamaah Indonesia yang kabur karena ingin bekerja di Mekkah, itu sebabnya paspor kami ditahannya agar kami tidak bisa kabur, oh, jadi selama ini pasporku ada ditangannya, hhah padahal aku ingin kabur ke Dubai :D terakhir ia bercerita tentang panggilan ke tanah haram. Aku sedih mendengar ceritanya, kentara sekali ia menyampaikan perpisahan kepada kami, yang artinya kami akan segera meninggalkan tanah suci.
Kami mampir sejenak di daerah Balad, Jeddah. Untuk apa? Tentu saja, untuk belanja. Ada warung bakso disini, Warung Bakso Mang Oedin. Aku suka bakso, tapi jauh-jauh ke Arab Saudi, i’m absolutely say no to Indonesian food, kecuali makanan katering. Rugi ah, rugiiiiii, ngapain jauh-jauh sampai ke jazirah Arab kalau jajannya makanan Indonesia juga. Balad, benar-benar tempat berburu oleh-oleh. Kebanyakan pedagang disini bisa berbahasa Indonesia dengan fasih, bahkan mereka juga menerima pembayaran dengan Rupiah. Kenapa, kenapa, kenapa? Karena saat pulang, tentu saja, stok Real sudah menipis, kebanyakan jamaah hanya menyimpan uang Rupiah saja dalam perjalanan pulang.

Kami cukup lama ada di Balad, sebelumnya ustad juga menunjukkan Masjid Qisas pada kami. Masjid Qisas adalah tempat pelaksanaan hukuman mati. Kami hanya melihatnya dari jauh, tapi dari jauh saja sudah membuat hati berdesir. Banyak diantara jamaah yang memilih makan bakso. Sekitar jam tiga sore, baru selesai makan siang, daripada makan aku lebih suka berjalan-jalan. Karena diberi waktu yang cukup lama untuk melihat-lihat tempat ini, kami berjalan-jalan menyusuri pertokoan. Barang-barang yang dijual mirip seperti yang ada di Madinah, harganya juga lebih murah daripada di Mekkah, dan yang lebih menakjubkan, ada Mall Panda di Jeddah. Panda. Luar biasa, ada mall namanya Panda :D sebenarnya aku berharap kami ke Hyper Panda saja daripada ke Balad, ahahahaha.


Masjid Apung : Matahari Senja Selalu Lebih Indah di Pantai



Setelah puas berjalan-jalan, makan bakso dan belanja oleh-oleh (lagi), bus meluncur meninggalkan Balad, perlahan-lahan menyusuri Kota Jeddah yang lebih modern daripada Mekkah atau Madinah. Sampailah kami di tepian Laut Merah. Berhari-hari hanya melihat pasir, perbukitan dan tanah tandus, rasanya seperti menemukan harta karun ketika melihat laut. Aaaah laut, aku selalu suka lautan. Walau tidak ada pasir putih seperti di Gunung Kidul, Laut Merah tetap cantik dengan bebatuan yang menghiasi bibir pantainya.

Masjid Apung, Corniche road, Jeddah

Kami duduk di gazebo-gazebo yang banyak tersedia di sepanjang jalan tepian Laut Merah. Ada yang duduk di tepi jalan sambil memandang lautan lepas dan matahari yang bersinar oranye, sebentar lagi senja tiba, aih indah sekali pemandangannya. Kalau tidak ingat ini sedang umroh, aku pasti melompat-lompat kegirangan sambil berbasah-basah di laut. Aku berdiri di tepi batas jalan, merentangkan  tangan, memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Wangi laut, debur ombak, desir angin, hangatnya matahari senja, benar-benar ciptaan Allah Azza wa Jalla yang sempurna. Diujung jalan ada sebuah Masjid yang menjorok ke laut. Karena letaknya itulah, Masjid ini disebut Masjid Apung. Padahal nama aslinya adalah Masjid Ar-Rahmah, namun sedikit yang tahu bahwa dahulunya Masjid ini bernama Masjid Fatimah. Namun untuk menghindari salah kaprah jamaah yang mengira Masjid ini peninggalan putri Baginda Rasulullah SAW, maka pihak Kerajaan Arab Saudi mengganti nama Masjid ini menjadi Masjid Ar-Rahmah.
Bila pasang tiba, maka Masjid ini akan tergenang, seperti mengapung di tengah laut. Indah sekali. Kami menghabiskan waktu sambil makan malam (yang kesorean), dan berpoto-poto. 

poto sama salah satu jamaah

Inilah satu-satunya momen dimana kami bisa tertawa lepas dan membaur satu sama lain. Mungkin karena seluruh rangkaian ibadah sudah selesai dilaksanakan, maka kami lebih santai. Kami berputar-putar, makan bersama, berpoto dengan berbagai macam gaya, dan saling bercanda. Aku pribadi selalu lebih bahagia bila jalan-jalan ke pantai, apalagi ada Masjidnya, Mashaa Allah.

bagian dalam Masjid Apung
Ketika adzan magrib berkumandang, kami solat bersama di Masjid Apung, jamak takdim dengan Isya yang di qasar menjadi dua rakaat. Setelah ini kami akan menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Kami akan terbang ke Indonesia dengan pesawat Saudia pada pukul sebelas malam.
Selesai solat, kami semua kembali ke bus dan duduk manis, ustad kecil menyerahkan paspor kami pada ustad baik hati, mengucapkan salam perpisahan dengan kami, singkat saja, kemudian ia melompat keluar dari bus dan setelah itu ia benar-benar tak terlihat lagi hilang ditelan kabut malam (ini bukan cerita horor :D).


Pulang – Pulang – Pulang


Kami berbaris di Bandara Jeddah, menunggu seorang perwakilan travel yang check in dan melaporkan bagasi. Di ruang tunggu, kami duduk berselonjor dimana saja ada tempat kosong. Tampak kelelahan di wajah-wajah para jamaah. Banyak barang tambahan yang tidak ikut di jadikan bagasi, karena hanya berupa jaket, sandal-sandal, botol air minum dan perlengkapan remeh temeh yang sudah tidak muat di koper, jadi terpaksa di letakkan di tas tentengan. Ada juga plastik-plastik dan bahkan koper-koper mini, pokoknya berantakan sekali, seberantakan tampilan kami :D tapi tenang saja, kami semua tetap ciamik. Kembali paspor diserahkan pada kami, beserta tiket pesawat dan kami semua berjalan beriringan menuju ruang pemeriksaan sebelum masuk ke ruang tunggu. Pertama pemeriksaan paspor, kemudian pemeriksaan barang bawaan, lalu pemeriksaan diri, aih badanku yang kurus ini diraba-raba dari atas sampai bawah :  oleh petugas wanita –sekedar informasi.
Setelah itu kami semua menunggu, kemudian menunggu, dan menunggu lalu menunggu terus menunggu sampai hampir pukul sebelas, ketika tiba-tiba kami yang sudah duduk selonjoran tak tentu arah karena ngantuk dan lelah, disuruh berbaris rapi karena akan segera masuk ke pesawat. Aku pikir pesawatnya ada diparkiran yang sama dengan ruang tunggu ini, ternyata tidak saudara-saudara. Kami harus naik shuttle bus berputar-putar dikegelapan malam kota Jeddah, lumayan jauh juga, karena rasanya aku berdiri di bus selama berjam-jama –akh hiperbola, baiklah sekitar 10 menit perjalanan, keluar dari bus kulihat, Saudia Airlines, tegak gagah perkasa ditimpa cahaya lampu dari bandara, dan tetap saja, disaat sudah sangat lelah level 10 pun, selalu ada jamaah yang selfie-selfie didepan pesawat. Aku tidak termasuk.
Lucunya, saat sampai didalam pesawat, sang pramugari yang ternyata warga Indonesia asli, berkata, “duduk dimana saja bapak, ibu sekalian, terserah, tidak ada nomor kursinya, silahkan bapak dan ibu pilih sendiri kursinya”
Ahahahhaha, ini seperti bus malam dari Jakarta ke Jogjakarta :D choose your own seat, atau bahasa gaulnya, siapa cepat dia dapat –akh lupakan kaidah bahasa. Semua berlomba-lomba duduk dekat jendela. Aku lebih suka duduk ditengah, empat bangku, kumasukkan semua tas ke kabin dan langsung duduk merebahkan diri. Rasanya mau pingsan saja :D kami semua sudah duduk manis dan memasang safety belt, pesawat lepas landas meninggalkan Jeddah, tak ada si ustad yang memimpin doa, kami berdoa sendiri. Akhirnya kami pulang, pulang meninggalkan Saudia. Inilah perjalanan kami selanjutnya, akan jadi apa kami setelah pulang, akan bagaimana perjalanan ini mengubah tabiat buruk kami semua. Akan berada di panggilan mana kami sebenarnya.

Aku tertidur sangat pulas, ketika tiba-tiba ada suara empuk yang berkata, manis sekali “beef or chicken” ulalaaaa ... makan malam, ah tidak makan sahur. Yang sungguh menakjubkan dalam keadaan setengah sadar aku sanggup menghabiskan seluruh makanan yang disediakan pesawat :D ini semacam perpaduan antara lapar tapi ngantuk dengan ngantuk tapi ingin tetap makan. Entah jam berapa saat itu, mungkin kami memang disuruh makan sahur, karena kami akan tiba di Indonesia pada hari senin siang.
Setelah makan, aku tidur lagi sampai pukul empat pagi (waktu Arab Saudi, entah saat itu kami sudah ada diatas negara mana), aku mencuci muka ke kamar mandi, kemudian menemui pramugari yang entah bagaimana bisa selalu terlihat cantik, menanyakan padanya apakah ia punya semacam obat karena kaki adikku yang bandel itu sakit. Namun tak ada, alih-alih memberi obat, ia malah menawariku kopi, menyenangkan sekali bisa bertukar kisah dengan kakak pramugari yang baik hati itu, ia membuatkan kopi yang enak sekali, kemudian kami berecerita sambil sesekali tertawa-tawa, jamaah lain masih tertidur, jadi ada banyak waktu luang untuk bersantai. Aku mengingat wajahnya sampai sekarang, karena ia baik hati dan ramah, ia membantuku mengeluarkan tas dari kabin, ia juga menyarankan kami pindah ke bagian tengah pesawat agar bisa meluruskan kaki, dan yang terpenting ia membuatkanku kopi yang enak sekali, padahal pramugari lain rata-rata sudah berwajah masam seperti jeruk nipis. Semoga Allah Azza wa Jalla membalasnya dengan kebaikan yang berlimpah.
Pagi hari kami kembali ditawari sarapan  (kira-kira sudah pukul 10 pagi di Indonesia), satu jam lagi kami akan sampai di Bandara Kuala Namu, Sumatera Utara. Kami bersiap, kembali dengan tentengan kami yang wah ribetnya, ada jamaah yang membawa pulang kotak nasinya, pesawat landing dengan mulus, Alhamdulillah. Kakiku melangkah, kembali ke Indonesia. Setelah semua urusan, mulai dari pemeriksaan paspor, pengambilan bagasi, sampai pembagian air zam-zam selesai, kami bersalam-salaman, ada yang berpeluk erat, sembari menitikkan airmata. Aku melangkah keluar bandara, hhah ,, Medan, gerah sekali, ahahaha –plaaaak dasar sooook.



Kisah-kisah di Balik Perjalanan.


Adik Kecil Yang Lucu Sekali

 
Fatiiih

 
Namanya Fatih, dia bukan jamaah termuda di rombongan kami. Tapi ia masih kecil, mungkin kelas 4 atau 5 SD dan ia terkenal sekali. Ia berangkat bersama opungnya (kakek dan nenek), namun sesampainya di Makkah, opungnya lebih banyak beristirahat di kamar karena kurang enak badan. Maka jadilah ia anak asuh semua jamaah. Ia lucu, berbadan gempal, mukanya bulat dan seorang anak yang pemberani. Ia melaksanakan umroh wajib tidak bersama opungnya, karena kakek dan neneknya itu didorong dengan kursi roda. Ia tidak takut walau tidak bersama keluarganya, saat ia memakai kain ihram, lucu sekali, karena kainnya sudah pasti kebesaran. Ustad ganteng lah yang kemudian membetulkan ihramnya dan selalu menggandengnya agar tidak hilang. Fatih juga anak yang bertanggung jawab, setiap selesai makan di restoran, ia akan mengambil dua piring nasi untuk kakek dan neneknya yang lebih sering makan di kamar. Karena tidak bisa membawanya sekaligus, maka ia, akan bolak-balik naik dan turun untuk membawakan nasi dan air minum, benar-benar cucu berbakti. :D dia juga sering dikerjai jamaah lain, hotel di Mekkah, pintu liftnya tidak bisa dibuka dari restoran (hanya bisa dibuka dari dalam, maka kami harus turun dulu ke lantai satu kemudian naik lift dari sana, atau harus ada orang yang turun duluan untuk membawa lift ke lantai satu) dan ia adalah yang paling sering disuruh turun untuk membuka lift ke lantai satu, agar kami tak perlu repot-repot turun dulu :D ahahaha, baik hati dan kasian sekali.
Satu lagi yang khas darinya, ia senang sekali belanja. Setiap aku melihatnya ia selalu membawa bungkusan belanja. Bahkan di Jabal Rahmah, ketika kami sedang berusaha naik (naik di kaki bukit saja) sesaat aku melepaskan pandangan darinya, ketika menoleh ia sudah membeli tasbih :D luar biasa. Waktu di bandara saat akan pulang, ketika jamaah lain sudah terkapar lemah tak berdaya, ia masih bisa jajan di tempat semacam a***mart, dan memamerkan marshmallow yang dibelinya, ahahaha, jamaah lain pusing mendengarnya menyebut marshmallow :D waktu itu aku sudah sangat lelah untuk tertawa, tapi dalam hati aku terpingkal-pingkal.
Tapi dibalik itu semua, Fatih adalah anak baik hati dan riang gembira. Ia tidak canggung, tidak takut dan mudah bergaul dengan siapa saja, kami sayang padanya, ustad juga suka padanya, karena hanya setiap berpoto dengan Fatih saja ia selalu tersenyum.

Adik-adik Kecil Lain Yang Juga Lucu


Satu kebiasaanku, aku suka solat dibarisan perempuan dari jazirah Arab :D biar ketularan cantiknya, ah tidak, aku sudah cantik, ah tidak tidak, sebenarnya karena mereka selalu berusaha ada di saf terdepan. Tidak seperti jamaah kita, juga beberapa jamaah dari India atau Pakistan yang lebih suka solat di barisan belakang, atau bahkan di jalan masuk Masjid, di selasar tangga dan didekat pintu. Jamaah Jazirah Arab akan selalu berusaha menempati saf terdepan, berada disebelah mereka akan menghindarkan diri dari bercerita yang tidak perlu, karena perbedaan bahasa tentu saja :D. Tapi mereka sering membawa anak kecil, dan selalu saja ada cerita menarik dari anak-anak berwajah imut itu.

Pernah suatu kali saat solat di Masjid Haram, Mekkah, aku bersebelahan dengan ibu yang membawa anak laki-laki kecil. Ia membawa serta baby sitter yang menjaga anak tersebut. Anak tersebut tidak seperti anak kebanyakan –maaf,  ia dibalut kain ihram, sehingga sebelah tangannya terhalang kain, ia duduk didepan ibunya, disebelah ibunya duduk baby sitternya kemudian disebelah baby sitternya duduk manis aku. Untuk membuatnya tenang, ibunya meletakkan sebuah handphone dan headset agar ia menonton video saja selama kami solat. Ketika solat sudah dimulai, anak ini malah bosan dengan video-videonya, ia merangkak menjauhi ibunya dan sampai ketempatku berdiri. Aku selalu meletakkan tas yang kubawa di depanku, dan sengaja meletakkannya terbalik, agar sablon nama travel kami yang tertera di tas tak terlihat dengan tujuan agar tidak mengganggu konsentrasi jamaah lain. Anak itu meraih tasku, jujur saja, konsentrasiku pecah saat itu, aku ingat ditasku ada beberapa obat yang aku simpan, juga handphone, botol yang berisi air zam-zam dan entah apa lagi. Ia membuka bagian depan tas, tampak ia kesulitan menggunakan tangannya yang terhalang ihram, sementara kami –aku, ibu dan baby sitternya, sudah tak keru-keruan melihatnya :D susah payah ia mengeluarkan tangannya, dan akhirnya ia bisa melepaskan diri dari kain ihramnya. Karena solat di Masjid Haram sungguh lama, maka, ia bisa leluasa mengubek-ubek isi tasku, ia mengambil kartu nama, itu kartu hotel tempatku menginap, ia memandangi kartu itu lama sekali, kemudian membuangnya, lalu ia kembali mencari-cari kedalam tas, saat itu sudah hampir ruku’, tepat saat ia mengambil sesuatu dari tasku, yang ternyata sebuah coklat, kami ruku’, baby sitternya yang tepat berada disebelahku, dengan gerakan tangkas, tanpa ba-bi-bu meraihnya bersamaan dengan selesainya ruku’ kemudian memindahkannya ke sebelah ibunya, ia yang tida-tiba direnggut paksa dari tasku itu, berteriak kencang, coklat yang digenggamnya terlempar, begitupun dengan tasku, kemudian ia menangis sejadi-jadinya, setiap akan melangkah, maka ibu atau baby sitternya akan meraihnya, dan semua tetap dilakukan sambil solat, luar biasa. Setelah empat rakaat penuh tangisan itu, akhirnya kami selesai melaksanakn solat, aku meraih coklat yang terlempar dan menyerahkannya pada anak tersebut :D tapi ternyata tidak boleh, baby sitternya menjelaskan ia tidak boleh makan yang manis-manis, ah sayang sekali.

Ada juga cerita anak kecil lain, masih di Masjid Haram, masih di barisan jamaah jazirah Arab, kami melaksanakan solat isya, diujung barisan ada seorang ibu dan dua anaknya yang masih kecil. Kedua anak perempuan itu tidak ikut solat, yang kecil mungkin berusia sekitar dua tahun, dan kakaknya mungkin lima tahun. Kami berdiri merapatkan saf, kemudian mulai solat mengikuti imam. Adik kecil itu kemudian merangkak, dan sampai kebarisanku. Ia berdiri tertatih kemudian memeluk satu persatu kaki jamaah yang sedang solat sambil menengadahkan wajahnya melihat siapa yang solat, mungkin ia mencari ibunya, karena kebetulan kami semua saat itu memakai baju hitam-hitam dengan potongan yang serupa, sampai tepat didepanku, ia duduk manis diatas sajadah, tepat dihadapanku, aku tidak bisa sujud jika ia tetap disitu, maka satu-satunya jalan adalah jika sujud nanti, aku harus bergeser kekanan, atu sedikit mundur agar tak mengenainya, ia terus disitu sampai kami selesai i’tidal, dan ketika akan sujud, tiba-tiba datang sang kakak yang menggendongnya dengan susah payah menjauh dari barisan solat (kami barisan terdepan, didepan kami ada pembatas kaca karena kami ada di lantai dua bangunan masjid yang baru) dan seperti biasa, anak kecil yang mendapat gerakan tiba-tiba seperti itu sudah pasti akan menangis sejadi-jadinya. Ia bergerak kesana-kemari, meronta-ronta, menjerit-jerit, berusaha lari dari kakaknya, kelihatannya ia tidak suka digendong, sampai akhirnya ibunya membatalkan solat dan menggendong sang anak yang tak bisa diam itu. Setelah kami selesai solat, terlihat seorang jamaah berbaik hati menggantikan si ibu menggendong anak tersebut, sementara ibunya mengulang kembali solatnya. Dan masih banyak lagi kisah-kisah serupa yang aku alami setiap kali solat bersebelahan dengan anak kecil. That was so fun.

Jamaah kita memang sangat jarang membawa anak kecil. Namun jamaah dari Jazirah Arab juga negara-negara Eropa sana sering membawa anak mereka ke Tanah Suci, wah benar-benar anak yang beruntung. Anak-anak Indonesia yang sering ikut umrah biasanya sudah mengerti mana yang boleh dan tidak boleh, sudah bisa dibilangin agar tidak berisik saat solat, rata-rata sudah seumur Fatih, tidak seperti anak-anak negara lain, yang bahkan masih dibawa dalam keranjang bayi. Lucu sekali melihat wajah wajah polos mereka, dengan kain ihram yang kebesaran, kadang sambil tertidur digendong ayah atau ibunya mereka tawaf, saat sa’i mereka berlari dengan kencang ketika melewati lampu hijau, sampai ayahnya tergopoh-gopoh mengejarnya :D beruntungnya mereka, sedari kecil telah sampai ketempat paling indah di muka bumi ini, telah melakukan tawaf dan sa’i meskipun belum sampai kewajiban pada mereka, sedari kecil mereka telah dikenalkan pada Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Sallahu Alaihi Wassalam.


Yang Paling Aku Sukai Dari Tanah Suci




Saat pertama kami sampai di Madinah, aku melihatnya, dimana-mana, semua wanita berhijab, syar’i, bahkan rata-rata memakai burqa, menutup wajah dan memakai sarung tangan, semua serba hitam. Tak ada pemandangan mencolok seperti jalan-jalan di Indonesia, hijab warna-warni aneka gaya apalagi pakaian minim. Semua tertutup. Seandainya di Indonesia juga seperti ini, tak harus hitam, tapi juga tak berwarna warni mencolok, tentulah tingkat pelecehan seksual akan menurun drastis, siapa yang mau menggoda wanita yang terlihat seperti karung beras.
Padahal dibalik kain hitam-hitam yang membalut mereka, tersimpan wajah cantik bak mutiara. Aku melihatnya, berkali-kali, saat salat dan wanita-wanita bercadar ini membuka tutup wajahnya, tampak wajah-wajah muda nan cantik jelita disana.
Rasanya seperti pulang kampung :D Kalau di Indonesia, orang masih memandang dengan tatapan yang kurang menyenangkan melihat wanita bercadar. Stigma yang menempel masih kurang positif. Padahal berpakaian syar’i dan menyederhanakan pakaian adalah wajib hukumnya bagi perempuan muslim, baligh dan normal. Aku suka sekali karena akhirnya bisa berpakaian seperti itu tanpa merasa asing.
Di Tanah Suci aku juga merasa semua perbedaan diantara kita terhapus. Tidak ada lagi si kaya dan miskin, cantik atau jelek (aku merasa tidak ada yang jelek yang datang ke tanah haram, semuanya cakep). Tidak ada yang bisa dibanggakan disini. Jabatan? Apalah kita, mau presiden atau cuma tukang becak, sama-sama boleh menempati saf terdepan di Masjid Nabawi atau bahkan di depan Ka’bah. Kekayaan? Hallooooow, orang-orang yang sok kaya, Arab Saudi itu negara over kaya, mobil aja di buang-buang di gurun pasir, Toyota Camry dijadiin taksi, anak-anak negara lain gratis kuliah plus dibiayain hidup disana, hotel-hotel pun mungkin disubsidi karena tarifnya lebih murah daripada di negara lain. Mau pamer wajah cantik atau tampan? Aduh, orang Jazirah Arab tidak ada yang tidak cantik, bahkan tanpa perlu berdandan, prianya pun tampan-tampan, semua pedagang di Madinah kalau hijrah ke Indonesia pasti bisa dengan mudah jadi bintang film, minimal bintang iklan makanan siap saji semacam sosis. Malah aku suka bingung melihat jamaah kita, yang perempuan, yang masih sanggup berdandan heboh sekali di tanah suci. Jilbabnya muter-muter melilit kesana-kemari, maka sudah bisa dipastikan, hampir 90% jamaah yang jilbabnya heboh, berwarna warni, dengan manik-manik, renda-renda dan menggunakan hijab dengan punuk unta, adalah jamaah Indonesia. Padahal, sudah aku buktikan, tidak ada yang perduli dengan dandanan super heboh itu. Iya, kalau di Indonesia, wanita berhijab pun akan sering digoda, karena justeru mereka jadi semakin cantik dan menonjol dengan dandanan yang warna-warni dan bentuk jilbab yang berupa-rupa. Aku mencobanya sekali, karena aku sebelumnya tidak tahu kultur disana, aku membawa gamis-gamis berwarna warni, dengan motif kembang-kembang, jilbab-jilbab warna cerah, dan aku berdandan seperti hijaber hijaber pada umumnya, keluar mengambil laundry, dan kemudian, aku merasa sangat malu, tidak percaya diri dan super duper berbeda. Rasanya aneh, berpakaian cerah ceria seperti itu ditengah-tengah kesederhanaan wanita disana, benarlah bahwa sederhana itu jauh lebih cantik bagi perempuan. Inilah satu-satunya perjalanan yang aku lalui tanpa pernah berdandan sekalipun sejak datang sampai pulang. Aku tak pernah berbedak, apalagi berblush on :D tak pernah pakai pinsil alis (tunggu, aku memang tidak pernah pakai pinsil alis :D), aku hanya memakai pelembab dan lipbalm agar kulit tidak terkelupas karena udara kering kota Madinah dan Mekkah. Tapi justru lebih menyenangkan, tak perlu menutup-nutupi jerawat dengan make-up, atau pusing memikirkan gaya jilbab seperti biasa aku lakukan di Indonesia, perjalanan ini mengajarkanku, bahwa tampil apa adanya itu, sederhana itu : indah.

Aku juga suka suasana Madinah, aku sukaaa sekali duduk menunggu waktu antara magrib dan isya di pelataran Masjid Nabawi, dibawah payung-payung cantik, yang terkadang sudah menutup, tampak berjejer-jejer jamaah dari seluruh dunia, ada yang satu keluarga, ada yang satu rombongan travel, ada yang pasangan suami istri, ada yang bercengkerama dengan teman-teman sebaya, ada mahasiswa yang sibuk muroja’ah hapalan Al-Qur’an, benar-benar pemandangan yang menyenangkan. Yang paling membuat iri, tentu saja, mereka yang pasangan suami-istri, duduk mesra sekali, bersama-sama membaca Al-Qur’an, aiiih aku iri. Iri in a good way. Aku juga iri, setiap kali tawaf, aku melihat (lagi-lagi) pasangan suami istri yang kompak sekali tawaf bersama, beriringan berputar tujuh kali mengelilingi Ka'bah, aiiih irinya melihat sang suami yang sigap sekali menjaga istrinya, apalagi jika mereka membawa buah hatinya yang masih kecil. Benar-benar bikin envy, melihat mereka bergantian menggendong anaknya sambil tawaf.

Aku juga belajar tentang perbedaan. Beratus ribu jamaah yang ada di tanah suci, dari berbagai negara, dengan berbagai mahzab, tentulah banyak sekali perbedaan yang muncul. Menyedihkan sekali kita disini, masih sering berselisih karena perbedaan pendapat, misalnya tentang doa qunut, tentang doa berjamaah, tentang pengucapan Bismillah diawal surat ketika solat, tentang posisi tangan saat solat, dan lain-lain. Disana, aku melihat bermacam cara orang solat. Ada yang tegak berdiri tanpa melipat tangannya, ada yang sambil menggendong bayi, ada yang duduk di kursi, ada yang berdiri kemudian duduk dikursi, dan masih banyak lagi. Tapi semuanya, tidak dipermasalahkan disana. Kita beribadah sesuai mahzab yang kita yakini. Kita semua beribadah semata-mata karena Allah. Tak ada doa berjamaah seperti di tanah air, selesai solat wajib, maka imam akan langsung memimpin solat jenazah. Setiap waktu, sehabis solat fardhu, selalu ada solat jenazah. Setiap hari. Kami disarankan untuk senantiasa ikut solat jenazah. Kami tak pernah tahu, siapakah yang meninggal itu, laki-laki kah atau perempuan kah? Penduduk setempatkah atau jamaah, namun kami tetap solat dengan niat, mengikuti imam. 

Yang paling menyenangkan dari dua Tanah Haram adalah, setiap hari kami bisa minum air zam-zam :) aku merasa berkali-kali lebih sehat selama disana. Menyenangkan sekali, setiap datang ke Masjid bisa minum air zam-zam sepuasnya. Saat solat fardu, solat sunah, saat hanya berkunjung ke Masjid, saat tawaf, Sa'i, pokoknya setiap saat selama di Mesjid, kita bisa minum air zam-zam. Dan tentu saja, selain diminum disana, jamaah juga membawa pulang air zam-zam. Ada yang membawa botol air mineral kecil (seperti aku), botol mineral besar, bahkan jerigen. Ada yang hanya sebotol (seperti aku), ada yang berbotol-botol. Semua diizinkan. Beda sih rasanya, kayak ada power powernya gitu (eh, ini kayak iklan :D ), setiap sebelum solat minum air zam-zam, selesai solat minum lagi. Pulang ke hotel, bawa air zam-zam, mau berangkat city tour, bekalnya air zam-zam, pokoknya air zam-zam setiap saat. 




Ada Tangis di Mana-mana 

Lantai 2 temporary ring, tempat favorit tawaf



Solat di Masjid Nabawi dan Masjid Haram, lama sekali. Apalagi ruku’ dan sujudnya. Ternyata ada sebabnya. Ketika solat, dosa-dosa kita akan dibawa dan diletakkan diatas pundak kita, dan ketika ruku’ dan sujud, berjatuhanlah dosa-dosa tersebut, itu sebabnya, ruku’ dan sujud sangat lama ketika solat di dua masjid tersebut. Surat yang dibaca lepas Al-Fatihah pun biasanya panjang, walaupun begitu, aku tidak pernah mengantuk ketika solat, Alhamdulillah. Karena aku sering, sebelumnya, ketika masih di Tanah Air, jika solat dengan imam yang terlalu lama, maka lama-lama jadi ngantuk.

 Tapi disana, mendengar imam membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an rasanya menenangkan sekali. Sering sekali airmataku tumpah disaat solat, terutama saat di Masjid Haram, mendengar imam yang bahkan kadang aku tidak tahu surat apa yang sedang dibacanya, rasanya terharu sekali, kadang tiba-tiba aku merasa sedih, sering tanpa kusadari airmata ini jatuh. Aku terharu sekali, bisa menjadi makmum solat yang diimami Imam Sudais, di Masjid Haram. Terasa sekali, ayat-ayat Al-Qur’an begitu indah, begitu menggetarkan hati, bahkan terkadang rasanya merinding. Hanya disana, setiap solat aku pasti menangis, apalagi jika solat di saf yang bisa langsung melihat Ka’bah. Kualitas solatku sebelum ini benar-benar jelek, solat sekedar pelepas kewajiban. Jarang aku benar-benar berinteraksi dalam solatku. Aku tak mau tetap seperti itu. Allah sudah membawaku ke Tanah Suci, mengizinkan aku solat ditempat terbaik di muka bumi ini, solat langsung di hadapan Ka’bah, kiblat seluruh umat muslim sedunia, aku ingin tetap merasakan damai itu bahkan ketika kembali ke Tanah Air.

Selain solat, tawaf juga merupakan ibadah yang begitu mengharukan. Tawaf pertamaku, saat umroh wajib, aku disibukkan dengan merekam keadaan Masjid Haram didalam kepalaku, dimana letak pintu masuk, jalan-jalan yang kami lewati, dimana jalan yang menuju lantai dasar, dimana pintu gerbang, dimana pintu menuju tempat Sa’i, kemudian juga disibukkan dengan perhatian agar tidak tercecer dari rombongan jamaah yang lain, sibuk mengikuti ustad yang memimpin doa didepan, terasa kebesarannya, tapi kurang kekhusyu’annya. Ustad berkali-kali menjelaskan, tawaf adalah pengganti solat sunah, perbanyak tawaf. Bahkan jika ditanya, mana yang lebih baik, memperbanyak umroh atau tawaf, maka ia menganjurkan kami lebih banyak melakukan tawaf saja. Saat tawaf, ketika kaki kanan dilangkahkan, maka berjatuhanlah dosa-dosa kita, kemudian saat kaki kiri dilangkahkan, dinaikkanlah derajat kita, itu sebabnya orang yang kembali dari Tanah Suci lepas haji atau umroh akan lebih dihormati, karena Allah telah menaikkan derajatnya, mudah-mudahan kita semua lepas dari sifat sombong dan riya (tulisan ini In shaa Allah tidaklah bermaksud untuk riya, semata-mata ingin berbagi pengalaman dan kebesaran tentang Tanah Suci Mekkah dan Madinah)

Aku usahakan untuk tawaf bila ada kesempatan, biasanya lepas solat fardu, sehabis subuh, diantara magrib dan isya, dan sehabis isya, adalah waktu-waktu aku melaksanakan tawaf. Aku suka tawaf di temporary ring. Dari lantai dua, karena tidak berdesak-desakan dan lebih khusyu’, jika di lantai satu, maka kita terkadang akan terhalang oleh jamaah yangmemotong jalan karena berebutan ingin dekat dengan Ka’bah. Aku hanya bertasbih dan merapal doa-doa yang aku hapal, dengan bahasa Indonesia kadang. Dan jika sudah selesai, aku suka berdiri di pinggiran pagar pembatas temporary ring, memandang Ka’bah dari sana, hanya diam memandangnya saja, hatiku damai. 





Tempat Penitipan Doa



Aku banyak sekali menrima titipan doa dari teman-temanku begitu mereka tahu aku akan berangkat umroh. Padahal awalnya aku hanya memberitahu dua orang teman baikku saja, Astri dan Doddy, bahwa aku akan melaksanakan ibadah umroh, kemudian aku memberitahu teman-teman di grup One Day One Juz yang aku ikuti, bahwa aku akan cuti selama dua minggu, karena aku tidak akan mengaktifkan handphone (bohong :D) selama disana. Kemudian aku kebanjiran titipan doa. Ada yang minta didoakan agar segera dapat jodoh (tunggu, aku juga belum ketemu jodoh padahal), minta didoakan segera dapat pekerjaan, yang paling banyak tentu saja, minta didoakan segera menyusul ke Tanah Suci. Ada doa-doa yang spesifik, misalnya agar orangtuanya atau anaknya sembuh dari sakit, atau seperti mbakku, yang minta didoakan agar segera SK pindahnya segera keluar :D setiap aku menghubunginya, pasti ia akan berkata, “sudah doain aku pindah belum?”

Aku bahkan ketitipan doa dari seorang ibu, ketika mengambil paspor dulu, ibu ini yang seorang muallaf begitu senangnya waktu tahu aku membuat paspor karena akan berangkat umroh, beliau ingin menitip doa, agar  juga bisa segera berangkat, beliau menyebutkan namanya dengan sangat jelas, dan meminta agar aku menyebut namanya ditempat-tempat mustajab disana, Alhamdulillah, mission accomplished, aku memang berdoa agar beliau juga bisa sampai ke tanah haram, ibu itu bernama : Rosdeliana binti Abdullah.

Baiklah, sekarang aku ingin berkata jujur. Aku ingat semua orang yang menitip doa, dan doa mereka masing-masing. Alhamdulillah, aku sempat mendoakan mereka semua, secara terperinci ketika aku masih di Madinah. Beberapa orang ikut aku doakan ketika aku sampai di Raudhah. Tapi saat kunjungan keduaku ke Raudhah, seorang askar yang fasih sekali berbahasa Indonesia, yang membimbing jamaah yang akan ziarah, menjelaskan banyak hal pada kami, salah satunya tentang doa. Intinya, kita tidak boleh terbebani oleh orang-orang yang menitip doa kepada kita. Maka, dengan kerendahan hati dan sebesar-besarnya maaf, aku mengakui bahwa ketika sampai di Mekkah, aku tidak lagi secara spesifik mendoakan orang-orang yang menitipkan doa padaku. Aku hanya berdoa secara umum, dengan kalimat kira-kira,

“Ya Allah, ijabahlah semua doa-doa teman-teman ku, dan sampaikanlah mereka semua ke Tanah Suci ini seperti Engkau telah membawaku kemari, aamiin” 
 

No comments:

Post a Comment