baca cerita sebelumnya di : Incredible 4
Dalam
Perjalanan Pulang
12 hari itu
benar-benar singkat untuk sebuah perjalanan yang menakjubkan. Padahal kalau
bisa aku ingin 120 hari disini, atau 1200 hari sekalian. Seandainya bisa lebih
lama ada disini. Tanah haram terlalu
indah, dan 12 hari terlalu singkat untuk mengeksplorasi semua tempat
bersejarah yang ada disana. 12 hari terlalu singkat untuk merasakan cinta
Illahi yang bertaburan dimana-mana.
Tawaf Wada
Adalah sebuah
kewajiban bagi setiap muslim yang akan meninggalkan kota suci Mekkah, untuk
melaksanakan tawaf wada atau tawaf perpisahan. Karena tidak ada yang bisa
menjamin seseorang yang sudah meninggalkan Mekkah akan bisa kembali datang
lagi, dan merupakan dosa besar jika seseorang meninggalkan tanah suci tanpa
melakukan tawaf wada.
Sabtu malam,
ustad mengabsen kami satu persatu dan mengingatkan agar kami melaksanakan tawaf
wada sebelum berangkat pulang. Karena akan berangkat ke Jeddah ba’da zuhur,
maka baiknya tawaf wada dilaksanakan ba’da subuh atau pada saat dhuha. Sholat
Zuhur dan Asar di jamak takdim dan dilaksanakan di hotel atau Masjid didekat
hotel saja.
Pagi, ba’da
Subuh, bersama bapak, ibu, Yudi dan seorang jamaah yang merupakan teman
sekantor bapak, kami berlima melaksanakan tawaf wada. Sengaja memilih tawaf di
lantai dasar, di pelataran Ka’bah, agar bisa lebih dekat dengan Ka’bah, karena
walaupun sangat ingin, belum tentu kami bisa kembali melihat Ka’bah. Sejak
malam aku sudah merasa sedih. Tidak terasa sampai lah kami di ujung perjalanan
yang menakjubkan ini. Kami memulai tawaf dengan mengucap Bismillah dan saat melewati rukun Hajar Aswad kami
beristilam, berniat melaksanakan tawaf
wada. Perpisahan dengan Ka’bah.
Inilah
satu-satunya perjalanan disepanjang hidupku, ketika aku melangkah, airmataku
menetes, aku melangkah sambil menunduk, berdoa, dengan satu-satunya doa, Allah, jangan biarkan ini jadi pertemuan
terkahir kami dengan Baitullah, jangan jadikan ini yag terkahir kami datang ke
Baitullah, Izinkan kami untuk selalu kembali ya Allah ...
selesai tawaf wada, perpisahan dengan Ka'bah, mudah-mudahan dipanggil lagi kemari. aamiin. |
Ketika
selesai tujuh putaran kemudian kami melaksanakan salat sunah tawaf, aku
benar-benar tidak ingin kembali. Aku ingin duduk saja memandang Ka’bah. Ketika
pertama kali aku melihatnya, waktu itu hatiku terhijab, hanya sekali itu saja,
karena setelahnya, setiap kali aku melihatnya, hanya dengan berdiri menatapnya
saja, airmataku menetes, ada damai yang tidak bisa dijelaskan. Sekarang, ketika
aku mengingatnya, ada perasaan sedih dihatiku, betapa aku merindukan tempat
indah itu, betapa aku merindukan Baitullah. :’(
Balad,
Jeddah
Pukul dua
siang waktu setempat, setelah makan siang, kami bertolak ke Jeddah. Singkat
cerita (karena persiapan berangkat selalu sama seperti yang sudah-sudah, telat
dan ribet), kami berangkat pulang ke Tanah Air. Saat bus meluncur meninggalkan
misfalah, ustad seperti biasa memimpin doa (aku selalu suka mendengar ustad
memimpin doa), ustad meminta maaf pada kami semua kalau-kalau ada perkataan
atau perbuatannya yang tidak menyenangkan di hati kami –tentu saja, ia galak
sekali (ahahahaha maap ustad). Ustad juga menjelaskan tentang kehidupan di Kota
Mekkah yang saat ini menjadi kediamannya, tentang kebiasaan penduduknya,
tentang kebiasaan jamaah umrah dan haji dari Indonesia, tentang TKI yang ada
banyak di Indonesia, kami juga melewati penjara yang menurut ceritanya,
sebagian besar diisi oleh jamaah Indonesia yang kabur karena ingin bekerja di
Mekkah, itu sebabnya paspor kami ditahannya agar kami tidak bisa kabur, oh,
jadi selama ini pasporku ada ditangannya, hhah padahal aku ingin kabur ke Dubai
:D terakhir ia bercerita tentang panggilan ke tanah haram. Aku sedih mendengar
ceritanya, kentara sekali ia menyampaikan perpisahan kepada kami, yang artinya
kami akan segera meninggalkan tanah suci.
Kami mampir
sejenak di daerah Balad, Jeddah. Untuk apa? Tentu saja, untuk belanja. Ada
warung bakso disini, Warung Bakso Mang Oedin. Aku suka bakso, tapi jauh-jauh ke
Arab Saudi, i’m absolutely say no to Indonesian food, kecuali makanan katering.
Rugi ah, rugiiiiii, ngapain jauh-jauh sampai ke jazirah Arab kalau jajannya
makanan Indonesia juga. Balad, benar-benar tempat berburu oleh-oleh. Kebanyakan
pedagang disini bisa berbahasa Indonesia dengan fasih, bahkan mereka juga
menerima pembayaran dengan Rupiah. Kenapa, kenapa, kenapa? Karena saat pulang,
tentu saja, stok Real sudah menipis, kebanyakan jamaah hanya menyimpan uang
Rupiah saja dalam perjalanan pulang.
Kami cukup
lama ada di Balad, sebelumnya ustad juga menunjukkan Masjid Qisas pada kami.
Masjid Qisas adalah tempat pelaksanaan hukuman mati. Kami hanya melihatnya dari
jauh, tapi dari jauh saja sudah membuat hati berdesir. Banyak diantara jamaah
yang memilih makan bakso. Sekitar jam tiga sore, baru selesai makan siang,
daripada makan aku lebih suka berjalan-jalan. Karena diberi waktu yang cukup
lama untuk melihat-lihat tempat ini, kami berjalan-jalan menyusuri pertokoan.
Barang-barang yang dijual mirip seperti yang ada di Madinah, harganya juga
lebih murah daripada di Mekkah, dan yang lebih menakjubkan, ada Mall Panda di
Jeddah. Panda. Luar biasa, ada mall namanya Panda :D sebenarnya aku berharap
kami ke Hyper Panda saja daripada ke Balad, ahahahaha.
Masjid Apung
: Matahari Senja Selalu Lebih Indah di Pantai
Setelah puas
berjalan-jalan, makan bakso dan belanja oleh-oleh (lagi), bus meluncur
meninggalkan Balad, perlahan-lahan menyusuri Kota Jeddah yang lebih modern
daripada Mekkah atau Madinah. Sampailah kami di tepian Laut Merah. Berhari-hari
hanya melihat pasir, perbukitan dan tanah tandus, rasanya seperti menemukan
harta karun ketika melihat laut. Aaaah laut, aku selalu suka lautan. Walau
tidak ada pasir putih seperti di Gunung Kidul, Laut Merah tetap cantik dengan
bebatuan yang menghiasi bibir pantainya.
Masjid Apung, Corniche road, Jeddah |
Kami duduk
di gazebo-gazebo yang banyak tersedia di sepanjang jalan tepian Laut Merah. Ada
yang duduk di tepi jalan sambil memandang lautan lepas dan matahari yang
bersinar oranye, sebentar lagi senja tiba, aih indah sekali pemandangannya.
Kalau tidak ingat ini sedang umroh, aku pasti melompat-lompat kegirangan sambil
berbasah-basah di laut. Aku berdiri di tepi batas jalan, merentangkan tangan, memejamkan mata dan menghirup udara
sebanyak-banyaknya. Wangi laut, debur ombak, desir angin, hangatnya matahari
senja, benar-benar ciptaan Allah Azza wa Jalla yang sempurna. Diujung jalan ada
sebuah Masjid yang menjorok ke laut. Karena letaknya itulah, Masjid ini disebut
Masjid Apung. Padahal nama aslinya adalah Masjid Ar-Rahmah, namun sedikit yang
tahu bahwa dahulunya Masjid ini bernama Masjid Fatimah. Namun untuk menghindari
salah kaprah jamaah yang mengira Masjid ini peninggalan putri Baginda
Rasulullah SAW, maka pihak Kerajaan Arab Saudi mengganti nama Masjid ini
menjadi Masjid Ar-Rahmah.
Bila pasang
tiba, maka Masjid ini akan tergenang, seperti mengapung di tengah laut. Indah
sekali. Kami menghabiskan waktu sambil makan malam (yang kesorean), dan
berpoto-poto.
poto sama salah satu jamaah |
Inilah
satu-satunya momen dimana kami bisa tertawa lepas dan membaur satu sama lain.
Mungkin karena seluruh rangkaian ibadah sudah selesai dilaksanakan, maka kami
lebih santai. Kami berputar-putar, makan bersama, berpoto dengan berbagai macam
gaya, dan saling bercanda. Aku pribadi selalu lebih bahagia bila jalan-jalan ke
pantai, apalagi ada Masjidnya, Mashaa Allah.
bagian dalam Masjid Apung |
Ketika adzan
magrib berkumandang, kami solat bersama di Masjid Apung, jamak takdim dengan
Isya yang di qasar menjadi dua rakaat. Setelah ini kami akan menuju Bandara
King Abdul Aziz, Jeddah. Kami akan terbang ke Indonesia dengan pesawat Saudia
pada pukul sebelas malam.
Selesai
solat, kami semua kembali ke bus dan duduk manis, ustad kecil menyerahkan
paspor kami pada ustad baik hati, mengucapkan salam perpisahan dengan kami,
singkat saja, kemudian ia melompat keluar dari bus dan setelah itu ia
benar-benar tak terlihat lagi hilang ditelan kabut malam (ini bukan cerita
horor :D).
Pulang –
Pulang – Pulang
Kami berbaris
di Bandara Jeddah, menunggu seorang perwakilan travel yang check in dan melaporkan
bagasi. Di ruang tunggu, kami duduk berselonjor dimana saja ada tempat kosong.
Tampak kelelahan di wajah-wajah para jamaah. Banyak barang tambahan yang tidak
ikut di jadikan bagasi, karena hanya berupa jaket, sandal-sandal, botol air
minum dan perlengkapan remeh temeh yang sudah tidak muat di koper, jadi
terpaksa di letakkan di tas tentengan. Ada juga plastik-plastik dan bahkan
koper-koper mini, pokoknya berantakan sekali, seberantakan tampilan kami :D
tapi tenang saja, kami semua tetap ciamik. Kembali paspor diserahkan pada kami,
beserta tiket pesawat dan kami semua berjalan beriringan menuju ruang
pemeriksaan sebelum masuk ke ruang tunggu. Pertama pemeriksaan paspor, kemudian
pemeriksaan barang bawaan, lalu pemeriksaan diri, aih badanku yang kurus ini
diraba-raba dari atas sampai bawah :
oleh petugas wanita –sekedar informasi.
Setelah itu
kami semua menunggu, kemudian menunggu, dan menunggu lalu menunggu terus
menunggu sampai hampir pukul sebelas, ketika tiba-tiba kami yang sudah duduk
selonjoran tak tentu arah karena ngantuk dan lelah, disuruh berbaris rapi
karena akan segera masuk ke pesawat. Aku pikir pesawatnya ada diparkiran yang
sama dengan ruang tunggu ini, ternyata tidak saudara-saudara. Kami harus naik
shuttle bus berputar-putar dikegelapan malam kota Jeddah, lumayan jauh juga,
karena rasanya aku berdiri di bus selama berjam-jama –akh hiperbola, baiklah
sekitar 10 menit perjalanan, keluar dari bus kulihat, Saudia Airlines, tegak
gagah perkasa ditimpa cahaya lampu dari bandara, dan tetap saja, disaat sudah
sangat lelah level 10 pun, selalu ada jamaah yang selfie-selfie didepan
pesawat. Aku tidak termasuk.
Lucunya,
saat sampai didalam pesawat, sang pramugari yang ternyata warga Indonesia asli,
berkata, “duduk dimana saja bapak, ibu sekalian, terserah, tidak ada nomor
kursinya, silahkan bapak dan ibu pilih sendiri kursinya”
Ahahahhaha,
ini seperti bus malam dari Jakarta ke Jogjakarta :D choose your own seat, atau
bahasa gaulnya, siapa cepat dia dapat –akh lupakan kaidah bahasa. Semua
berlomba-lomba duduk dekat jendela. Aku lebih suka duduk ditengah, empat
bangku, kumasukkan semua tas ke kabin dan langsung duduk merebahkan diri.
Rasanya mau pingsan saja :D kami semua sudah duduk manis dan memasang safety
belt, pesawat lepas landas meninggalkan Jeddah, tak ada si ustad yang memimpin
doa, kami berdoa sendiri. Akhirnya kami pulang, pulang meninggalkan Saudia.
Inilah perjalanan kami selanjutnya, akan jadi apa kami setelah pulang, akan
bagaimana perjalanan ini mengubah tabiat buruk kami semua. Akan berada di
panggilan mana kami sebenarnya.
Aku tertidur
sangat pulas, ketika tiba-tiba ada suara empuk yang berkata, manis sekali “beef
or chicken” ulalaaaa ... makan malam, ah tidak makan sahur. Yang sungguh
menakjubkan dalam keadaan setengah sadar aku sanggup menghabiskan seluruh
makanan yang disediakan pesawat :D ini semacam perpaduan antara lapar tapi
ngantuk dengan ngantuk tapi ingin tetap makan. Entah jam berapa saat itu, mungkin
kami memang disuruh makan sahur, karena kami akan tiba di Indonesia pada hari
senin siang.
Setelah
makan, aku tidur lagi sampai pukul empat pagi (waktu Arab Saudi, entah saat itu
kami sudah ada diatas negara mana), aku mencuci muka ke kamar mandi, kemudian
menemui pramugari yang entah bagaimana bisa selalu terlihat cantik, menanyakan
padanya apakah ia punya semacam obat karena kaki adikku yang bandel itu sakit.
Namun tak ada, alih-alih memberi obat, ia malah menawariku kopi, menyenangkan
sekali bisa bertukar kisah dengan kakak pramugari yang baik hati itu, ia
membuatkan kopi yang enak sekali, kemudian kami berecerita sambil sesekali
tertawa-tawa, jamaah lain masih tertidur, jadi ada banyak waktu luang untuk
bersantai. Aku mengingat wajahnya sampai sekarang, karena ia baik hati dan
ramah, ia membantuku mengeluarkan tas dari kabin, ia juga menyarankan kami
pindah ke bagian tengah pesawat agar bisa meluruskan kaki, dan yang terpenting
ia membuatkanku kopi yang enak sekali, padahal pramugari lain rata-rata sudah
berwajah masam seperti jeruk nipis. Semoga Allah Azza wa Jalla membalasnya
dengan kebaikan yang berlimpah.
Pagi hari
kami kembali ditawari sarapan (kira-kira
sudah pukul 10 pagi di Indonesia), satu jam lagi kami akan sampai di Bandara
Kuala Namu, Sumatera Utara. Kami bersiap, kembali dengan tentengan kami yang
wah ribetnya, ada jamaah yang membawa pulang kotak nasinya, pesawat landing
dengan mulus, Alhamdulillah. Kakiku melangkah, kembali ke Indonesia. Setelah
semua urusan, mulai dari pemeriksaan paspor, pengambilan bagasi, sampai
pembagian air zam-zam selesai, kami bersalam-salaman, ada yang berpeluk erat,
sembari menitikkan airmata. Aku melangkah keluar bandara, hhah ,, Medan, gerah
sekali, ahahaha –plaaaak dasar sooook.
Kisah-kisah
di Balik Perjalanan.
Adik Kecil Yang Lucu Sekali
Namanya
Fatih, dia bukan jamaah termuda di rombongan kami. Tapi ia masih kecil, mungkin
kelas 4 atau 5 SD dan ia terkenal sekali. Ia berangkat bersama opungnya (kakek
dan nenek), namun sesampainya di Makkah, opungnya lebih banyak beristirahat di
kamar karena kurang enak badan. Maka jadilah ia anak asuh semua jamaah. Ia
lucu, berbadan gempal, mukanya bulat dan seorang anak yang pemberani. Ia
melaksanakan umroh wajib tidak bersama opungnya, karena kakek dan neneknya itu
didorong dengan kursi roda. Ia tidak takut walau tidak bersama keluarganya,
saat ia memakai kain ihram, lucu sekali, karena kainnya sudah pasti kebesaran.
Ustad ganteng lah yang kemudian membetulkan ihramnya dan selalu menggandengnya
agar tidak hilang. Fatih juga anak yang bertanggung jawab, setiap selesai makan
di restoran, ia akan mengambil dua piring nasi untuk kakek dan neneknya yang
lebih sering makan di kamar. Karena tidak bisa membawanya sekaligus, maka ia,
akan bolak-balik naik dan turun untuk membawakan nasi dan air minum,
benar-benar cucu berbakti. :D dia juga sering dikerjai jamaah lain, hotel di
Mekkah, pintu liftnya tidak bisa dibuka dari restoran (hanya bisa dibuka dari
dalam, maka kami harus turun dulu ke lantai satu kemudian naik lift dari sana,
atau harus ada orang yang turun duluan untuk membawa lift ke lantai satu) dan
ia adalah yang paling sering disuruh turun untuk membuka lift ke lantai satu,
agar kami tak perlu repot-repot turun dulu :D ahahaha, baik hati dan kasian
sekali.
Satu lagi
yang khas darinya, ia senang sekali belanja. Setiap aku melihatnya ia selalu
membawa bungkusan belanja. Bahkan di Jabal Rahmah, ketika kami sedang berusaha
naik (naik di kaki bukit saja) sesaat aku melepaskan pandangan darinya, ketika
menoleh ia sudah membeli tasbih :D luar biasa. Waktu di bandara saat akan
pulang, ketika jamaah lain sudah terkapar lemah tak berdaya, ia masih bisa
jajan di tempat semacam a***mart, dan memamerkan marshmallow yang dibelinya,
ahahaha, jamaah lain pusing mendengarnya menyebut marshmallow :D waktu itu aku
sudah sangat lelah untuk tertawa, tapi dalam hati aku terpingkal-pingkal.
Tapi dibalik
itu semua, Fatih adalah anak baik hati dan riang gembira. Ia tidak canggung,
tidak takut dan mudah bergaul dengan siapa saja, kami sayang padanya, ustad juga
suka padanya, karena hanya setiap berpoto dengan Fatih saja ia selalu
tersenyum.
Adik-adik
Kecil Lain Yang Juga Lucu
Satu
kebiasaanku, aku suka solat dibarisan perempuan dari jazirah Arab :D biar
ketularan cantiknya, ah tidak, aku sudah cantik, ah tidak tidak, sebenarnya
karena mereka selalu berusaha ada di saf terdepan. Tidak seperti jamaah kita,
juga beberapa jamaah dari India atau Pakistan yang lebih suka solat di barisan
belakang, atau bahkan di jalan masuk Masjid, di selasar tangga dan didekat pintu.
Jamaah Jazirah Arab akan selalu berusaha menempati saf terdepan, berada
disebelah mereka akan menghindarkan diri dari bercerita yang tidak perlu,
karena perbedaan bahasa tentu saja :D. Tapi mereka sering membawa anak kecil,
dan selalu saja ada cerita menarik dari anak-anak berwajah imut itu.
Pernah suatu
kali saat solat di Masjid Haram, Mekkah, aku bersebelahan dengan ibu yang
membawa anak laki-laki kecil. Ia membawa serta baby sitter yang menjaga anak
tersebut. Anak tersebut tidak seperti anak kebanyakan –maaf, ia dibalut kain ihram, sehingga sebelah
tangannya terhalang kain, ia duduk didepan ibunya, disebelah ibunya duduk baby
sitternya kemudian disebelah baby sitternya duduk manis aku. Untuk membuatnya
tenang, ibunya meletakkan sebuah handphone dan headset agar ia menonton video
saja selama kami solat. Ketika solat sudah dimulai, anak ini malah bosan dengan
video-videonya, ia merangkak menjauhi ibunya dan sampai ketempatku berdiri. Aku
selalu meletakkan tas yang kubawa di depanku, dan sengaja meletakkannya
terbalik, agar sablon nama travel kami yang tertera di tas tak terlihat dengan
tujuan agar tidak mengganggu konsentrasi jamaah lain. Anak itu meraih tasku,
jujur saja, konsentrasiku pecah saat itu, aku ingat ditasku ada beberapa obat
yang aku simpan, juga handphone, botol yang berisi air zam-zam dan entah apa
lagi. Ia membuka bagian depan tas, tampak ia kesulitan menggunakan tangannya
yang terhalang ihram, sementara kami –aku, ibu dan baby sitternya, sudah tak
keru-keruan melihatnya :D susah payah ia mengeluarkan tangannya, dan akhirnya
ia bisa melepaskan diri dari kain ihramnya. Karena solat di Masjid Haram
sungguh lama, maka, ia bisa leluasa mengubek-ubek isi tasku, ia mengambil kartu
nama, itu kartu hotel tempatku menginap, ia memandangi kartu itu lama sekali,
kemudian membuangnya, lalu ia kembali mencari-cari kedalam tas, saat itu sudah
hampir ruku’, tepat saat ia mengambil sesuatu dari tasku, yang ternyata sebuah
coklat, kami ruku’, baby sitternya yang tepat berada disebelahku, dengan
gerakan tangkas, tanpa ba-bi-bu meraihnya bersamaan dengan selesainya ruku’
kemudian memindahkannya ke sebelah ibunya, ia yang tida-tiba direnggut paksa
dari tasku itu, berteriak kencang, coklat yang digenggamnya terlempar,
begitupun dengan tasku, kemudian ia menangis sejadi-jadinya, setiap akan
melangkah, maka ibu atau baby sitternya akan meraihnya, dan semua tetap
dilakukan sambil solat, luar biasa. Setelah empat rakaat penuh tangisan itu,
akhirnya kami selesai melaksanakn solat, aku meraih coklat yang terlempar dan
menyerahkannya pada anak tersebut :D tapi ternyata tidak boleh, baby sitternya
menjelaskan ia tidak boleh makan yang manis-manis, ah sayang sekali.
Ada juga
cerita anak kecil lain, masih di Masjid Haram, masih di barisan jamaah jazirah
Arab, kami melaksanakan solat isya, diujung barisan ada seorang ibu dan dua
anaknya yang masih kecil. Kedua anak perempuan itu tidak ikut solat, yang kecil
mungkin berusia sekitar dua tahun, dan kakaknya mungkin lima tahun. Kami
berdiri merapatkan saf, kemudian mulai solat mengikuti imam. Adik kecil itu
kemudian merangkak, dan sampai kebarisanku. Ia berdiri tertatih kemudian
memeluk satu persatu kaki jamaah yang sedang solat sambil menengadahkan
wajahnya melihat siapa yang solat, mungkin ia mencari ibunya, karena kebetulan kami
semua saat itu memakai baju hitam-hitam dengan potongan yang serupa, sampai
tepat didepanku, ia duduk manis diatas sajadah, tepat dihadapanku, aku tidak
bisa sujud jika ia tetap disitu, maka satu-satunya jalan adalah jika sujud
nanti, aku harus bergeser kekanan, atu sedikit mundur agar tak mengenainya, ia
terus disitu sampai kami selesai i’tidal, dan ketika akan sujud, tiba-tiba
datang sang kakak yang menggendongnya dengan susah payah menjauh dari barisan
solat (kami barisan terdepan, didepan kami ada pembatas kaca karena kami ada di
lantai dua bangunan masjid yang baru) dan seperti biasa, anak kecil yang
mendapat gerakan tiba-tiba seperti itu sudah pasti akan menangis
sejadi-jadinya. Ia bergerak kesana-kemari, meronta-ronta, menjerit-jerit,
berusaha lari dari kakaknya, kelihatannya ia tidak suka digendong, sampai
akhirnya ibunya membatalkan solat dan menggendong sang anak yang tak bisa diam
itu. Setelah kami selesai solat, terlihat seorang jamaah berbaik hati
menggantikan si ibu menggendong anak tersebut, sementara ibunya mengulang
kembali solatnya. Dan masih banyak lagi kisah-kisah serupa yang aku alami
setiap kali solat bersebelahan dengan anak kecil. That was so fun.
Jamaah kita
memang sangat jarang membawa anak kecil. Namun jamaah dari Jazirah Arab juga
negara-negara Eropa sana sering membawa anak mereka ke Tanah Suci, wah
benar-benar anak yang beruntung. Anak-anak Indonesia yang sering ikut umrah
biasanya sudah mengerti mana yang boleh dan tidak boleh, sudah bisa dibilangin
agar tidak berisik saat solat, rata-rata sudah seumur Fatih, tidak seperti
anak-anak negara lain, yang bahkan masih dibawa dalam keranjang bayi. Lucu
sekali melihat wajah wajah polos mereka, dengan kain ihram yang kebesaran,
kadang sambil tertidur digendong ayah atau ibunya mereka tawaf, saat sa’i
mereka berlari dengan kencang ketika melewati lampu hijau, sampai ayahnya
tergopoh-gopoh mengejarnya :D beruntungnya mereka, sedari kecil telah sampai
ketempat paling indah di muka bumi ini, telah melakukan tawaf dan sa’i meskipun
belum sampai kewajiban pada mereka, sedari kecil mereka telah dikenalkan pada
Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Sallahu Alaihi Wassalam.
Yang Paling
Aku Sukai Dari Tanah Suci
Saat pertama
kami sampai di Madinah, aku melihatnya, dimana-mana, semua wanita berhijab,
syar’i, bahkan rata-rata memakai burqa, menutup wajah dan memakai sarung
tangan, semua serba hitam. Tak ada pemandangan mencolok seperti jalan-jalan di
Indonesia, hijab warna-warni aneka gaya apalagi pakaian minim. Semua tertutup.
Seandainya di Indonesia juga seperti ini, tak harus hitam, tapi juga tak
berwarna warni mencolok, tentulah tingkat pelecehan seksual akan menurun
drastis, siapa yang mau menggoda wanita yang terlihat seperti karung beras.
Padahal
dibalik kain hitam-hitam yang membalut mereka, tersimpan wajah cantik bak
mutiara. Aku melihatnya, berkali-kali, saat salat dan wanita-wanita bercadar
ini membuka tutup wajahnya, tampak wajah-wajah muda nan cantik jelita disana.
Rasanya
seperti pulang kampung :D Kalau di Indonesia, orang masih memandang dengan
tatapan yang kurang menyenangkan melihat wanita bercadar. Stigma yang menempel
masih kurang positif. Padahal berpakaian syar’i dan menyederhanakan pakaian
adalah wajib hukumnya bagi perempuan muslim, baligh dan normal. Aku suka sekali karena akhirnya bisa berpakaian seperti itu
tanpa merasa asing.
Di Tanah
Suci aku juga merasa semua perbedaan diantara kita terhapus. Tidak ada lagi si
kaya dan miskin, cantik atau jelek (aku merasa tidak ada yang jelek yang datang
ke tanah haram, semuanya cakep). Tidak ada yang bisa dibanggakan disini.
Jabatan? Apalah kita, mau presiden atau cuma tukang becak, sama-sama boleh
menempati saf terdepan di Masjid Nabawi atau bahkan di depan Ka’bah. Kekayaan?
Hallooooow, orang-orang yang sok kaya, Arab Saudi itu negara over kaya, mobil
aja di buang-buang di gurun pasir, Toyota Camry dijadiin taksi, anak-anak negara
lain gratis kuliah plus dibiayain hidup disana, hotel-hotel pun mungkin
disubsidi karena tarifnya lebih murah daripada di negara lain. Mau pamer wajah
cantik atau tampan? Aduh, orang Jazirah Arab tidak ada yang tidak cantik,
bahkan tanpa perlu berdandan, prianya pun tampan-tampan, semua pedagang di
Madinah kalau hijrah ke Indonesia pasti bisa dengan mudah jadi bintang film,
minimal bintang iklan makanan siap saji semacam sosis. Malah aku suka bingung
melihat jamaah kita, yang perempuan, yang masih sanggup berdandan heboh sekali
di tanah suci. Jilbabnya muter-muter melilit kesana-kemari, maka sudah bisa dipastikan,
hampir 90% jamaah yang jilbabnya heboh, berwarna warni, dengan manik-manik,
renda-renda dan menggunakan hijab dengan punuk unta, adalah jamaah Indonesia.
Padahal, sudah aku buktikan, tidak ada yang perduli dengan dandanan super heboh
itu. Iya, kalau di Indonesia, wanita berhijab pun akan sering digoda, karena
justeru mereka jadi semakin cantik dan menonjol dengan dandanan yang
warna-warni dan bentuk jilbab yang berupa-rupa. Aku mencobanya sekali, karena
aku sebelumnya tidak tahu kultur disana, aku membawa gamis-gamis berwarna
warni, dengan motif kembang-kembang, jilbab-jilbab warna cerah, dan aku
berdandan seperti hijaber hijaber pada umumnya, keluar mengambil laundry, dan
kemudian, aku merasa sangat malu, tidak percaya diri dan super duper berbeda.
Rasanya aneh, berpakaian cerah ceria seperti itu ditengah-tengah kesederhanaan
wanita disana, benarlah bahwa sederhana itu jauh lebih cantik bagi perempuan.
Inilah satu-satunya perjalanan yang aku lalui tanpa pernah berdandan sekalipun
sejak datang sampai pulang. Aku tak pernah berbedak, apalagi berblush on :D tak
pernah pakai pinsil alis (tunggu, aku memang tidak pernah pakai pinsil alis
:D), aku hanya memakai pelembab dan lipbalm agar kulit tidak terkelupas karena
udara kering kota Madinah dan Mekkah. Tapi justru lebih menyenangkan, tak perlu
menutup-nutupi jerawat dengan make-up, atau pusing memikirkan gaya jilbab
seperti biasa aku lakukan di Indonesia, perjalanan ini mengajarkanku, bahwa
tampil apa adanya itu, sederhana itu : indah.
Aku juga
suka suasana Madinah, aku sukaaa sekali duduk menunggu waktu antara magrib dan
isya di pelataran Masjid Nabawi, dibawah payung-payung cantik, yang terkadang
sudah menutup, tampak berjejer-jejer jamaah dari seluruh dunia, ada yang satu
keluarga, ada yang satu rombongan travel, ada yang pasangan suami istri, ada
yang bercengkerama dengan teman-teman sebaya, ada mahasiswa yang sibuk
muroja’ah hapalan Al-Qur’an, benar-benar pemandangan yang menyenangkan. Yang
paling membuat iri, tentu saja, mereka yang pasangan suami-istri, duduk mesra
sekali, bersama-sama membaca Al-Qur’an, aiiih aku iri. Iri in a good way. Aku juga iri, setiap kali tawaf, aku melihat (lagi-lagi) pasangan suami istri yang kompak sekali tawaf bersama, beriringan berputar tujuh kali mengelilingi Ka'bah, aiiih irinya melihat sang suami yang sigap sekali menjaga istrinya, apalagi jika mereka membawa buah hatinya yang masih kecil. Benar-benar bikin envy, melihat mereka bergantian menggendong anaknya sambil tawaf.
Aku juga
belajar tentang perbedaan. Beratus ribu jamaah yang ada di tanah suci, dari
berbagai negara, dengan berbagai mahzab, tentulah banyak sekali perbedaan yang
muncul. Menyedihkan sekali kita disini, masih sering berselisih karena
perbedaan pendapat, misalnya tentang doa qunut, tentang doa berjamaah, tentang
pengucapan Bismillah diawal surat ketika solat, tentang posisi tangan saat
solat, dan lain-lain. Disana, aku melihat bermacam cara orang solat. Ada yang
tegak berdiri tanpa melipat tangannya, ada yang sambil menggendong bayi, ada
yang duduk di kursi, ada yang berdiri kemudian duduk dikursi, dan masih banyak
lagi. Tapi semuanya, tidak dipermasalahkan disana. Kita beribadah sesuai mahzab
yang kita yakini. Kita semua beribadah semata-mata karena Allah. Tak ada doa
berjamaah seperti di tanah air, selesai solat wajib, maka imam akan langsung
memimpin solat jenazah. Setiap waktu, sehabis solat fardhu, selalu ada solat
jenazah. Setiap hari. Kami disarankan untuk senantiasa ikut solat jenazah. Kami
tak pernah tahu, siapakah yang meninggal itu, laki-laki kah atau perempuan kah?
Penduduk setempatkah atau jamaah, namun kami tetap solat dengan niat, mengikuti
imam.
Yang paling menyenangkan dari dua Tanah Haram adalah, setiap hari kami bisa minum air zam-zam :) aku merasa berkali-kali lebih sehat selama disana. Menyenangkan sekali, setiap datang ke Masjid bisa minum air zam-zam sepuasnya. Saat solat fardu, solat sunah, saat hanya berkunjung ke Masjid, saat tawaf, Sa'i, pokoknya setiap saat selama di Mesjid, kita bisa minum air zam-zam. Dan tentu saja, selain diminum disana, jamaah juga membawa pulang air zam-zam. Ada yang membawa botol air mineral kecil (seperti aku), botol mineral besar, bahkan jerigen. Ada yang hanya sebotol (seperti aku), ada yang berbotol-botol. Semua diizinkan. Beda sih rasanya, kayak ada power powernya gitu (eh, ini kayak iklan :D ), setiap sebelum solat minum air zam-zam, selesai solat minum lagi. Pulang ke hotel, bawa air zam-zam, mau berangkat city tour, bekalnya air zam-zam, pokoknya air zam-zam setiap saat.
Yang paling menyenangkan dari dua Tanah Haram adalah, setiap hari kami bisa minum air zam-zam :) aku merasa berkali-kali lebih sehat selama disana. Menyenangkan sekali, setiap datang ke Masjid bisa minum air zam-zam sepuasnya. Saat solat fardu, solat sunah, saat hanya berkunjung ke Masjid, saat tawaf, Sa'i, pokoknya setiap saat selama di Mesjid, kita bisa minum air zam-zam. Dan tentu saja, selain diminum disana, jamaah juga membawa pulang air zam-zam. Ada yang membawa botol air mineral kecil (seperti aku), botol mineral besar, bahkan jerigen. Ada yang hanya sebotol (seperti aku), ada yang berbotol-botol. Semua diizinkan. Beda sih rasanya, kayak ada power powernya gitu (eh, ini kayak iklan :D ), setiap sebelum solat minum air zam-zam, selesai solat minum lagi. Pulang ke hotel, bawa air zam-zam, mau berangkat city tour, bekalnya air zam-zam, pokoknya air zam-zam setiap saat.
Solat di Masjid
Nabawi dan Masjid Haram, lama sekali. Apalagi ruku’ dan sujudnya. Ternyata ada
sebabnya. Ketika solat, dosa-dosa kita akan dibawa dan diletakkan diatas pundak
kita, dan ketika ruku’ dan sujud, berjatuhanlah dosa-dosa tersebut, itu
sebabnya, ruku’ dan sujud sangat lama ketika solat di dua masjid tersebut. Surat
yang dibaca lepas Al-Fatihah pun biasanya panjang, walaupun begitu, aku tidak
pernah mengantuk ketika solat, Alhamdulillah. Karena aku sering, sebelumnya,
ketika masih di Tanah Air, jika solat dengan imam yang terlalu lama, maka
lama-lama jadi ngantuk.
Tapi disana, mendengar imam membaca ayat-ayat
suci Al-Qur’an rasanya menenangkan sekali. Sering sekali airmataku tumpah
disaat solat, terutama saat di Masjid Haram, mendengar imam yang bahkan kadang
aku tidak tahu surat apa yang sedang dibacanya, rasanya terharu sekali, kadang
tiba-tiba aku merasa sedih, sering tanpa kusadari airmata ini jatuh. Aku terharu
sekali, bisa menjadi makmum solat yang diimami Imam Sudais, di Masjid Haram.
Terasa sekali, ayat-ayat Al-Qur’an begitu indah, begitu menggetarkan hati,
bahkan terkadang rasanya merinding. Hanya disana, setiap solat aku pasti
menangis, apalagi jika solat di saf yang bisa langsung melihat Ka’bah. Kualitas
solatku sebelum ini benar-benar jelek, solat sekedar pelepas kewajiban. Jarang aku
benar-benar berinteraksi dalam solatku. Aku tak mau tetap seperti itu. Allah
sudah membawaku ke Tanah Suci, mengizinkan aku solat ditempat terbaik di muka
bumi ini, solat langsung di hadapan Ka’bah, kiblat seluruh umat muslim sedunia,
aku ingin tetap merasakan damai itu bahkan ketika kembali ke Tanah Air.
Selain solat,
tawaf juga merupakan ibadah yang begitu mengharukan. Tawaf pertamaku, saat
umroh wajib, aku disibukkan dengan merekam keadaan Masjid Haram didalam
kepalaku, dimana letak pintu masuk, jalan-jalan yang kami lewati, dimana jalan
yang menuju lantai dasar, dimana pintu gerbang, dimana pintu menuju tempat Sa’i,
kemudian juga disibukkan dengan perhatian agar tidak tercecer dari rombongan
jamaah yang lain, sibuk mengikuti ustad yang memimpin doa didepan, terasa
kebesarannya, tapi kurang kekhusyu’annya. Ustad berkali-kali menjelaskan, tawaf
adalah pengganti solat sunah, perbanyak tawaf. Bahkan jika ditanya, mana yang
lebih baik, memperbanyak umroh atau tawaf, maka ia menganjurkan kami lebih
banyak melakukan tawaf saja. Saat tawaf, ketika kaki kanan dilangkahkan, maka
berjatuhanlah dosa-dosa kita, kemudian saat kaki kiri dilangkahkan,
dinaikkanlah derajat kita, itu sebabnya orang yang kembali dari Tanah Suci
lepas haji atau umroh akan lebih dihormati, karena Allah telah menaikkan
derajatnya, mudah-mudahan kita semua lepas dari sifat sombong dan riya (tulisan
ini In shaa Allah tidaklah bermaksud untuk riya, semata-mata ingin berbagi
pengalaman dan kebesaran tentang Tanah Suci Mekkah dan Madinah)
Aku usahakan
untuk tawaf bila ada kesempatan, biasanya lepas solat fardu, sehabis subuh,
diantara magrib dan isya, dan sehabis isya, adalah waktu-waktu aku melaksanakan
tawaf. Aku suka tawaf di temporary ring. Dari lantai dua, karena tidak
berdesak-desakan dan lebih khusyu’, jika di lantai satu, maka kita terkadang
akan terhalang oleh jamaah yangmemotong jalan karena berebutan ingin dekat
dengan Ka’bah. Aku hanya bertasbih dan merapal doa-doa yang aku hapal, dengan
bahasa Indonesia kadang. Dan jika sudah selesai, aku suka berdiri di pinggiran
pagar pembatas temporary ring, memandang Ka’bah dari sana, hanya diam
memandangnya saja, hatiku damai.
Tempat
Penitipan Doa
Aku banyak
sekali menrima titipan doa dari teman-temanku begitu mereka tahu aku akan
berangkat umroh. Padahal awalnya aku hanya memberitahu dua orang teman baikku
saja, Astri dan Doddy, bahwa aku akan melaksanakan ibadah umroh, kemudian aku
memberitahu teman-teman di grup One Day One Juz yang aku ikuti, bahwa aku akan
cuti selama dua minggu, karena aku tidak akan mengaktifkan handphone (bohong
:D) selama disana. Kemudian aku kebanjiran titipan doa. Ada yang minta didoakan
agar segera dapat jodoh (tunggu, aku juga belum ketemu jodoh padahal), minta
didoakan segera dapat pekerjaan, yang paling banyak tentu saja, minta didoakan
segera menyusul ke Tanah Suci. Ada doa-doa yang spesifik, misalnya agar
orangtuanya atau anaknya sembuh dari sakit, atau seperti mbakku, yang minta
didoakan agar segera SK pindahnya segera keluar :D setiap aku menghubunginya,
pasti ia akan berkata, “sudah doain aku pindah belum?”
Aku bahkan
ketitipan doa dari seorang ibu, ketika mengambil paspor dulu, ibu ini yang
seorang muallaf begitu senangnya waktu tahu aku membuat paspor karena akan
berangkat umroh, beliau ingin menitip doa, agar
juga bisa segera berangkat, beliau menyebutkan namanya dengan sangat
jelas, dan meminta agar aku menyebut namanya ditempat-tempat mustajab disana,
Alhamdulillah, mission accomplished,
aku memang berdoa agar beliau juga bisa sampai ke tanah haram, ibu itu bernama
: Rosdeliana binti Abdullah.
Baiklah,
sekarang aku ingin berkata jujur. Aku ingat semua orang yang menitip doa, dan
doa mereka masing-masing. Alhamdulillah, aku sempat mendoakan mereka semua,
secara terperinci ketika aku masih di Madinah. Beberapa orang ikut aku doakan
ketika aku sampai di Raudhah. Tapi saat kunjungan keduaku ke Raudhah, seorang
askar yang fasih sekali berbahasa Indonesia, yang membimbing jamaah yang akan
ziarah, menjelaskan banyak hal pada kami, salah satunya tentang doa. Intinya,
kita tidak boleh terbebani oleh orang-orang yang menitip doa kepada kita. Maka,
dengan kerendahan hati dan sebesar-besarnya maaf, aku mengakui bahwa ketika
sampai di Mekkah, aku tidak lagi secara spesifik mendoakan orang-orang yang
menitipkan doa padaku. Aku hanya berdoa secara umum, dengan kalimat kira-kira,
“Ya Allah,
ijabahlah semua doa-doa teman-teman ku, dan sampaikanlah mereka semua ke Tanah
Suci ini seperti Engkau telah membawaku kemari, aamiin”
Bersambung ke : Kisah di Balik Perjalanan (2)
No comments:
Post a Comment